Sukses

Ketegangan Kian Memanas di Perbatasan Venezuela - Brasil, 3 Orang Tewas

Sebanyak tiga orang tewas dan 20 lainnya terluka akibat ketegangan yang kian memanas di perbatasan Venezuela - Brasil.

Liputan6.com, Pemón - Situasi kian memanas di Pemón, perbatasan terpencil antara Venezuela dan Brasil, di mana dalam tiga hari terkahir, setidaknya tiga orang tewas dan 20 lainnya terluka.

Ketegangan juga membuat kepala militer regional diamankan oleh penduduk lokal yang marah akibat diblokadenya distribusi bantuan asing.

"Saya melindungi wali kota dan pemimpin adat," kata Candy, salah seorang pemimpin Garda Daerah Pemón, beralasan di balik penangkapan kepala militer regional, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Senin (25/2/2019).

"Penerbangan (pasukan pemerintah) ke hutan ini bukan untuk meredam protes. Ini adalah perang yang telah mereka luncurkan. Mereka diperintah untuk menembaki kami, siapapun kami," lanjut Candy, yang mengaku bahwa warga lokal mendesak bantuan segera didistribusikan.

Pemón, yang merupakan sebuah kawasan berhutan lebat, adalah rumah bagi sebagian besar Suku Pemón, di mana tradisi dan ikatan keluarga mereka melintasi perbatasan, yang sering dianggap tidak lebih dari formalitas belaka.

Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan terus meningkat antara Pemón dan pemerintah Venezuela. Bukan hanya soal krisis, namun juga tentang upaya pemerintan yang kekurangan uang ingin mengeksploitasi kekayaan sumber daya mineral setempat, tanpa memedulikan kesejahteraan penduduk lokal.

Selama kebuntuan atas rencana oposisi untuk membawa bantuan asing melewati daerah itu, ketegangan di Pemón meluas menjadi pertumpahan darah.

Kekerasan pertama terjadi pada Jumat 22 Februari 2019 pagi, ketika tentara Venezuela yang menuju ke perbatasan menewaskan seorang wanita Pemón, Zoraida Rodriguez, yang terlibat unjuk rasa untuk menghalau konvoi militer.

Sebanyak 16 orang terluka, dan sembilan di antaranya harus dirawat di rumah sakit karena luka serius.

Salomon Martinez (40), seorang kartografer, bepergian bersama pengunjuk rasa, di mana beberapa kerabatnya dipukul. Dua dalam kondisi serius, satu harus dibantu alat pernapasan, dan yang dua lainnya dalam perawatan intensif akibat luka tembak di dada dan perutnya, serta luka di bagian ulu hati dan ususnya.

"Kami ingin dunia tahu apa yang terjadi, bahwa darah rakyat Venezuela tumpah dan pemerintah berusaha menyembunyikannya," kata Martinez. "Mereka membunuh penduduk asli di tanah mereka.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

2 dari 2 halaman

Berusaha Menghalau Kovoi Pemerintah Sejak Jumat Malam

Setelah serangan itu, penduduk desa berhasil melucuti dan menahan empat tentara, yakni Jenderal Jose Miguel Montoya, kepala militer negara bagian Bolivar, sopir dan pengawalnya, dan seorang sersan, Grecia Roque Castillo.

"Montoya mengatakan (penangkapan) itu melanggar hukum, dan kami bertanya balik: 'apakah sesuai hukum (tentara) menembaki penduduk asli?', kami mencari keadilan," Kata legislator negara bagian Jorge Perez, yang berasal dari komunitas Kumarakapay, tempat insiden itu terjadi.

Berita kekerasan menyebar ke kota perbatasan Santa Elena de Uairén, yang bersama dengan pangkalan militer kecil Roraima di dekatnya, diperkirakan akan menjadi fokus pertumpahan darah pada awalk pekan ini.

Demonstran telah berusaha menutup jalan ke kota sejak Jumat malam, untuk menghentikan tentara mencapai perbatasan.

Mereka gagal, dan kota itu segera dipatroli oleh pasukan garda nasional Venezuela dengan kendaraan lapis baja, yang menurut penduduk setempat menembaki warga sipil pada hari Sabtu.

Wali kota Gran Sabana, Emilio Gonzales, tokoh Pemón kedua yang dipilih untuk posisi itu, melarikan diri ke persembunyian dan kemudian melintasi perbatasan ke Brasil.

Sementara itu, sekelompok demonstran berusaha mendesak para tentara yang masih bertahan untuk mendukung distribusi bantuan, hal serupa yang dilakukan oposisi di perbatasan lain di Venezuela.

Namun, kedatangan demonstran justru didoronga balik oleh gas air mata dari dalam pangkalan militer setempat, dan menurut saksi mata, beberapa petugas tdiak bersegeragam menembakkan peluru ke arah kerumunan yang mencoba mendekat.

"Para tentara terus mengawasi situasi, dan kemudian beberapa petugas tidak berseragam muncul dari samping, mengeluarkan tembakan dan melukai 10 orang," kata wartawan lokal Alba Perdomo.

Para korban luka dibawa ke rumah sakit di distri Santa Elena, sebelum kemudian dibawa melintasi perbatasan untuk mendapat perawatan medis yang lebih memadai.

Di lain pihak, pada Sabtu 23 Februari, banyak pemimpin negara, selebritas, dan aktivisi kembali mendukung upaya oposisi Venezuela untuk memecah blokade pemerintah atas distribusi bantuan pangan dan medis.