Liputan6.com, California - Sejumlah penemuan terus di publikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah. Para periset, selain mengembangkan beragam metode sains, mereka juga mencari tahu tentang objek-objek yang menurut mereka masih menjadi misteri ilmu pengetahuan.
Salah satu situs sains paling berpengaruh, Live Science, terus mengulas banyak riset tentang hasil penelitian dan temuan yang memang diakui oleh dunia.
Advertisement
Baca Juga
Berikut 3 penemuan sains yang dinilai paling menarik sepanjang tahun 2019 versi Live Science yang dikutip pada Kamis (28/2/2019).
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Bumi Menyembunyikan Jajaran Gunung di Mantel Terdalamnya
Bumi menyembunyikan beberapa jajaran pegunungan di mantelnya. Planet Biru ini terdiri dari tiga lapisan dasar, yakni kerak yang dihuni 7,7 miliar manusia dan hampir 9 juta spesies lain; mantel yang sebagian besar berupa batuan padat dan merupakan 84 persen dari volume Bumi, dan mendorong terbentuknya gunung berapi dan gempa; serta inti yang menstabilkan medan magnet di seluruh dunia.
Tetapi di antara lapisan-lapisan ini, ternyata ada anatomi yang lebih detail. Wilayah yang membagi mantel menjadi lapisan atas dan bawah disebut zona transisi, dengan bagian terdalamnya memiliki area perbatasan sejauh 660 kilometer.
Sekarang, ahli geologi telah menemukan bahwa batas ini menyembunyikan banyak pegunungan, menurut para peneliti yang melaporkan temuannya dalam sebuah studi baru yang diterbitkan pada 14 Februari dalam jurnal Science.
Pegunungan ini lebih terjal, dengan perbedaan ketinggian yang besar, daripada pegunungan yang biasa dilihat di permukaan, seperti pegunungan Rocky dan pegunungan Appalachian di Amerika Utara, menurut pernyataan Princeton University.
Agar para ilmuwan bisa mendeteksi jajajaran pegunungan ini, yang terpendam sekitar 410 mil di bawah permukaan Bumi, Bumi harus "diguncang" terlebih dulu.
Dalam kolaborasi internasional antara Princeton University dan Institute of Geodesy and Geophysics di China, para ahli menganalisis data dari gempa berkekuatan 8,2 magnitudo yang mengguncang Bolivia pada tahun 1994.
Lindu kuat tersebut dapat mengirimkan gelombang kejut melalui bagian dalam Bumi, kadang-kadang melalui inti, merambat ke sisi lain dan kembali lagi. Seismolog dapat memantau intensitas gelombang kejut ini di berbagai titik di permukaan planet, saat guncangan memantul ke segala arah. Gelombang seismik akan berubah tergantung pada objek yang dikenainya.
Seismolog dapat mendeteksi berapa banyak gelombang itu tersebar di permukaan dan menggunakan data yang diperoleh untuk mencari tahu apa yang ada di bawah permukaan Bumi.
Dalam studi baru, para peneliti menciptakan simulasi seperti apa bagian atas zona transisi dan bagian bawah (batas 660 km) di mantel Bumi.
Meski mereka menemukan adanya kekasaran di perbatasan, namun mereka belum mampu menjelaskan apakah pegunungan itu berukuran lebih tinggi daripada yang ada di permukaan Bumi.
Mirip dengan apa yang ditemukan di permukaan, topografi pada daerah batas tersebut sedikit berbeda. Selain itu, di bagian paling atas zona ini, sekitar 410 kilometer ke bawah (255 mil), mereka menemukan sedikit kekasaran.
Dengan adanya temuan tersebut, para ilmuwan dapat memahami bagaimana planet ini terbentuk dan bagaimana fungsinya sekarang. Meski demikian, belum dijelaskan apakah mantel bagian atas dan bawah sudah menyatu atau tetap berdiri masing-masing dengan susunan kimianya sendiri.
Selama bertahun-tahun, ahli geologi masih memperdebatkan tentang zona transisi ini yang konon menjaga mantel atas dan bawah dari penggabungan. Tetapi topografi yang baru ditemukan itu mampu menghasilkan wawasan apakah keduanya berbaur atau tidak.
Area yang lebih halus di perbatasan bisa dihasilkan dari pencampuran dua lapisan, sementara area yang lebih kasar bisa muncul karena mereka tidak dapat menyatu dengan sangat baik di tempat-tempat itu, menciptakan endapan, kata para peneliti.
Endapan itu sendiri dapat berasal dari batu yang bermigrasi jauh dari kerak ke mantel, kini berada di dekat batas 660 km, mungkin justru berada tepat di bawah atau tepat di atasnya.
"Sangat mudah untuk mengasumsikan, mengingat kita hanya dapat mendeteksi gelombang seismik yang berjalan melalui Bumi dalam kondisi saat ini, bahwa seismolog tidak dapat membantu membedakan bagaimana interior Bumi telah berubah selama 4,5 miliar tahun terakhir," ujar rekan penulis studi Jessica Irving, seorang ahli geofisika di Princeton University.
"Apa yang menarik tentang hasil ini adalah bahwa aktivitas Bumi ini memberi kami informasi baru untuk memahami nasib lempeng tektonik kuno yang telah turun ke mantel, dan di mana material mantel kuno mungkin masih berada."
Advertisement
2. Pemanasan Global Picu Seluruh Lautan di Muka Bumi Mendidih?
Suhu laut disebut oleh para ilmuwan berada pada titik tertinggi sejak pengukuran akurat dimulai pada pertengahan Abad ke-20. Lantaran adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, maka segala sesuatunya diprediksi akan kian buruk di tahun-tahun mendatang.
Lantas, bila manusia terus menciptakan gas rumah kaca yang berdampak pada atmosfer Bumi, bisakah seluruh lautan yang ada di jagat raya ini menjadi begitu panas dan mulai mendidih?
Jawabannya adalah "tidak". Untungnya, kegiatan-kegiatan merugikan yang dibuat oleh manusia itu, diklaim tidak akan pernah cukup untuk memanaskan dunia.
"Bahkan jika kita membakar semua cadangan bahan bakar fosil yang diketahui, kita tidak akan mendapatkan kehangatan itu," Zeke Hausfather, ahli iklim di Berkeley Earth (organisasi nirlaba yang menganalisis data suhu), mengatakan.
"Meski begitu, perlu disebutkan bahwa ada banyak dampak buruk bagi iklim yang terjadi jauh, jauh sebelum permukaan Bumi benar-benar cukup panas untuk mendidihkan air," lanjutnya.
Gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana meningkatkan suhu Bumi dengan menjebak energi matahari di atmosfer dan permukaan planet --energi yang akan memancar ke angkasa luar. Sekitar 93 persen dari panas tambahan ini diserap oleh permukaan laut, kata Hausfather.
Panas dengan cepat bercampur melalui air setinggi 100 meter, sebuah wilayah yang dikenal sebagai "lapisan campuran," membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai lebih jauh ke bawah, tambahnya.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah mengamati peningkatan suhu di samudera terdalam. Karena air lebih tebal daripada udara, ia memiliki kemampuan untuk menyerap banyak panas.
"Bagian atas samudera setinggi 2,5 meter memegang jumlah panas yang sama dengan seluruh atmosfer di atasnya," kata Hausfather.
Jadi, secara teori dimungkinkan bahwa lautan Bumi bisa menjadi cukup panas untuk mulai mendidih. Molekul air hangat menguap dari permukaan laut sepanjang waktu. Uap air itu sendiri adalah gas rumah kaca, sehingga jumlah air yang lebih besar di atmosfer akan menciptakan siklus umpan balik yang ganas, dan dunia yang lebih panas secara keseluruhan.
Hal serupa diduga terjadi di Venus sejak lama, menyebabkan lautan di planet ini mendidih. Tetapi karena jarak Bumi ke matahari lebih jauh daripada Venus, maka akan dibutuhkan lebih banyak gas rumah kaca bagi Planet Biru ini untuk mencapai titik suram itu.
Sebuah makalah yang diterbitkan pada 2013 di jurnal Nature Geoscience mengungkapkan bahwa, untuk mendorong efek rumah kaca yang "berlarian" ini, Bumi akan membutuhkan sejumlah karbon dioksida sekitar 10 kali lebih besar dari apa yang bisa dilepaskan dari pembakaran semua cadangan batu bara, minyak dan gas yang tersimpan di tubuhnya.
Sementara analisis ini masih tidak pasti, Hausfather berkata, secara historis, lautan di seluruh Bumi cukup tangguh untuk menghadapi iklim ekstrem. Sebagai contoh, ratusan juta tahun yang lalu, dunia kita mengalami skenario "Bumi bola salju" di mana seluruh permukaan planet ditutupi es.
Sedangkan sekitar 55 juta tahun yang lalu, suhu global rata-rata adalah 9 hingga 14 derajat Fahrenheit (5 hingga 8 derajat Celsius), lebih panas selama Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM), tetapi suhu yang relatif stabil beberapa kali kembali, Hausfather menjabarkan.
3. Penyebab Birunya Bumi Menjadi Hijau
Tahukah Anda bahwa Planet Biru alias Bumi ini disebut menjadi kian hijau? Secara harfiah, sejak 1980-an, citra satelit telah menunjukkan bahwa cakupan hutan yang rindang di seluruh dunia telah tumbuh sebesar 2,3 persen per dekade.
Sebuah studi baru, yang diterbitkan pada 11 Februari di jurnal Nature Sustainability, membantu menjelaskan alasannya. Salah satu pendorong utama menghijaunya Bumi adalah "efek pembuahan" yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia.
Ketika karbon dioksida meningkat di atmosfer, zat ini menumbuhkan fotosintesis --selama air, cahaya, dan nutrisi tidak terbatas. Ketika tanaman mengambil lebih banyak gas, mereka menghasilkan lebih banyak makanan dan menumbuhkan daun baru.
Tetapi para peneliti juga menemukan penyebab lain terkait perubahan rona Bumi: adanya kegiatan menanam lebih banyak tanaman dan pohon.
China dan India, dua negara dengan penduduk terpadat di jagat ini, telah menyumbang sekitar sepertiga ruang hijau yang terlihat sejak tahun 2000, terutama dalam bentuk hutan dan pertanian. Dalam makalah terbaru ini, para periset di Boston University melihat lebih dekat tren penghijauan tersebut.
Mereka menggunakan data dari Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer atau MODIS buatan NASA --alat yang menggunakan teknologi satelit canggih untuk mendokumentasikan permukaan Bumi setiap hari.
Dalam gambar yang diambil antara tahun 2000 hingga 2017, para peneliti melihat perubahan wilayah yang hijau di daerah yang tertutup tanaman, serta apa yang digunakan oleh lahan yang mendasarinya --termasuk lahan pertanian, hutan, dan padang rumput.
Data satelit mengungkapkan bahwa secara global, sepertiga area ditumbuhi tanaman hijau, sedangkan lima persen di antaranya berwarna coklat.
"Manajemen penggunaan lahan di banyak daerah lebih penting daripada faktor tidak langsung, seperti perubahan iklim dan pemupukan CO2," kata Chi Chen, penulis utama studi ini. "Tiongkok dan India, dua negara berkembang, berkontribusi paling besar dalam peningkatan luas ruang hijau," lanjutnya.
Sebanyak 6,6 persen dari area vegetasi dunia ada di China, dan negara tersebut bertanggung jawab atas 25 persen peningkatan penghijauan global.
Studi ini menemukan bahwa sebagian besar penghijauan ada di Tiongkok, termasuk kontribusi dari lahan pertanian. Sejak awal, China telah menerapkan program skala besar untuk melindungi dan memulihkan tanah berhutannya.
Advertisement