Sukses

Pusat Pelatihan Vokasional Xinjiang, Cara China Atasi Radikalisme yang Dikritik Barat

Setidaknya 2.000 orang dari etnis minoritas Uighur, Kazakh, Kirgiz dan beberapa lainnya saat ini berada di "pusat pelatihan vokasional Kashi" di Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR), China.

Liputan6.com, Kashgar County, Prefektur Kashgar, Xinjiang - Pada sebidang lahan seluas 5,3 hektar dan berlokasi beberapa puluh kilometer dari pusat Kota Tua Kashgar, sebuah kompleks berisi klaster gedung dengan berbagai ukuran dan tinggi lantai bercokol kokoh di Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR).

Kompleks luas itu kemudian dipartisi menggunakan tembok tinggi, dengan hanya sebuah gerbang besar sebagai akses keluar-masuk utama. CCTV terpasang di sejumlah titik di tembok partisi tersebut, termasuk sejumlah lainnya yang terpasang di dalam gedung.

"Selamat datang di pusat pelatihan vokasional Kashgar," kata Majid Mahmud, pria yang memperkenalkan diri sebagai direktur fasilitas itu kepada rombongan jurnalis Indonesia dan Malaysia yang datang berkunjung pada 25 Februari 2019.

Fasilitas itu berlokasi di Kashgar County, Prefektur Kashgar, XUAR barat daya --dekat perbatasan China - Kirgiztan dan China - Tajikistan atau 1.474 km dari barat daya Urumqi, ibu kota Xinjiang.

Dibangun dan mulai beroperasi pada 2017, fasilitas itu difungsikan untuk memberikan edukasi pada setidaknya 2.000 orang yang disebut 'siswa'. Sejak berdiri, jumlah siswa selalu konstan, ada yang datang dan pergi.

"Mereka terinfeksi ekstremisme dan radikalisme serta terjerat dalam kemiskinan," klaim Mahmud soal latar belakang para siswa.

"Kebanyakan siswa berasal dari area rural (di Kashgar). Sebelum datang ke sini, mereka tidak bisa bahasa dan aksara nasional (China), tidak paham hukum, dan tidak punya keterampilan. Sekarang, mereka punya kesempatan untuk mendapatkan semua itu di sini."

Kurikulum yang diajarkan dalam fasilitas vokasional di Kashgar berupa pelatihan bahasa nasional (Mandarin dan aksara Tiongkok), pengetahuan hukum negara, serta pelatihan keterampilan/keahlian. Selain ketiga kurikulum utama itu, para siswa juga diberi kesempatan untuk berolahraga serta melatih kesenian tradisional khas etnik mereka.

"Saat masih terinfeksi ekstremisme dan radikalisme, mereka tidak bisa menari dan bernyanyi, bahkan membencinya. Sekarang mereka bisa," kata seorang staf fasilitas yang memperkenalkan diri sebagai guru kelas kesenian tradisional.

"Dan cara ini terbukti efektif menghapus radikalisme dan ekstremisme," kata Mahmud, "tidak ada lagi gangguan keamanan dan sosial sejak pelatihan vokasional ini berdiri," jelasnya.

"(Fasilitas ini) didirikan sesuai dengan realitas yang ada di komunitas setempat (Kashgar). Dan kami telah menemukan cara efektif (melalui fasilitas tersebut) untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan terorisme," lanjut Mahmud.

Total bangunan fasilitas Kashgar sekiranya berjumlah 10, berlantai 3 hingga 6. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan fasilitas serupa di Atush, Xinjiang yang hanya memiliki satu gedung utama enam lantai.

Berbagai bangunan di fasilitas Kashgar tersebar di dalam kompleks. Di antara bangunan-bangunan itu, terdapat sejumlah jalan kecil penghubung dan beberapa lapangan terbuka serbaguna yang bisa digunakan untuk aktivitas olahraga.

 

Kondisi di Dalam Pusat Vokasional Kashgar

Liputan6.com bersama rombongan jurnalis Indonesia dan Malaysia yang didampingi belasan otoritas Tiongkok dan XUAR tiba di fasilitas pada sekira pukul 17.49 waktu lokal. Sebelumnya kami menempuh sejumlah kilometer dari pusat kota Kashgar untuk menuju lokasi fasilitas yang juga berada di daerah padang gurun Xinjiang barat daya.

Lokasi Kashgar yang berada di sisi terbarat China membuat matahari masih bersinar terang pada hari itu.

Kami langsung disambut oleh sang direktur, Majid Mahmud. Di antara kami, para pejabat dari departemen diseminasi informasi Partai Komunis China mendampingi para jurnalis.

Sementara itu, di beberapa lapangan yang ada di sana, terlihat sejumlah "siswa" tengah beraktifitas seperti bermain ping-pong, bola basket, voli, dan badminton.

Suasana serupa terlihat ketika rombongan jurnalis melawat ke fasilitas serupa di Atush sehari sebelumnya, dengan sejumlah siswa sibuk beraktivitas di luar ruang.

"Jam-jam seperti ini, para siswa memang dibolehkan untuk bebas beraktivitas seperti olahraga dan rekreasi lainnya," kata Mahmud.

Mahmud membawa rombongan jurnalis ke sejumlah ruangan di kompleks fasilitas tersebut, mulai dari sejumlah ruang kelas berisi 28-30 siswa, beberapa ruang pelatihan vokasional, lapangan, kafetaria, hingga asrama para siswa.

Ruang kelas punya fitur tipikal kelas pada umumnya. Ada papan, meja dan kursi untuk setiap siswa, serta 'nuansa' di mana sebuah proses belajar-mengajar biasa berlangsung.

Untuk kafetaria, kompleks itu punya satu gedung berlantai dua yang memang dikhususkan untuk memasak dan menyantap makanan bagi ribuan siswa yang ada di dalamnya.

Sementara kamar asrama, pada setiap ruang terdapat enam - delapan kasur yang diperuntukkan sebagai tempat berbaring. Masing-masing kamar pun punya kamar mandi, loker, pengatur suhu ruangan, dan televisi.

2 dari 3 halaman

Testimoni Seorang Siswa

Nuramina Tursan, seorang perempuan berusia 24 tahun dari Kashgar, mengaku bahwa ia masuk ke dalam fasilitas tersebut karena "terinfeksi ekstremisme dan radikalisme setelah menonton video yang ia dapat dari internet."

"Mulanya saya membantu adik saya untuk mencari materi pelajaran di internet, namun kemudian tak sengaja menemukan konten-konten seperti itu," kata Tursan kepada Liputan6.com di lokasi.

Tursan mengatakan, ia menggunakan protokol internet khusus untuk melangkahi ketatnya blokade dan sensor terhadap internet yang diterapkan pemerintah China. Hingga pada akhirnya ia tak menemukan "beragam konten-konten video ekstremisme yang menganjurkan untuk 'membunuh mereka yang tidak seiman atau beriman'."

Awalnya, Tursan hanya menonton satu video. Terpincut rasa penasaran, ia pun mencari lagi video dengan konten serupa.

"Saya pertama kali menonton video berkonten ekstremisme pada 2016 dan setelah berulangkali, saya jadi terinfeksi," kata Tursan menggunakan bahasa Mandarin yang diterjemahkan kepada Liputan6.com.

Tursan mengatakan, setelah menonton banyak video tersebut, ia merasa "punya dorongan untuk membunuh".

"Di dalam hati, saya merasa telah berulang kali ingin membunuh orang," akunya.

Meski pada akhirnya ia tak merenggut nyawa siapa pun, Tursan mengaku bahwa pada suatu waktu di tahun 2018, ia memukuli teman saudara kandungnya karena ia anggap kafir. Kejadian itu, kata Tursan, membuat dirinya masuk ke dalam pusat pelatihan vokasional Kashgar.

"Setelah masuk ke sini, sekarang saya sadar bahwa perbuatan saya salah," jelas Tursan yang mengatakan telah menjalani program vokasional sejak Maret 2018.

Polisi tidak menetapkannya sebagai kriminal atau teroris atas perbuatan itu, melainkan sebagai seorang pelanggar hukum ringan. Akan tetapi, tidak ada proses persidangan yang dijalani oleh Tursan.

"Mereka (polisi) mengatakan kalau saya telah mengganggu ketertiban umum dan melanggar hukum. Mereka menyarankan saya untuk masuk ke dalam sini dan saya pun setuju," kata Tursan.

"Kalau saya tidak masuk ke sini (pelatihan vokasional), mungkin saya akan menjadi teroris. Dan saya mungkin akan benar-benar melakukan pembunuhan dan menghancurkan banyak keluarga serta akhirnya masuk ke penjara," jelasnya.

Sulung dari tiga bersaudara itu kini mengatakan telah mampu berbahasa nasional China, memahami hukum serta membedakan mana yang benar dan salah, juga keterampilan desain pakaian. Ia pun menunjukkan buku yang berisi hasil kelihaian tangannya membuat berbagai rancangan busana di kertas kepada saya.

"Setiap di sini kangen keluarga. Kangen Baba (Ayah), Mama (Ibu), dan saudara," jelasnya, "Tapi sehari dalam sepekan saya bisa pulang ke rumah, jadi kangennya hilang."

Direktur Majid Mahmud mengklaim bahwa sehari dalam sepekan, para siswa berhak untuk pulang menjenguk keluarga untuk kemudian kembali ke fasilitas pada keesokan harinya. Tursan dan beberapa siswa yang penulis temui mengonfirmasi hal tersebut.

Ketika ditanya kapan ia akan menamatkan pelatihan vokasional di fasilitas Kashgar, Tursan mengatakan, "belum tahu kapan. Saya harus menunggu evaluasi petugas," jelasnya.

"Kalau saya sudah memenuhi target pada tiga kurikulum (bahasa, hukum, dan keterampilan) dan lulus evaluasi, baru bisa keluar."

3 dari 3 halaman

Kritik Barat, Bantahan China

Panel Dewan HAM PBB di Jenewa pada Agustus 2018 mendefinisikan fasilitas seperti di Kashgar dan beberapa lokasi lain di Xinjiang sebagai "kamp internir" yang mengarah pada dugaan bahwa China melakukan pelanggaran hak asasi manusia, tindak kekerasan dan koersif, serta diskriminatif terhadap etnis minoritas. Bahkan sejumlah pihak mendefinisikannya sebagai Laojiao (Laodong jiaoyang) yang berarti "kamp re-edukasi".

Tiongkok dengan tegas menolak tuduhan PBB serta Barat, dan membantah pengunaan definisi "kamp" atau "pusat detensi". Pejabat China di tingkat pusat hingga lokal mendefinisikan fasilitas sebagai "pusat pelatihan" untuk menanggulangi "radikalisme dan ekstremisme" yang dioperasikan sesuai hukum dan dengan menjamin 'hak' dan 'kemerdekaan' para "siswa".

Xinjiang dan beberapa wilayah di China telah dilanda belasan "serangan terorisme berbasis radikalisme-ekstremisme" sejak 1990-an hingga beberapa tahun lalu. Beijing menuduh 'kelompok separatis-teroris Turkestan Timur di Xinjiang' yang terafiliasi kelompok teroris di Asia Tengah sebagai dalang peristiwa yang menelan korban jiwa di Tiongkok.

Merespons, China membentuk UU Anti-Terorisme pada 2015 untuk meredam berbagai peristiwa teror tersebut. Dan pada 2016, China dilaporkan telah mulai mendirikan fasilitas 'pelatihan dan re-edukasi' di Xinjiang.

Pemerintah lokal juga menyebut fasilitas itu sebagai salah satu cara bagi pemerintah untuk mengangkat para siswa dari kemiskinan dengan memberikan mereka keterampilan vokasional.

Seorang pejabat Partai Komunis China mengatakan, bahwa kemiskinan berkorelasi dengan ekstremisme dan radikalisme, sehingga, dengan adanya fasilitas semacam itu dapat menjadi jawaban atas ketiga masalah tersebut.