Liputan6.com, Jakarta - Duo akademisi ternama di Kanada dan Amerika Serikat memperingatkan, sudah banyak orang yang lebih memilih avatar digital dan teknologi lainnya sebagai pengganti seks bersama manusia dan aktivitas intim lainnya. Ini adalah orientasi seksual yang mengubah masyarakat, yang lazim disebut digiseksual.
"Seorang yang mengalami digiseksual melihat teknologi mendalam, seperti robot seks dan pornografi realitas virtual (VR), sebagai bagian integral dari pengalaman seksual mereka, dan yang merasa tidak perlu mencari keintiman fisik dengan pasangan manusia," kata peneliti Neil McArthur dari University of Manitoba dan Profesor Markie Twist dari University of Wisconsin Colleges, yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah The Conversation.
McArthur dan Twist, yang meneliti tentang masa depan seksualitas manusia, berpendapat bahwa kita sudah berada di tengah-tengah revolusi seksual dan romantis, dengan teknologi seperti aplikasi kencan, ranjang sabuk konveyor (conveyor belt beds), kecerdasan buatan dan "tombol seks". Ini dianggap mengganggu cara seseorang dalam membentuk dan memelihara ikatan intim satu sama lain.
Advertisement
Baca Juga
Namun kedua ilmuwan itu juga memprediksi bahwa teknologi baru --mulai dari robot seks, VR, kecerdasan buatan hingga teledildonik-- siap mempopolerkan perubahan itu, ketika era digital yang terus berkembang menggandeng pasangan virtual dan meninggalkan pasangan manusia selamanya.
Pernyataan dua peneliti itu mungkin bisa dikaitkan dengan film keluaran tahun 2013: "Her", di mana Joaquin Phoenix jatuh cinta pada kecerdasan buatan, atau "Blade Runner 2049" yang menceritakan karakter Ryan Gosling menjalin hubungan serius dengan avatar virtual.
Di satu sisi, ada kasus yang lebih nyata di kehidupan ini. Akihiko Kondo, seorang lelaki Jepang, memutuskan untuk menikah dengan hologram.
"Identitas seksual marjinal hampir selalu menghadapi stigma, dan sudah jelas bahwa tidak terkecuali kaum pria," tulis McArthur dan Twist, sebagaimana dikutip dari situs Futurism.com, Rabu (20/2/2019).
"Ketika teknologi seksual mendalam semakin meluas, maka kita harus mendekati mereka, dan penggunanya, dengan pikiran terbuka."
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Apa Itu Digiseksual?
Orientasi seksual saat ini tidak lagi terbatas pada berbeda atau sesama jenis kelamin. Namun lebih jauh lagi, beberapa orang tertarik pada robot atau dijuluki oleh ilmuwan sebagai digisexuality atau digiseksual.
Mengutip New York Times pada Senin, 21 Januari 2019, profesor filosofi di University of Manitoba, Kanada, Neil McArthur bersama profesor pengembangan manusia dan studi keluarga di University of Wisconsin-Stout, Markie Twist menerbitkan sebuah makalah di tahun berjudul "The Rise of Digisexuality". Penelitian ini terbit di jurnal Sexual and Relationship Therapy.
Keduanya menggambarkan antara "gelombang pertama" digiseksual seperti pornografi daring, aplikasi kencan, sexting, dan mainan seks, hanya sebuah sistem pengiriman untuk pemenuhan seksual dan digiseksual "gelombang kedua".
"Gelombang kedua" sendiri diciptakan saat para ilmuwan membentuk hubungan yang lebih dalam melalui teknologi imersif seperti realitas virtual, augmented reality, dan robot seks dengan kecerdasan buatan. Ini terkadang, meniadakan kebutuhan pasangan bagi manusia sama sekali.
Akan Dianggap Biasa di Masa Depan
Twist, yang memiliki praktek terapi keluarga dan seks mengatakan, bahwa dirinya memiliki beberapa pasien berusia 20 hingga 30-an yang memenuhi syarat sebagai digiseksual gelombang kedua.
"Apa yang mereka sukai adalah teknologi seks, mainan yang bisa mereka kontrol dengan perangkat teknologi mereka, yang melekat pada penis atau vulva," ujar Twist.
"Mereka belum melakukan kontak dengan manusia dan benar-benar tidak memiliki minat dalam berhubungan seks dengan seseorang. Inilah yang ingin mereka lakukan dan jika mereka mampu membeli robot seks, mereka akan melakukannya," ungkap Twist.
McArthur menyatakan, saat ini orientasi seksual mereka mungkin tampak sebagai sesuatu yang menyimpang. Namun, setiap kemajuan dalam teknologi seks suatu saat akan menjadi normal setelah mengalami perlawanan budaya.
"Setiap kali kita memiliki teknologi baru, ada gelombang alarmisme yang mengikuti," ujarnya.
"Itu terjadi pertama kali dengan pornografi, kemudian kencan daring, kemudian sexting di Snapchat. Satu demi satu teknologi ini muncul dan ada gelombang kepanikan. Tetapi ketika orang mulai menggunakan teknolog ini, mereka menjadi bagian dari kehidupan kita," kata McArthur.
Advertisement