Sukses

Heboh Meteor Meledak di Langit Kuba pada Siang Hari, Ini Kata Ahli

Meteor yang melintas di Kuba pada siang hari meledak pada bulan ini. Rupanya, di sinilah tempat asalnya.

Liputan6.com, Havana - Sebuah meteor meledak di langit Kuba bagian barat pada siang hari, 1 Februari 2019. Peristiwa ini menyilaukan pandangan seluruh penduduk sekitar dan menarik perhatian para astronom hingga sekarang.

Banyak dari saksi mata yang mengabadikan momen tersebut melalui kamera ponsel mereka. Ada pula yang mencari tahu jejak puing-puing yang ditinggalkan meteor tersebut ketika terbakar.

"Kami sangat beruntung bahwa setidaknya ada tiga video yang relatif dapat diandalkan sebagai barang bukti, satu di antaranya mempunyai kualitas gambar yang luar biasa, dapat diakses di internet dalam waktu singkat," ujar Jorge Zuluaga, profesor di Institute of Physics (IoP) di University of Antioquia di Kolombia.

"Merekonstruksi lintasan meteor membutuhkan setidaknya tiga pengamat di darat," tambah Zuluaga, sbagaimana dilansir dari Live Science, Jumat (22/2/2019). "Meskipun citra satelit juga menyediakan beberapa gambar dan diunggah ke situs daring, namun tanpa pengamatan langsung di darat, rekonstruksi yang tepat dikatakan tidak layak."

Dugaan potongan meteorit yang jatuh di Kuba barat, kota Vinales, Pinar del Rio pada Jumat (1/2). Menurut petugas layanan cuaca nasional, meteorit itu melintasi langit sebelum meledak dan menghujani puing-puing di Kuba barat. (FATIMA RIVERO/TELEPINAR/AFP)

Zuluaga dan timnya menentukan bahwa meteor itu memasuki atmosfer Bumi sekitar 47,5 mil (76,5 kilometer) di atas Laut Karibia, pada titik 16 mil (26 km) di lepas pantai barat daya Kuba. Pada saat itu, batu antariksa itu --yang diperkirakan lebarnya beberapa meter dan memiliki berat sekitar 360 ton (330 metrik ton)--- melakukan perjalanan sekitar 40.300 mph (64.800 km/jam).

Meteor tersebut bergerak ke utara-timur laut dalam garis yang relatif lurus. Ketika mencapai ketinggian (altitude) 17,1 mil (27,5 km), objek ini memunculkan jejak berasap karena terbakar, yang menarik perhatian banyak pengamat di daratan.

Pada altitude 13,7 mil (22 km), meteor itu meledak di udara, menurut perhitungan para peneliti. Ratusan puing-puingnya menghujani pulau di bawahnya. Banyak dari bit kosmik ini mendarat di Vinales Natural Park, yang ada di dekat ujung barat Kuba, tetapi beberapa bongkahan menghantam rumah-rumah di wilayah tersebut.

Sedangkan potongan besarnya diperkirakan mendarat di laut lepas pantai barat laut pulau itu, kata para ilmuwan.

Zuluaga dan rekan-rekannya juga memperluas model jalur meteor tersebut, bahkan lebih jauh ke masa lalu. Mereka menentukan bahwa benda langit itu awalnya menempati orbit elips dengan jarak rata-rata dari matahari 1,3 unit astronomi. (Satu unit astronomi, atau AU, adalah jarak rata-rata Bumi ke matahari, sekitar 93 juta mil, atau 150 juta km).

Batu angkasa luar tersebut butuh 1,32 tahun untuk menyelesaikan satu orbit di sekitar bintang Bumi. Para ilmuwan menggunakan metode serupa untuk merekonstruksi jalur yang dilalui objek yang pernah meledak di angkasa kota Chelyabinsk, Rusia, pada Februari 2013.

Dugaan potongan meteorit yang jatuh di Kuba barat, dekat kota Vinales, Pinar del Rio pada Jumat (1/2). Warga setempat di kota Vinales mendengar ledakan keras selama kejadian, namun tidak ada laporan korban cedera. (FATIMA RIVERO/TELEPINAR/AFP)

Meteor itu menyala sekitar 400 kali lebih terang daripada meteor Kuba tersebut, dan tekanan udaranya jauh lebih kuat: gelombang kejut menghancurkan ribuan kaca jendela menjadi berkeping-keping di Chelyabinsk, melukai setidaknya 1.200 orang.

Dalam studi yang baru saja diajukan, yang dapat Anda baca secara gratis di situs pracetak daring arXiv.org, para peneliti juga menguji metode yang dikembangkan tahun lalu oleh Zuluaga dan sesama peneliti IoP lainnya, Mario Sucerquia, yang juga seorang penulis makalah ini.

Metode tersebut, yang disebut Gravitational Ray Tracing (GRT), menggunakan algoritma komputer untuk melacak penabrak tiruan kembali ke asalnya di ruang angkasa. Para ilmuwan menandai batuan model yang berakhir di orbit, yang mirip dengan asteroid dekat Bumi yang sebenarnya, dengan alasan bahwa orbit seperti itu dalam kehidupan nyata akan memiliki kemungkinan yang layak untuk menghasilkan batuan yang berdampak pada Bumi.

Permodelan seperti itu mampu melakukan pekerjaan yang baik untuk memprediksi meteor yang jatuh di Chelyabinsk dan Kuba, kata para peneliti.

Sebagai contoh, model GRT menyarankan bahwa penabrak yang menabrak Chelyabinsk kemungkinan akan tiba dari sepetak langit ke timur laut dari lokasi itu, pada sudut 20 derajat ke cakrawala. Objek sebenarnya berasal dari timur, pada sudut tepat 20 derajat.

"Hanya setelah kehebohan di jagat maya baru-baru ini, kita menyadari seberapa sering dan berpotensi berbahaya dampak meteoroid kecil pada area populasi," ucap Sucerquia dalam pernyataan yang sama.

"Sayangnya, kita belum mampu melindungi orang-orang sekitaar kita terhadap ancaman-ancaman ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa, pada prinsipnya, kami bisa mengingatkan orang-orang, setidaknya dengan sedikit pengetahuan, untuk dampak di masa depan."

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Meteor Meledak di Langit Greenland Picu Deteksi Sensor Seismik

Sementara itu, peristiwa serupa juga pernah terjadi di kawasan Amerika Utara. Sebuah meteor meledak di atas Greenland pada 25 Juli 2018, memicu deteksi oleh sensor seismik, kata para ilmuwan.

Sekitar pukul 20.00 waktu setempat pada hari itu, penduduk Kota Qaanaaq di pantai barat laut Greenland, melaporkan bahwa mereka melihat cahaya terang di langit malam.

Benda misterius itu berbentuk seperti bola api melesat di mega dengan kecepatan super tinggi. Warga pun merasakan tanah bergetar, saat meteor terbakar di dekat Thule Air Base (Pangkalan Udara Thule). Peristiwa tersebut sempat dibahas dalam konferensi tahunan American Geophysical Union (AGU) pada 12 Desember 2018.

Peralatan seismografik, yang dipasang di dekat Qaanaaq untuk memantau pengaruh guncangan tanah terhadap es di Greenland, juga mencatat ledakan meteor itu. Meteor Qaanaaq membuat para periset menguak fakta baru tentang "apakah lingkungan yang begitu dingin dan tertutup es, dapat merespon dampak meteor?"

Pertanda pertama yang 'dihadirkan' oleh meteor itu adalah kilatan cahaya di langit di atas Greenland; meteor tersebut menyala dengan terang di ketinggian sekitar 27 mil (43 kilometer) di atas tanah, dan melaju hampir 54.000 mph (87.000 km/jam), menurut International Meteor Organization (IMO).

Ketika meteor itu meledak di Pangkalan Udara Thule, markas besar Angkatan Udara Amerika Serikat di Greenland, terasa guncangan hebat seperti ledakan bom perang. Dengan energi benturan yang dihitung sebesar 2,1 kiloton TNT, ini adalah bola api kedua yang paling energik pada tahun ini. Demikian seperti dikutip dari Live Science, Sabtu 15 Desember 2018.

3 dari 3 halaman

Mengidentifikasi Peristiwa Seismik

Peta yang menggambarkan situs dari dampak meteor itu, telah dibagikan di Twitter pada tanggal 31 Juli oleh Ron Baalke dari Solar System Dynamics, grup dari Jet Propulsion Laboratory milik NASA.

Para peneliti yang tergabung dalam Seismometer to Investigate Ice and Ocean Structure (SIIOS) dari University of Arizona, telah memasang seismometer berukuran sekitar 70 mil (70 km) di utara Qaanaaq.

Rekaman data yang ditangkap oleh sensor seismik, diinterpretasikan oleh dua stasiun broadband Danish Seismological Network di Greenland: TULEG (Station Thule) dan NEEM (Station Eemian).

Para ilmuwan kemudian dapat mengidentifikasi suatu peristiwa seismik yang cocok dengan lintasan meteor dan memperkirakan titik jatuhnya. Mereka menyebut, episentrum dari meteorit berada di dekat Gletser Humboldt, di lapisan es Greenland. Selain itu, peralatan seismik mencatat getaran dari lokasi meteorit sejauh 218 mil (350 km).

Kejadian seismik ini adalah analog pertama yang pernah tercatat untuk fenomena tersebut: jatuhnya meteor di wilayah yang mayoritas tertutup es. Temuan ini "akan menginformasikan dampak sains di seluruh dunia melalui benda-benda langit yang ada di tata surya.