Sukses

Memasuki Pekan ke-15, Jumlah Pengunjuk Rasa Rompi Kuning di Prancis Berkurang

Unjuk rasa rompi kuning di Prancis memasuki pekan ke-15. Aksi tersebut masih berlanjut meski jumlah demonstrannya cukup berkurang.

Liputan6.com, Paris - Aksi demo besar-besaran dari pasukan rompi kuning masih berlanjut di Prancis. Para pengunjuk rasa kembali memadati jalan-jalan di seluruh negara ini pada Sabtu, 23 Februari 2019.

Dengan demikian, protes ini telah memasuki pekan ke-15 berturut-turut. Mereka berupaya menyemangati lagi para pendukung sambil meredam kekerasan dan sentimen anti-Semitisme dalam kelompoknya.

Ratusan orang berkumpul di monumen Arc de Triomphe di Paris. Para demonstran kemudian berpawai melalui permukiman-permukiman mewah. Mereka memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang mereka anggap hanya menguntungkan orang-orang kaya.

Sementara itu, lima demonstrasi juga digelar terpisah di ibu kota Prancis, menurut laporan VOA Indonesia yang dikutip pada Minggu (24/2/2019).

Dukungan bagi gerakan rompi kuning telah berkurang dalam beberapa minggu terakhir, karena terpecah belah dan kekerasan yang terus berlanjut.

Pengumuman yang disiarkan secara daring di internet untuk penyelenggaraan unjuk rasa pada Sabtu, menyerukan aksi damai, dan salah satu protes akhir pekan ini bertujuan menentang anti-Semitisme.

Sebagian pengunjuk rasa yang bersikap ekstrem, melontarkan hinaan terhadap filsuf terkenal Alain Finkielkraut di sela-sela protes akhir pekan lalu di Paris.

Insiden itu muncul beberapa hari setelah pemerintah Prancis melaporkan insiden anti-Semitisme meningkat tajam tahun lalu.

Protes rompi kuning dimulai pada pertengahan November lalu, berupa kritik terhadap naiknya pajak bahan bakar.

Namun, aksi protes tersebut justru meluas menjadi pemberontakan terhadap pemerintahan Emmanuel Macron, yang dinilai tidak benar-benar membela rakyat biasa.

Protes sering berubah menjadi kekerasan, menyebabkan kerusakan, termasuk beberapa monumen paling terkenal di Paris.

Di lain pihak, para kritikus juga menuduh polisi menggunakan kekuatan yang tidak proporsional.

Jumlah pengunjuk rasa yang turun ke jalan-jalan di Perancis secara bertahap telah menurun, tetapi puluhan ribu polisi terus dikerahkan untuk mengawal unjuk rasa, yang terjadi hampir setiap pekan di seluruh wilayah negara itu.

Sementara itu, kementerian dalam negeri Prancis mengatakan sebanyak 41.500 orang ambil bagian dalam protes di seluruh negara itu pada Sabtu, termasuk sekitar 5.000 orang di Paris.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Emmanuel Macron Kecam Pelecehan Anti-Semit oleh Aksi Rompi Kuning

Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengutuk pelecehan anti-Semit, yang diarahkan pada seorang intelektual terkemuka, oleh sekelompok demonstran "rompi kuning" di Paris.

Polisi datang untuk melindungi filsuf Alain Finkielkraut, setelah ia dibombardir dengan hinaan dan ejekan anti-Yahudi di ibu kota Prancis.

Dikutip dari BBC pada Minggu, 17 Februari 2019, Macron mengatakan insiden itu adalah "gangguan terhadap pestaruan Prancis", dan sangat tidak bisa ditoleransi.

Akademisi Yahudi berusia 69 tahun itu mengatakan kepada surat kabar lokal Le Parisien bahwa ia mendengar orang-orang meneriakkan "Zionis kotor" dan "menceburkan diri ke kanal" (dalam bahasa Prancis).

Turut mengatakan kepada surat kabar Journal du Dimanche, Finkielkraut, merasa ada "kebencian mutlak" diarahkan kepadanya. Dia khawatir akan keselamatannya jika polisi tidak ada di sana, meskipun diakuinya tidak semua pengunjuk rasa bersikap agresif.

Finkielkraut, putra imigran Polandia, sebelumnya menyatakan simpati kepada para demonstran, tetapi juga menyuarakan kritik terhadap gerakan tersebut, yang dinilainya semakin brutal.

Dia mengatakan bahwa Presiden Macron telah berbicara dengannya melalui telepon pada hari Sabtu, untuk menyampaikan dukungan.

Sementara itu, puluhan ribu orang ambil bagian dalam protes anti-pemerintah Prancis yang digelar pada hari Sabtu.

Polisi menggunakan gas air mata untuk mengendalikan massa ketika demonstran "rompi kuning" turun ke jalan-jalan di seluruh Prancis selama 14 pekan berturut-turut.