Sukses

Ini Jawaban Dubes RI soal Rencana PBB Mengecek Situasi HAM di Papua

Badan HAM PBB telah meminta akses dari Indonesia untuk ke Papua guna mengecek situasi hak asasi manusia di sana. Apa jawabannya?

Liputan6.com, Jenewa - Pemerintah Indonesia dikabarkan telah menyepakati rencana delegasi PBB untuk melawat ke Papua, guna memeriksa "situasi hak asasi manusia" di Bumi Cendrawasih. Kesepakatan itu merupakan tindak lanjut dari langkah pemerintah Indonesia yang mengundang badan hak asasi manusia PBB untuk melawat ke sana.

Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB (KTHAM) mengatakan bahwa masuknya delegasi PBB ke Papua telah "disepakati secara prinsip" oleh pemerintah Indonesia. Namun, KTHAM menjelaskan bahwa kelanjutannya masih menunggu konfirmasi dari Jakarta.

Seperti dilansir The Guardian, Rabu (30/1/2019) kantor KTHAM PBB yang dipimpin Michelle Bachelet "telah terlibat dengan pihak berwenang Indonesia tentang masalah Papua Barat" terkait "situasi hak asasi manusia yang berlaku" serta telah meminta akses ke daerah tersebut.

"Pada prinsipnya Indonesia telah setuju untuk memberikan kantor (KTHAM) akses ke Papua dan kami sedang menunggu konfirmasi pengaturan," lanjut juru bicara KTHAM PBB, Ravina Shamdasandi.

Jawaban Dubes RI untuk PBB

Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa, Duta Besar Hasan Kleib mengafirmasi bahwa pemerintah Indonesia "telah mengundang KTHAM PBB yang akan diwakili oleh kantor regional-nya di Bangkok untuk berkunjung ke Papua."

"Undangan sudah disampaikan, jadi tidak bisa dikatakan KTHAM PBB masih menunggu undangan," kata Dubes Hasan kepada Liputan6.com, Rabu 30 Januari 2019.

"Pada Oktober 2018 lalu ketika saya mengadakan pertemuan bilateral dengan KTHAM yang baru, Michelle Bachelet, dibahas juga pengaturan dan jadwal kunjungan tersebut."

Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet (kredit: UN)

"Saat ini sedang dikoordinasikan jadwal kunjungan pada tahun 2019 ini," lanjutnya. "Hal yang masih tertunda adalah waktu yang disepakati bersama untuk kunjungan tersebut."

Menambahkan, Hasan Kleib mengatakan bahwa ia telah bereaksi di Sidang Dewan HAM PBB pada 2018 ketika KTHAM mengkritik "Indonesia belum memberikan akses."

"Kenyataannya yang terjadi adalah bahwa kantor perwakilan KTHAM PBB di Bangkok kurang koordinasi dan beberapa kali fait accompli jadwal kunjungan yang disampaikan 1-2 hari sebelumnya tanpa terlebih dahulu koordinasi dengan Indonesia."

Tragedi Nduga

Rencana lawatan kembali mengemuka setelah tragedi pembantaian di Nduga oleh kelompok kriminal bersenjata yang menewaskan 31 pekerja PT Istaka Karya yang menangani salah satu proyek infrastruktur Trans Papua pada Desember 2018.

Sebagai tanggapan, Indonesia meluncurkan operasi militer di wilayah tersebut. Operasi militer dikabarkan menyebabkan beberapa korban jiwa dan laporan dugaan ribuan orang mengungsi setelah mereka melarikan diri ke hutan.

Bulan lalu, sayap militan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Pembebasan Papua Barat, menyatakan bertanggungjawab atas pembantaian itu. Mereka mengklaim, para pekerja adalah anggota TNI.

TNI dan Jakarta telah membantah klaim tersebut.

Menanggapi tragedi Nduga, juru bicara KTHAM PBB, Ravina Shamdasani sebelumnya mengatakan bahwa serangan oleh kelompok bersenjata itu adalah "kekerasan yang tidak dapat diterima", tetapi, ia menambahkan bahwa "pemerintah Indonesia juga tidak menangani akar penyebab konflik separatis," The Guardian melaporkan.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Petisi

Pernyataan terbaru dari KTHAM PBB terkait rencana lawatan ke Papua juga mengemuka beberapa hari setelah muncul laporan yang menyebut bahwa figur separatis 'menyerahkan petisi yang ditandatangani 1,8 juta orang untuk meminta referendum kepada Dewan HAM'.

Kantor berita Reuters, mengutip Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, melaporkan bahwa petisi itu diserahkan kepada Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet pada Jumat 25 Februari 2019.

Benny juga mengklaim bahwa dirinya berharap PBB dapat mengirim misi tim pencari fakta ke Papua untuk memperkuat dugaan pelanggaran hak asasi manusia di sana.

"Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya dan rakyat saya," kata Wenda kepada Reuters, setelah mengaku bertemu dengan Dewan HAM PBB di Jenewa, demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin (28/1/2019).

Ketua ULMWP itu juga mengklaim bahwa ia telah berbicara dengan Bachelet "terkait situasi di Nduga" --mereferensi kasus penembakan kelompok bersenjata terhadap puluhan pekerja PT Istaka Karya-- dan melontarkan tuduhan bahwa TNI punya andil dalam insiden itu.

Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Cendrawasih, Kolonel (INF) Muhammad Aidi menolak tuduhan Benny.

"(Dia) tidak punya bukti atas tuduhannya. Organisasi Papua Merdeka (OPM)-lah yang membunuhnya (pekerja PT Istaka Karya)," kata Kolonel Aidi pada 27 Januari 2019 seperti dikutip dari Channel News Asia.

Indonesia Mengecam

Menyikapi kabar 'petisi Benny' tersebut, Perwakilan Tetap RI (PTRI) untuk PBB di Jenewa, pada 30 Januari 2019, menjelaskan bahwa Benny Wenda dapat bertemu dengan Dewan HAM karena 'disusupkan' oleh delegasi Vanuatu--salah satu negara di Pasifik yang kerap menyuarakan isu Papua di PBB.

PTRI menilai bahwa langkah Vanuatu yang menyusupkan Benny ke Dewan HAM merupakan pelanggaran terhadap Piagam PBB.

"Indonesia mengecam keras tindakan Vanuatu yang dengan sengaja telah mengelabui KTHAM dengan melakukan langkah manipulatif melalui penyusupan Benny Wenda ke dalam delegasi Vanuatu," kata PTRI untuk PBB di Jenewa dalam pernyataan tertulis pada 29 Januari, yang dimuat Liputan6.com pada Rabu (30/1/2019).

"Menurut keterangan Komisioner Tinggi HAM PBB (KTHAM), tanpa sepengetahuan kantor KTHAM, Benny Wenda dimasukkan dalam delegasi Vanuatu yang melakukan kunjungan kehormatan ke kantor KTHAM pada hari Jumat, 25 Januari 2019."

Kunjungan kehormatan itu dilakukan dalam rangka pembahasan UPR (Universal Periodic Review) Vanuatu di Dewan HAM.

Tapi, "nama Benny Wenda tidak masuk dalam daftar resmi delegasi Vanuatu untuk UPR. Kantor KTHAM bahkan menyatakan pihaknya sangat terkejut mengingat pertemuan semata-mata dimaksudkan untuk membahas UPR Vanuatu," lanjut pernyataan dari PTRI untuk PBB di Jenewa.

"Tindakan Vanuatu tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji dan sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental Piagam PBB," ujar PTRI.

"Indonesia tidak akan pernah mundur untuk membela dan mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI."

Mengenai 'nasib' petisi itu sendiri, Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa, Duta Besar Hasan Kleib menjelaskan bahwa hal tersebut tidak serta merta akan ditindaklanjuti oleh PBB.

"Tidak secara otomatis Kantor KTHAM PBB akan menindaklanjuti, apalagi, jika petisi-nya sama sekali tidak terkait dengan isu hak asasi manusia, mengingat petisi-nya terkait isu referendum yg sama sekali di luar mandat Kantor KTHAM," ujar Hasan.