Liputan6.com, Manila - Maria Ressa, pemimpin redaksi Rappler dan pengkritik vokal pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, telah dibebaskan dari tahanan dengan membayar jaminan pada Kamis, 14 Februari 2019 siang waktu lokal.
Seperti dikutip dari The Guardian (14/2/2019), Ressa membayar uang jaminan senilai 100.000 peso (berkisar Rp 72 juta) kepada pihak berwenang.
Sehari sebelumnya, Ressa ditahan oleh badan investigasi nasional Filipina dengan tuduhan "pencemaran nama baik via dunia maya", yang dilakukan oleh situs berita yang dia kelola. Ia digelandang aparat dari kantornya, Rappler.
Advertisement
Ressa ditahan setelah mendapat surat perintah penangkapan oleh petugas Biro Investigasi Nasional (NBI) Filipina.
Baca Juga
Tuduhan terhadap Ressa, yang menurutnya "bermotivasi politik", berkaitan dengan sebuah berita yang diterbitkan pada 2012 tentang seorang pengusaha Filipina dan koneksinya yang korup dengan seorang hakim pengadilan tingkat tinggi.
Namun, Ressa mengatakan bahwa kasus itu adalah bagian dari kampanye pemerintah yang lebih luas untuk mengintimidasi dan melecehkan media yang ia kelola.
Berbicara kepada wartawan selepas dia membayar uang jaminan bebas di pengadilan, Ressa mengatakan, "Ini adalah keenam kalinya saya mengirim jaminan dan saya akan membayar lebih banyak jaminan daripada penjahat yang dihukum. Saya akan membayar lebih banyak jaminan daripada Imelda Marcos."
Dia menambahkan: "Saya kaget, sulit dipercaya bahwa ini bisa terjadi dalam demokrasi. Tetapi saya sedang memprosesnya dan mencoba mencari tahu apakah mereka mencoba mengirim saya pesan. Pesannya jelas: ini adalah penyalahgunaan kekuasaan dan itu adalah menggunakan hukum sebagai senjata. Tetapi jika mereka ingin menakuti saya, ini bukan cara untuk menakuti saya."
Ressa menekankan bahwa kasus "pencemaran nama baik via dunia maya" didasarkan pada cerita yang diterbitkan tujuh tahun lalu, dan bahwa NBI pada awalnya membatalkan kasus itu. "Lalu seminggu kemudian itu secara ajaib muncul kembali," kata Ressa.
"Jelas ini bermotivasi politik, saya tidak tahu mengapa pemerintah takut akan kebenaran," lanjut jurnalis senior Filipina itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, Rappler diketahui tidak gentar dalam mendokumentasikan sekaligus mengkritik kebijakan "perang melawan narkoba" oleh pemerintah Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte, yang dinilai menindas secara luas karena mendorong ribuan pembunuhan di luar hukum.
Pada bulan Januari, Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina (SEC) secara sementara mencabut pendaftaran hak operasional Rappler, atas dasar bahwa lembaga pers itu telah melanggar konstitusi negara dalam peraturan kepemilikan asing.
Pada saat itu, Ressa berkata: "Kami harus melanjutkan. Apa yang kami katakan di Rappler adalah, 'kami akan memegang garis'. Kami tidak melakukan apa pun kecuali jurnalisme. Kami berbicara tentang kebenaran kepada penguasa. Itulah yang kami lakukan."
Â
Simak video pilihan berikut:
Menarik Perhatian Dunia
Penangkapan Maria Ressa kemarin memicu protes global dari sesama jurnalis, menteri negara, dan kelompok hak asasi manusia di luar negeri.
Menteri Luar Negeri Kanada, Chrystia Freeland mengatakan dia "sangat prihatin" untuk mendengar penangkapan Ressa.
Menulis di Twitter, Freeland mengatakan: "Pers bebas adalah fondasi demokrasi. Kanada mengulangi seruannya agar proses yang adil harus dihormati dan agar jurnalis bebas dari pelecehan dan intimidasi."
Senator Amerika Serikat, Brian Schatz juga mengutuk penangkapan Ressa atas apa yang disebutnya "tuduhan palsu."
"Daripada berusaha membungkam wartawan yang secara akurat melaporkan berita, pemerintah Filipina harus fokus pada melindungi demokrasi dan membela konstitusi negara, termasuk komitmennya pada pers yang bebas," kata Schatz.
Senator Partai Buruh Australia Penny Wong mengatakan partainya "prihatin dengan penangkapan jurnalis Filipina yang diakui secara internasional Maria Ressa. Kebebasan berekspresi dan kebebasan pers adalah nilai-nilai demokrasi yang penting."
Sementara itu, jurnalis CNN Christine Amanpour mendesak langsung Duterte untuk "membebaskan Maria Ressa sekarang ... Anda tahu pemerintah putus asa ketika mereka menangkap seorang wartawan."
Amanpour digaungkan oleh Peter Greste, ketua badan PBB, Unesco dalam jurnalisme di Universitas Queensland dan salah satu pendiri Alliance for Jounalists, yang mengatakan: "Maria adalah salah satu jurnalis yang paling lurus, paling berani dan paling profesional yang saya kenal ... Suaranya seharusnya tidak dibungkam."
Advertisement