Sukses

Ulama Asosiasi Islam China: Pemberitaan Barat soal Muslim Uighur di Xinjiang Berlebihan

Pejabat dari organisasi yang merepresentasikan pemeluk Islam di China angkat bicara soal keadaan muslim di Xinjiang.

Liputan6.com, Beijing - Pejabat dari organisasi yang merepresentasikan pemeluk Islam di China angkat bicara soal isu terkait muslim Uighur di Xinjiang, yang tengah disorot dunia sejak beberapa waktu terakhir atas dugaan bahwa mereka menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Tiongkok.

Sorotan mengemuka tajam pada Agustus 2018 ketika panel Hak Asasi Manusia PBB (Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial) mengatakan telah menerima laporan 'tepercaya' bahwa kira-kira 1 juta orang Uighur dan kelompok etnis minoritas lainnya ditahan sejak 2017 di "kamp atau pusat re-edukasi" di Xinjiang. Panel juga menambahkan, fasilitas itu mirip dengan "kamp interniran besar-besaran yang diselimuti kerahasiaan".

Sementara itu, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, pada Desember 2018, mengatakan bahwa kantornya mencari akses ke Xinjiang untuk memverifikasi "laporan yang mengkhawatirkan" tentang kamp-kamp pendidikan ulang yang menampung kaum minoritas Uighur.

Laporan itu kemudian ramai diberitakan oleh berbagai media Barat dan sempat membuat masyarakat Indonesia --negara berpopulasi muslim terbesar di dunia-- bereaksi dengan mengkritik China. Kritik memuncak pada Desember 2018 lalu ketika kelompok masyarakat muslim di beberapa kota besar Indonesia seperti di Jakarta, Bandung dan Surabaya menggelar aksi protes terkait isu tersebut.

Namun, menurut Wakil Presiden Asosiasi Islam China (China Islamic Association), Abdul Amin Jin Rubin, apa yang diberitakan dan dilaporkan oleh Barat tentang Uighur adalah sesuatu yang tidak sesuai kenyataan dan cenderung berlebihan.

"Saya pikir tidak ada pelanggaran hak asasi manusia ataupun diskriminasi terhadap Uighur di Xinjiang," kata Jin Rubin melalui penerjemah kepada beberapa media Indonesia di Beijing, Senin (18/2/2019).

Wakil Presiden Asosiasi Islam China, Abdul Amin Jin Rubin (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Apa yang dikatakan oleh sang imam senada dengan bantahan dari pemerintah China. Mereka sejak lama telah menolak laporan PBB dan tuduhan dari negara Barat tentang pelanggaran HAM terhadap kelompok etnis minoritas atau komunitas muslim di provinsi ter-timur Tiongkok.

Beijing menggarisbawahi bahwa 'kamp-kamp' yang dimaksud oleh PBB sejatinya merupakan 'kamp pelatihan dan vokasi' yang didirikan untuk membawa kesejahteraan bagi masyarakat di Xinjiang --dan bukan menargetkan kelompok etnis atau agama partikular-- kata seorang diplomat top China di Indonesia.

Diplomat itu juga mengatakan bahwa program-program tersebut adalah untuk melawan ekstremisme dan terorisme di Wilayah Otonomi Xinjiang.

Beberapa laporan mengatakan bahwa Xinjiang, terutama daerah perbatasan yang bertetangga dengan Pakistan, Kazakhstan dan negara-negara lain di Asia Tengah, menghadapi pertumbuhan ekstremisme dan terorisme sejak beberapa dekade - terutama terkait dengan gerakan Turkistan Timur.

China juga menjelaskan, bahwa orang-orang yang berhaluan ekstremisme turut berpartisipasi dengan kelompok separatis dan sejumlah orang Uighur diduga telah bergabung dengan kelompok teroris terafiliasi ISIS.

"Aktivitas ilegal harus diberantas dan warga wajib mematuhi hukum. Itu merupakan satu-satunya cara untuk melindungi hak semua warga negara," lanjut Jin Rubin.

Wakil Presiden Asosiasi Islam China, Abdul Amin Jin Rubin (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

"Di Xinjiang ada aktivitas pemberantasan terorisme dan aktivitas kekerasan lainnya, tapi hal itu tidak khusus menargetkan kelompok etnis atau agama tertentu," tandas pria yang juga berprofesi sebagai dosen Sastra Arab di Institut Islam China.

"Fasilitas edukasi dan pelatihan murni bersifat vokasional dan tidak secara langsung menargetkan kelompok partikular ... dan sejauh ini, program itu telah efektif menstabilkan kondisi (di Xinjiang)," tambah Abdul Amin Jin Rubin.

Peran Asosiasi Islam China Seputar Deradikalisasi

Wakil Presiden Asosiasi Islam China, Abdul Amin Jin Rubin melanjutkan, organisasinya telah ikut membantu upaya deradikalisasi di Tiongkok dengan "melakukan interpretasi terhadap literatur suci dan klasik Islam, yang selama ini telah terdistorsi oleh orang-orang yang menginterpretasikannya secara keliru sehingga berpotensi menjadi tindak terorisme."

Interpretasi itu, kata Jin Ribun, berfokus untuk mengedepankan prinsip-prinsip tolerasi, persatuan, dan pelaksanaan "Islam jalan tengah".

"Tugas kami untuk meluruskan apa yang telah terdistorsi. Imam-imam pada setiap salat Jumat akan mengumumkan prinsip-prinsip itu," lanjut Jin Rubin yang juga mengatakan bahwa para ulama asosiasi kerap mengimbau kepada para jemaah tentang "pentingnya hidup untuk negara, Partai Komunis China dan berdampingan dengan saudara-saudara lain di China".

 

Simak video pilihan berikut:

 

2 dari 2 halaman

Islam di China Lebih Dulu Ada daripada di Indonesia

"Islam di China itu banyak ahlus-sunnah wal jama'ah dengan mahdzab hannafi," kata Wakil Presiden Asosiasi Islam China, Abdul Amin Jin Rubin di Beijing, Senin (18/2/2019), menceritakan tentang 'wajah' Islam di China

Melanjutkan penjelasannya tentang Islam di China, Jin Rubin mengatakan bahwa agama Muhammad itu telah diperkenalkan ke China sejak lebih 300 tahun yang lalu. "Lebih dahulu ada Islam di China ketimbang Islam di Indonesia atau Malaysia," kata sang imam.

Selama bertahun-tahun, Muslim di China telah hidup berdampingan dengan berbagai etnis, termasuk etnis mayoritas Han.

Muslim China datang dari berbagai kelompok etnis, ada Uighur, Hui, Kazakh, dan lainnya.

"Di China, hak kebebasan beragama benar-benar dilaksanakan dan dilindungi konstitusi. Negara ini memiliki 75.000 masjid dan 57.000 imam," lanjut Jin Rubin.

Demi meningkatkan pelayanan bagi para pemeluk dan ulama Islam di China, para pemuka Muslim di Tiongkok membentuk Asosiasi Islam China.

Gedung Asosiasi Islam China di Jalan Nanhengxije, Distrik Xicheng, Beijing (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Organisasi itu berdiri pada 1953, atas persetujuan mendiang Premier (Perdana Menteri) China, Zhou Enlai, yang juga kemudian menyetujui berdirinya Institut Islam China. Aktivitas mereka didukung pemerintah.

Asosiasi berdiri di tingkat nasional, provinsi, kota/kabupaten, hingga distrik, kata Jin Rubin. Organisasi itu memiliki total 700 kantor di penjuru Tiongkok.

"Kami juga punya 10 institut Islam untuk pendidikan para calon ulama. Pendidikan diselenggarakan oleh organisasi kami," lanjut pria yang pernah menempuh pendidikan Islam di Mesir itu.

Organisasi itu telah bertanggungjawab menyediakan layanan dan manajemen untuk masjid, para imam dan ulama, serta mempromosikan Islam di China juga dunia.

Kompleks dalam gedung Asosiasi Islam China di Jalan Nanhengxije, Distrik Xicheng, Beijing (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

"Beberapa tahun terakhir, organisasi kami mendapatkan penambahan dana dari pemerintah untuk pengembangan operasional dan infrastruktur institut," kata Jin Rubin tanpa memberikan perincian.

"Kami juga melakukan pertukaran program budaya dan pendidikan Islam, salah satunya dengan Malaysia dan Indonesia serta negara-negara Arab."

Asosiasi itu juga mengelola urusan haji, didukung oleh pemerintah Beijing dan Arab Saudi.

"Sekitar 12.000 muslim China berhaji ke Arab Saudi. Organisasi setimpal dari Malaysia dan Indonesia (MUI) ikut membantu, sehingga kami bisa meningkatkan tugas kami di bidang tersebut."