Liputan6.com, Jakarta - Bagi kebanyakan orang, kematian adalah peristiwa dalam kehidupan manusia yang dianggap paling menakutkan. Tapi apa pun yang terjadi, pada akhirnya seluruh umat akan meninggal.
Beberapa orang --seperti mereka yang tewas dalam kecelakaan-- tidak memiliki kendali atas bagaimana atau kapan kematian mereka akan terjadi.
Sedangkan yang lain --seperti mereka yang menderita penyakit mematikan jangka panjang-- punya waktu untuk memutuskan bagaimana menghadapi kematian.
Advertisement
Baca Juga
Namun, masih ada segelintir orang di dunia ini yang tidak ingin mati. Meskipun kondisi mereka kritis, namun mereka berusaha melakukan apa pun demi bertahan hidup, di saat orang lain pasti akan binasa.
Berikut 5 sosok yang menolak untuk mangkat, seperti dikutip dari List Verse, Kamis (28/2/2019).
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Keith Caldwell
Keith Caldwell adalah pilot pesawat tempur di Westren Front selama Perang Dunia I. Dia adalah angkatan udara Selandia Baru yang memiliki reputasi menonjol. Dua puluh lima misi, sukses ia jalankan.
Setelah gagal untuk mendaftar kuliah selama pecahnya perang, ketika ia baru berusia 18 tahun, Caldwell lalu berhasil melanjutkan pendidikannya dengan memasuki New Zealand Flying School.
Dia lulus pada Desember 1915 dan berlayar ke Inggris untuk bergabung dengan Royal Flying Corp pada awal 1916.
Pada usia 22, ia dipromosikan menjadi komandan penerbangan dan dikatakan sebagai pilot yang berani dan agresif. Pada Oktober 1916, Caldwell berhasil menjatuhkan sembila pesawat. Dia dianugerahi lencana Military Cross dan disebutkan dua kali dalam dispatches (laporan resmi tentang urusan negara atau militer).
Pada minggu-minggu terakhir pertempuran, sepertinya keberuntungan Caldwell telah habis ketika ia terlibat dalam tabrakan di udara.
Kecelakaan itu merusak penyangga sayap pesawat dan membuatnya berputar merendah beberapa ribu kaki. Untuk mengendalikan jatuhnya pesawat, Caldwell nekat merangkak ke sayap bawah, menyingkirkan rintangan itu, dan memegang penyangga sayap dengan satu tangan sambil mengoperasikan joystick. Ia tak mau menyerah pada kehidupan begitu saja.
Beruntung, Caldwell berhasil mengendalikan pesawat agar dapat mendarat di belakang garis perbatasan Inggris. Di saat yang tepat, dia melompat ke tempat yang aman hanya beberapa detik sebelum pesawat menghunjam tanah. Caldwell pun selamat tanpa celaka sedikit pun atau luka dan kembali ke Selandia Baru untuk menjadi petani.
Advertisement
2. James Bowie
James Bowie, seorang pelopor Amerika pada Abad ke-19, adalah tokoh yang tak ingin menyerah pada kematian. Ia memainkan peran penting dalam Revolusi Texas, yang berpuncak pada tewasnya ia di Pertempuran Alamo (Battle of the Alamo). Dia pertama kali menipu kematian pada tahun 1828, ketika dia membunuh seorang pria dalam duel.
Hidup Bowie dinilai sangat keras oleh orang-orang yang mengenalnya. Ia pecandu alkohol kelas berat dan hampir pasti mengalami sakit liver. Selain itu, ia pun diduga menderita tipus, TBC, atau sakit paru-paru.
Pernah suatu ketika ia jatuh dari atap karena mabuk. Beberapa tulang rusuknya remuk dan pernapasannya menjadi terganggu. Selain itu, ia juga hanya bisa terbaring di tempat tidur saat awal Pertempuran Alamo.
Saksi mata menyatakan, mereka melihat tentara musuh memasuki kamar Bowie dan menyerangnya dengan bayonet (senjata tajam seperti pisau). Meskipun sakit demam, Bowie terus berjuang.
Dari kamarnya, dia terus menembakkan senapannya ke arah musuh sampai mereka mendekatinya. Ketika para rival mulai membuat langkah terakhir, Bowie bangkit dari ranjangnya dan menusuk satu orang di dada dengan pisau eponymous.
Ia masih hidup ketika pasukan tersebut menyeretnya ke alun-alun, menghempaskannya ke tanah dan menancapkan sebilah belati di tubuhnya. Di sanalah, hidupnya berakhir.
3. Leon Trotsky
Bagi Leon Trotsky, pembunuhan selalu mengintai hidupnya. Terkunci dalam perseteruan pahit dengan Stalin, Trotsky terbilang pria yang beruntung karena beberapa kali lolos dari jerat maut ketika Stalin menyetujui rencana dua pendekatan (a two-pronged) untuk membebaskan diri dari saingannya pada tahun 1939.
Upaya pertama datang pada Mei 1940 ketika tim pembunuh bayaran mengintai persembunyian Trotsky di Meksiko dan menembakkan lebih dari 200 peluru ke kediamannya dengan senjata bertenaga tinggi. Beruntung, Trotsky dan istrinya selamat.
Namun, rencana pembunuhan lanjutan dilaksanakan jauh lebih halus. Sylvia Ageloff, seorang pendukung Trotsky garis keras dan anggota stafnya, telah menjadi target utama dalam beberapa tahun sebelumnya.
Wanita ini diperkenalkan kepada seorang diplomat tampan bernama Jacques Mornard. Faktanya, Mornard bukan seorang diplomat dan dia juga mengenakan nama alias. Nama aslinya adalah Ramon Mercader, dan dia adalah orang Stalin.
Sebelum terbongkar identitas Mornard yang sebenarnya, ia setiap hari mengantar Ageloff ke kompleks hunian Trotsky. Secara bertahap, Mornard pun bisa bersahabat dengan para penjaga.
Tanpa kecurigaan sedikit pun, para pengawal Trotsky memberikan Mornard izin untuk masuk ke dalam rumah Trotsky setelah Mornard memberi tahu mereka bahwa dia telah menulis artikel yang ingin dibaca oleh Trotsky.
Begitu memasuki rumah Trotsky dan bertatap muka dengannya, Mornard langsung berbincang bak orang yang sudah kenal dekat. Ia pun memberikan tulisan yang ia bawa, yang sebenarnya tidak penting.
Saat Trotsky sedang membaca dengan seksama dan dalam posisi duduk, Mornard berdiri di belakangnya, mengeluarkan sebilah kapak es dan langsung membacok kepala Trotsky.
Luka sedalam sedalam 5 cm pun membelah tengkorak Trotsky. Ia kemudian berteriak untuk menarik perhatian para penjaga dan menahan Mornard dengan cepat sampai mereka tiba.
Trotsky akhirnya meninggal pada hari berikutnya, dan Mornard dipenjara selama hampir 20 tahun sebelum meninggal pada tahun 1978. Kata-kata terakhir Mornard adalah, "Saya selalu mendengarnya. Saya mendengar teriakannya. Saya tahu dia menunggu saya di sisi lain." Dia di sini mengacu pada Leon Trotsky.
Advertisement
4. Ferdinand Magellan
Pada tahun 1521, Ferdinand Magellan, orang pertama yang berlayar dari Samudra Atlantik ke Samudra Pasifik, terbunuh ketika mencoba melakukan navigasi keliling dunia pertamanya.
Dia meninggalkan Spanyol dengan berlayar menaiki kapal --total ada lima-- dan 250 orang pada tahun 1519 menuju Kepulauan Rempah (Spice Islands). Dia selamat dari pemberontakan.
Kemudian Magellan kehilangan salah satu kapalnya selama misi pengintaian tersebut, dan ia sangat meremehkan ukuran Samudra Pasifik. Perjalanan yang sebelumnya ia yakini akan memakan waktu beberapa hari, nyatanya membutuhkan waktu empat bulan.
Magellan dan krunya mulai kelaparan. Stok makanan habis, air menjadi tercemar, ia dan rpmbongannya terkena penyakit kudis. Ketika mereka akhirnya mendarat di Pulau Mactan di Filipina, mereka nyaris meregang nyawa.
Sebagai rasa terima kasih kepada Tuhan karena membantunya untuk berhasil menemukan pulau itu, Magellan memutuskan untuk menyebarkan ajaran agama Kristen kepada penduduk asli. Namun, alih-alih menggunakan Alkitab, ia justru memanfaatkan meriam dan senapan untuk melakukannya.
Tembakan meriam Magellan tidak efektif karena terumbu karang di sekitar pulau menjaga target di luar jangkauan. Jadi orang-orang pedalaman mulai menyeberang ke darat mengenakan baju besi yang hanya melindungi tubuh bagian atas.
Para anggota suku menyadari bahwa kaki mereka tidak terlindungi, sehingga mereka mengarahkan anak panah lebih rendah untuk menyerang gerombolan Magellan.
Meski pasukannya melarikan diri, namun Magellan terus berjuang. Dia pun sempat terkena panah beracun dan tetap bertahan. Sekali, ia terkena tombak, tetapi ia tetap berada di posisi semula.
Akhirnya, Magellan pun tersungkur di tepi pantai dan tersapu ke bagian dangkal laut. Mengetahui Magellan tergeletak lemas di air, seorang penduduk asli bersiap menancapkan tombak bambu ke wajah Magellan.
Kenyataannya, Magellan jutru membunuh si penyerang terlebih dahulu dengan tombak yang dibawa penyerang ini. Sang Penjelajah mencoba menghunuskan pedangnya dengan lengannya yang terluka, ketika belasan penduduk asli menghujani mereka dengan panah, tombak besi dan bambu. Ia pun tewas seketika.
5. Hugh Glass
Pada 1818, seorang pria bernama Hugh Glass melarikan diri dari kru bajak laut. Dia ditangkap oleh orang-orang Pawnee dan diterima ke suku mereka. Glass belajar cara menyeberangi sungai yang arusnya deras, mengidentifikasi tanaman yang bisa dimakan, membuat api, dan membaca navigasi melalui bintang-bintang.
Pada tahun 1822, karena sebuah alsasan, ia terpaksa minggat dari kelompok pedalaman itu dan bergabung dengan ekspedisi berburu hewan berbulu yang dipimpin oleh Jenderal Ashley di wilayah Sungai Missouri bagiab utara.
Di sana, Glass mengejutkan seekor beruang coklat betina yang sedang melindungi anak-anaknya. Merasa terancam, hewan itu menyerang dan menganiaya Glass. Karena tidak bisa meraih senjatanya, Glas terpaksa bergulat dengan binatang buas tersebut. Ia terluka parah dan sekarat.
Melihat kondisi mengenaskan Glass, Jenderal Ashley kemudian membaringkannya di atas kulit beruang dan meminta sukarelawan untuk menemani Glass sampai dia meninggal. Kemudian, kedua orang ini diminta untuk mengubur jasad Glass.
Meski tidak ada yang tertarik, namun ada dua pria yang melaksanakan mandat sang jenderal setelah dijanjikan bonus. Mereka menggali kuburan Glass dan menunggu kematian pejuang ini.
Setelah tiga hari dan Glass tidak jua mati, kedua pria itu mencuri senapan, pisau, dan barang-barang Glass serta membiarkannya mati sendirian. Mereka pun kembali ke Jenderal Ashley dan memberikan laporan palsu tentang kematian dan penguburan Glass.
Di satu sisi, Glass menggunakan keterampilan bertahan hidupnya untuk merawat lukanya. Dia mengikat kakinya, membungkus dirinya dengan kulit beruang, dan merangkak 322 kilometer kembali ke peradaban.
Dia berpendapat bahwa pikiran untuk membalas dendam pada dua pria yang telah meninggalkannya, memberinya kekuatan untuk terus terus hidup. Dia menghabiskan waktu berbulan-bulan merangkak ke Sungai Cheyenne, di mana dia membangun rakit dan berlayar mencari bantuan.
Terlepas dari keinginannya untuk membalas dendam, Hugh Glass tidak membunuh orang-orang yang telah mengkhianatinya. Sebagai gantinya, dia melaporkan pengkhianatan mereka kepada jenderal dan kembali ke Upeer Missouri.
Di sana, dia menjalani beberapa petualangan lagi, sebelum dia meninggal dalam konflik dengan suku Arikaras pada tahun 1833.
Advertisement