Liputan6.com, Washington DC - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ingin mempertahankan pasukan militer negaranya di Irak, dengan tujuan untuk "mengawasi" Iran.
Trump menyampaikan keinginan tersebut dalam sebuah wawancara pada program televisi Face The Nation, yang disiarkan oleh CBS pada Minggu 3 Februari.
"Meskipun invasi ke Irak adalah salah satu kesalahan terbesar ... yang pernah dilakukan negara kami", katanya, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Senin (4/2/2019).
Advertisement
Baca Juga
Ditanya apakah dia ingin menyerang Iran, Trump berkata: "Tidak, karena saya ingin memantau Iran. Yang ingin saya lakukan adalah bisa memantau. Kami memiliki pangkalan militer yang luar biasa dan mahal, yang dibangun di Irak. Ini sangat cocok untuk melihat seluruh bagian Timur Tengah yang bermasalah, dibandingkan berhenti sama sekali."
"Kami akan terus memantau, jika seseorang mencari celah untuk membangun senjata nuklir atau hal-hal lain yang buruk, kami akan mengetahuinya sebelum mereka melakukannya," tambahnya.
Donald Trump menjawab pertanyaan tentang komitmennya untuk mengurangi kehadiran militer AS di Timur Tengah, yang telah menyebabkan kebingungan dan kontroversi mengenai apakah ia akan menarik pasukan dari Suriah dan Afghanistan, dan kapan ia akan benar-benar melakukan itu.
Dia juga berisiko kembali memicu perpecahan yang merusak dengan para kepala intelijennya sendiri, yang mengatakan Iran mematuhi perjanjian nuklir, suatu hal yang berkebalikan dengan apa yang diyakini oleh Trump.
"Saya tidak setuju dengan mereka," kata Trump, membenarkan posisinya dengan mengacu pada kesalahan yang dibuat mengenai kemampuan militer Saddam Hussein sebelum perang Irak.
"Coba tebak?" Katanya. "Orang-orang intel itu tidak tahu apa yang mereka lakukan, dan mereka membuat kita terikat dalam perang yang seharusnya tidak pernah kita alami. Dan kita telah menghabiskan US$ 7 triliun di Timur Tengah, sementara banyak prajurit kita kehilangan nyawa," sambungnya.
Tuduhan Trump pada Intelijen AS
Sejak mencalonkan diri sebagai presiden, Donald Trump secara konsisten mengklaim selalu menentang perang Irak. Bahkan, pada September 2002 dia memberi tahu pembawa acara radio Howard Stern bahwa dia mendukung intervensi.
Pernyataan Trump kepada CBS datang beberapa hari setelah dia menganggap "orang-orang intelijen"-nya sendiri sebagai "sangat pasif dan naif ketika berbicara tentang bahaya Iran", dan secara sinis mengatakan bahwa mereka harus "kembali ke sekolah!"
"Saya akan mempercayai intelijen yang saya tempatkan di sana," katanya kepada CBS, "tetapi saya akan mengatakan ini: orang-orang intelijen saya, jika mereka mengatakan bahwa Iran adalah taman kanak-kanak yang luar biasa, saya tidak setuju dengan mereka seratus persen. Itu adalah negara yang ganas yang membunuh banyak orang."
Â
Simak video pilihan berikut:
Ketidakjelasan Rencana Penarikan Pasukan AS
Perintah Donald Trump untuk menarik 2.000 tentara AS dari Suriah telah menimbulkan kontroversi mengenai apakah, seperti yang ia klaim, militan ISIS telah dikalahkan.
Selain itu, banyak pula pihak yang mengaku khawatir atas kemungkinan pengabaian sekutu Kurdi Amerika, jika Trump benar-benar menarik penuh pasukannya.
Keputusan untuk mempertahankan kehadiran di Irak, Trump mengatakan kepada CBS, akan berarti AS dapat menyerang dengan cepat terhadap ISIS atau al-Qaeda.
"Kami akan kembali jika harus," katanya. "Kami memiliki pesawat terbang yang sangat cepat, kami memiliki pesawat kargo yang sangat bagus. Kami dapat kembali dengan sangat cepat, dan saya tidak akan pergi. Kami memiliki markas di Irak, dan itu adalah bangunan yang fantastis."
Ditanya kapan militer AS akan mundur dari Suriah, Trump mengatakan dia akan terlebih dahulu memindahkan pasukan ke Irak, dan akhirnya membawa mereka pulang.
"Kita harus melindungi Israel," katanya. "Kita harus melindungi hal-hal lain yang kita miliki. Lihat, kami melindungi dunia. Kami menghabiskan lebih banyak uang daripada yang pernah dihabiskan orang dalam sejarah."
Donald Trump juga mengklaim AS telah menghabiskan US$ 50 miliar (setara Rp 697 triliun) setahun di Afghanistan selama lima tahun, dan mengatakan dia siap untuk mempertahankan kehadiran intelijen di sana.
Pasukan AS memimpin invasi ke Afghanistan pada Oktober 2001, sekitar 17 tahun yang lalu.
Ditanya tentang kemajuan yang dilaporkan dalam pembicaraan dengan Taliban, Trump mengatakan dia akan "melihat apa yang terjadi ... mereka menginginkan perdamaian. Mereka lelah. Semua orang lelah. Kami ingin - saya tidak suka perang tanpa akhir. Perang ini. Apa yang kita lakukan harus berhenti pada titik tertentu."
Advertisement