Sukses

Punahnya Tanaman dan Hewan Mengancam Persediaan Makanan Dunia

Laporan PBB menguak bahwa masa depan persediaan pangan sangat terancam karena jumlah hewan dan spesies tanaman lenyap dengan cepat.

Liputan6.com, Jakarta - Masa depan persediaan pangan disebut sangat terancam, sebab jumlah hewan dan spesies tanaman lenyap dengan cepat. Demikian menurut laporan PBB pada Jumat, 22 Februari 2019.

Sementara dunia bergelut bagaimana memberi makan penduduk yang terus bertambah.

Orang bergantung pada spesies yang semakin berkurang untuk pangan, kata Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), membuat sistem produksi rentan pada goncangan seperti pes atau penyakit, kemarau, serta peristiwa ekstrem lain terkait cuaca akibat perubahan iklim.

Walaupun ada sekitar 6 ribu spesies tumbuhan yang dapat digunakan untuk pangan, kurang dari 200 yang umumnya dimakan dan hanya sembilan yang menghasilkan sebagian besar jumlah pangan dunia, kata FAO dalam laporan pertama sejenis dalam mengkaji biodiversitas sistem pangan.

"Hilangnya keanekaragaman hayati bagi pangan dan pertanian sangat merongrong kemampuan untuk memberi makan penduduk dunia yang terus bertambah," kata Direktur FAO Jose Graziano da Silva dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (24/2/2019). 

"Kita perlu menggunakan biodiversitas dalam bentuk berkesinambungan supaya dapat memberi tanggapan yang lebih baik terhadap perubahan iklim dan memproduksi pangan dalam cara tidak merugikan alam lingkungan," katanya.

 

 

Saksikan juga video berikut ini: 

2 dari 2 halaman

Hewan Asli Australia yang Punah Akibat Perubahan Iklim

Sementara itu, pemerintah Australia, bersama dengan para ilmuwan, mengabarkan tentang punahnya jenis mamalia, yang diketahui sebagai kasus pertama akibat perubahan iklim.

Bramble Cay--nama mamalia tersebut--adalah sejenis tikus kecil berwarna cokelat, yang merupakan endemik sebuah pulau di sisi utara Great Barrief Reef, kawasan ekosistem lindung terbesar di Australia. 

Dikutip dari CNN pada Kamis, 21 Februari 2019, mamalia tersebut hidup di area seluas lima hektare, yang berlokasi di tengah Selat Torres, antara negara bagian Queensland dan Papua Nugini.

Mamalia tersebut tidak lagi terlihat selama hampir 10 tahun dan sempat lebih dulu dinyatakan punah setelah upaya "konservasi menyeluruh" gagal, tulis sebuah laporan yang diterbitkan oleh University of Queensland, pada 2016 lalu.

Temuan itu baru dikonfirmasi oleh pemerintah Australia pada Senin, 18 Februari.

Penyebab kepunahannya adalah "karena genangan laut" akibat naiknya permukaan air laut selama satu dekade terakhir, yang telah menyebabkan "hilangnya habitat secara dramatis," menurut laporan 2016 itu.

"Ini bukan keputusan yang mudah," ujar Geoff Richardson, asisten sekretaris untuk komisi lingkungan dan energi, di hadapan anggota Senat Australia.

"Ketika sesuatu terdaftar sebagai punah, pada dasarnya tamparan kepada kami untuk meninjau ulang kebijakan perlindungan alam liar," lanjutnya.