Liputan6.com, Kolombo - Pemerintah Sri Lanka siap untuk mengeksekusi lima terpidana narkoba dan mengakhiri moratorium hukuman mati selama 42 tahun.
Keputusan tersebut akan berlaku begitu Presiden Maithripala Sirisena menandatangani surat perintah hukuman mati dan seorang jagal diangkat, kata pejabat setempat pada Selasa 5 Februari 2019.
Dikutip dari Channel News Asia pada Rabu (6/2/2019), Sirisena mengumumkan tahun lalu bahwa tindakan lebih keras terhadao peningkatan kejahatan terkait narkotika, termasuk hukuman mati bagi pelanggar narkoba, terinspirasi oleh kebijakan serupa di Filipina.
Advertisement
Baca Juga
Menteri Kehakiman negara itu mengatakan kepada parlemen, pada hari Selasa, bahwa prosedur hukum dan administrasi untuk lima orang Sri Lanka yang dihukum gantung itu telah diselesaikan bulan lalu, membuka jalan untuk eksekusi pertama sejak 1976.
"Kami telah memenuhi permintaan presiden untuk memulai kembali hukuman mati," kata Thalatha Athukorale.
Lima nama telah dikirim kepada presiden antara 12 Oktober dan akhir Januari, tetapi Sirisena belum menandatangani surat perintah dan perubahan tanggal eksekusi.
Sejauh ini belum ada komentar langsung dari kantor Sirisena tentang persiapan eksekusi mati itu.
Setelah kunjungan ke Filipina bulan lalu, Sirisena menegaskan kembali rencananya untuk mereplikasi "keberhasilan" rekannya, Rodrigo Duterte, dalam berurusan dengan obat-obatan terlarang.
Sirisena memuji "tindakan tegas" Duterte yang telah menawarkan bantuan anti-narkotika ke Sri Lanka.
Duterte menetapkan kebijakan tegas yang mencakup janji untuk membunuh ribuan orang yang terlibat dalam perdagangan narkoba, bahkan para pejabat.
"Meskipun saya belum menerapkan beberapa keputusan Presiden Duterte, saya tidak akan tunduk pada kecaman organisasi internasional non-pemerintah, yang berupaya mendesak perubahan keputusan saya tentang hukuman mati terkait narkoba," kata Sirisena bulan lalu.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Masih Kekurangan Algojo
Athukorale mengatakan ada 18 terpidana narkoba yang telah memenuhi syarat di bawah pedoman hukum lansiran Sirisena. Mereka ada sebagian kecil dari total 376 pesakitan yang terancam hukuman mati.
Namun juru bicara lembaga penjara nasional Sri Lanka, Thushara Upuldeniya, mengatakan bahwa pihak berwenang masih berusaha mengisi kosongnya jabatan sebagai algojo.
Menurut Upuldeniya, algojo akan diberi gaji senilai 35.000 rupee Sri Lanka (setara Rp 2,7 juta) sebulan, dengan "tugas kerja yang ringan". Iklan lowongan kerja tersebut telah dirilis sejak awal tahun, namun belum juga mendapat kandidat yang sesuai.
"Secara teknis, kami tidak memiliki algojo saat ini, tetapi jika perlu, kami harus bisa mendapatkannya dengan cukup cepat," kata Upuldeniya kepada AFP.
Sementara eksekusi terakhir Sri Lanka berlangsung lebih dari empat dekade lalu, di mana satu-satunya algojo secara teknis terus bertugas hingga pensiun pada 2014.
Setelahnya, peran jagal maut digantikan oleh tiga orang, namun masing-masing hanya bertahan singkat, karena tidak ada yang dihukum gantung.
Banyak narapidana di Sri Lanka dijatuhi hukuman mati karena pembunuhan, pemerkosaan dan kejahatan terkait narkoba, tetapi eksekusi mereka diringankan menjadi seumur hidup.
Sementara itu, banyak kelompok hak asasi internasional telah mendesak Sri Lanka untuk tidak menghidupkan kembali hukuman mati.
Advertisement