Liputan6.com, California - Para ilmuwan telah meneliti salah satu bintang teraneh di langit untuk memahami fluktuasi cahaya liar. Pengamatan terbaru KIC 8462852, juga dikenal sebagai Bintang Tabby atau Bintang Boyajian, telah memindai jenis emisi laser yang bisa dihasilkan oleh peradaban.
Satu penjelasan awal menyebut bahwa objek tersebut adalah "megastruktur alien" yang menjadi penyebab fluktuasi tak wajar tersebut. Julukan "bintang megastruktur alien" diberikan pada tahun lalu setelah analisis menentukan bahwa beberapa panjang gelombang cahaya diblokir --yang tidak akan terjadi jika struktur melakukan penghalauan.
Baca Juga
Sebuah tim peneliti dari UC Berkeley SETI, yang dipimpin oleh siswa SMA David Lipman (sekarang di Princeton), mendekati bintang itu dari sudut yang sebelumnya belum pernah dijelajahi. Hasilnya sekarang telah diunggah ke server pra-cetak arXiv sebelum dikaji ulang.
Advertisement
"Kami menganalisis 177 spektra resolusi tinggi dari bintang Boyajian dalam upaya untuk mendeteksi sinyal laser potensial dari peradaban angkasa luar," tulis para peneliti dalam makalah mereka, sebagaimana dikutip dari Science Alert, Rabu (27/2/2019).
Dengan menggunakan data dari teleskop Automated Planet Finder dari Lick Observatory, tim mencari cahaya laser yang lebih kuat dari 24 megawatt secara terus menerus. Jumlah ini merupakan batas bawah daya yang dapat dideteksi oleh teleskop pada 1.470 tahun cahaya --jarak Bumi ke bintang KIC 8462852.
Kru penelitian kemudian menyisir data dari teleskop dan mereka menemukan beberapa sinyal yang tampak menjanjikan.
"Opini teratas dari analisis ini dapat dijelaskan bahwa sinar itu merupakan salah satu dari sinar kosmik, garis emisi bintang, atau garis emisi cahaya ruang hampa," kaya para penulis makalah tersebut.
"Jadi, tidak ada alien. Kami memang sudah tahu. Namun, pekerjaan ini juga memiliki tujuan lain," papar mereka lagi. Makalah ini telah diterbitkan dalam jurnal Publications of the Astronomical Society of the Pacific.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Planet Beku Raksasa Mengorbit Bintang Barnard, Jaraknya Dekat dengan Bumi
Sementara itu, menurut temuan baru yang ditemukan oleh tim peneliti internasional, sistem bintang kedua yang paling dekat dengan matahari, Bintang Barnard, menjadi rumah bagi sebuah planet berukuran super besar dan bersuhu beku. Jaraknya hanya 6 tahun cahaya dari Bumi.
Bintang Barnard adalah jenis matahari kuno kecil yang disebut katai merah. Meski tidak mudah dilihat tanpa teleskop, Bintang Barnard telah lama menarik perhatian para astronom karena menjadi bintang yang bergerak paling cepat di langit malam.
Ahli astronomi juga mengatakan, Bintang Barnard menjadi rumah bagi sebuah eksoplanet (planet di luar tata surya) beku dan ukurannya tiga kali lebih besar dari Bumi, sehingga menjadikannya tampak seperti Bumi super.
Sebuah tim peneliti kolaboratif dari Red Dots dan proyek CARMENES sedang berupaya menemukan planet yang lokasinya berada di dekat katai merah.
Mereka menggunakan berbagai teleskop untuk menemukan eksoplanet tersebut --yang dikenal sebagai Bintang B milik Barnard-- dan mengeksplorasi keistimewaannya.
Tim dari Red Dots juga pernah terlibat dalam penemuan planet baru-baru ini di sekitar sistem tata surya terdekat Bumi, Proxima Centauri. Temuan terbaru tersebut diterbitkan pada Rabu, 14 November, di jurnal Nature.
Planet Super Beku
Bintang Barnard mempunyai beberapa perbedaan besar dari Bumi. Eksoplanet itu mengorbit bintangnya dalam waktu sekitar 233 hari --jauh lebih sedikit dari orbit Bumi, yakni 365 hari-- tetapi lebih lama dari eksoplanet lain yang pernah ditemukan.
Bintang Barnard B pun jauh lebih dekat dengan bintangnya (Bintang Barnard), hanya 0,4 kali jarak antara Bumi dan Matahari.
Namun, meskipun sangat dekat dengan bintangnya, cahaya dari Bintang Barnard hanya mampu menyinari eksoplanet sebesar 2% energi yang disediakan Matahari untuk Bumi.
Itu artinya, meskipun eksoplanet dekat dengan bintangnya, namun keadaan di planet tersebut sangat dingin. Para peneliti menemukan bahwa eksoplanet kemungkinan memiliki suhu sekitar -274 derajat Fahrenheit (-170 derajat Celcius).
"Saya pikir, misteri yang belum terpecahkan adalah apakah eksoplanet itu punya atmosfer atau tidak," kata Johanna Teske, peneliti dan penulis studi Carnegie Science.
"Jika planet ini memiliki atmosfer, mungkin itu bisa menjaga suhu permukaan lebih hangat," tambahnya, sebagaimana dikutip dari laman Astronomy.com, Kamis 14 November 2018.
Advertisement