Liputan6.com, Pyongyang - Negosiasi atas denuklirisasi Korea Utara batal, setelah digelar KTT kedua antara negara tersebut dengan Amerika Serikat di Hanoi, Vietnam. Sang diktaktor, Kim Jong-un, bersikeras mendesak AS agar mau terlebih dahulu mencabut semua sanksi ekonomi sebagai imbalan atas pelucutan senjata nuklir.
Namun, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, membocorkan bahwa pembicaraan lanjutan dengan Korea Utara akan segera dilangsungkan.
Akan tetapi, sebelum pemerintahan Donald Trump mengumumkan tidak adanya kesepakatan, negosiator AS menggarisbawahi bahwa Kim Jong-un dan rezimnya tidak mengizinkan komunitas internasional untuk mengakses situs dan program senjata nuklirnya, seperti yang dahulu pernah disampaikan oleh Kim Jong-un.
Advertisement
Baca Juga
Korea Utara, seperti semua negara yang mengembangkan senjata nuklir, cukup tertutup tentang penelitian dan pengujian senjata pemusnah massal itu. Tidak ada yang tahu persis jumlah bahan nuklir yang dimiliki Korea Utara atau bahkan jenis hulu ledak seperti apa yang telah dikembangkan.
Menurut para pakar keamanan nuklir, ada banyak cara untuk memantau situasi di Korea Utara dari jarak jauh. "Ada banyak sekali teknologi," kata Sharon Squassoni, seorang profesor dan pakar keamanan nuklir di The George Washington University, seperti dikutip dari Live Science, Jumat (1/3/2019). Berikut 3 di antaranya.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Melalui Internet
Korea Utara telah mengaku bahwa mereka menghancurkan seluruh situs pengembangan nuklirnya, tanpa terkecuali. Pada tahun 2005, pemimpin Korea Kala itu, Kim Jong-il mengklaim bahwa negaranya memiliki nuklir.
Namun kemudian, ia menandatangani pernyataan internasional yang berisi perjanjian untuk meninggalkan program senjata nuklirnya. Tetapi pada 2006, Korea Utara menguji coba bom nuklir pertamanya.
Di satu sisi, sejarah perundingan yang gagal membuat para pakar keamanan berhati-hati terhadap potensi kemajuan yang dibuat antara Trump dan Kim Jong-un, terutama karena tidak dilibatkannya pihak ketiga atau PBB atau negara lain.
"Namun, pertemuan di Hanoi memang merupakan kesempatan untuk membawa Korea Utara kembali ke 'benang merah'," kata Alexander Glaser, Direktur Laboratorium Nuclear Futures di Princeton University.
Bahkan jika Korea Utara menolak untuk membagikan informasi lengkap kepada publik tentang program nuklirnya, Glaser menyampaikan, mungkin saja akan ada pendekatan bertahap yang melibatkan beberapa pemantauan jarak jauh dan beberapa inspeksi di tempat yang dapat membuktikan apakah Korea Utara benar-benar memenuhi janjinya --meluluh lantakkan seluruh situs nuklir.
Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty Organization (CTBTO) sudah menjalankan sebuah komisi untuk memantau atmosfer, lautan, dan bawah tanah untuk setiap pengujian nuklir Korea Utara.
Monitor infrasonik mampu mendeteksi ledakan di atas permukaan Bumi, sedangkan mikrofon bawah air dapat mendeteksi pengujian nuklir di bawah laut --keduanya pernah dilarang di bawah Traktat Larangan Uji Nuklir Parsial (Partial Nuclear Test Ban Treaty) pada 1963.
Tes nuklir bawah tanah muncul pada seismometer yang dirancang untuk mendeteksi gempa bumi. Ada banyak aturannya seperti ini, yang dijalankan oleh lembaga penelitian, pemerintah dan bahkan swasta.
"Beberapa dari mereka mengunggah semua data secara daring," ucap Jeffrey Park, ahli geofisika di Yale University. "Itu artinya, siapa pun yang memiliki koneksi internet, dapat mendeteksi uji coba nuklir bawah tanah, selama mereka tahu apa yang harus dicari."
Uji coba nuklir menciptakan banyak hal yang oleh ahli geofisika disebut "p-waves" atau "gelombang-p", yakni gelombang kompresional yang diciptakan oleh ledakan besar yang mendorong segala sesuatu keluar dalam satu waktu.
Gelombang ini terlihat sangat berbeda dari sinyal yang diciptakan oleh gempa bumi. Lindu disebabkan oleh bergesernya sesar, sehingga sinyal seismiknya didominasi oleh energi gelombang tersebut.
Advertisement
2. Lewat Triangulasi
Berkat pemantauan seismik jarak jauh, komunitas internasional dapat mengetahui jika rezim Kim Jong-un telah menunjukkan "sesuatu" di situs pengujian bawah tanahnya, Punggye-ri.
Dengan melakukan triangulasi (teknik navigasi yang menggunakan sifat-sifat segitiga trigonometri) terhadap sumber gelombang yang terdeteksi di pusat seismik yang berbeda, para ilmuwan bahkan dapat mengetahui dengan tepat di mana di lokasi ledakan terjadi, bahkan jika mereka berada dalam radius satu kilometer.
Korea Utara meledakkan bom-bom tersebut di Punggye-ri pada 2006, 2009, 2013, 2016 dan 2017. Dua tes perdana dianggap sebagai kegagalan. Sedangkan uji coba tahun 2013 dan 2016 merupakan indikasi bom fisi plutonium generasi pertama, tidak seperti bom yang dijatuhkan di Nagasaki pada tahun 1945.
Korea Utara mengklaim bahwa bom yang diuji pada 2016 dan 2017 adalah bom termonuklir atau hidrogen, yang menghasilkan ledakan melalui fusi nuklir daripada fisi.
Beberapa ahli berpikir pemerintah Korea Utara benar-benar memiliki bom termonuklir, meskipun yang lain ragu. Demi mendapatkan pengakuan di panggung dunia, Pyongyang ingin semua orang percaya bahwa program nuklirnya kuat.
Tetapi sayangnya, tidak jelas bahwa pengujian yang dilakukan sejauh ini mengindikasikan keberadaan bom termonuklir.
Sebagai contoh, Korea Utara hanya memiliki satu reaktor plutonium, sehingga para periset dapat membuat perkiraan yang pasti tentang berapa banyak plutonium yang harus digunakan oleh negara tersebut.
Namun operasi intelijen pada 2010 yang diberikan kepada para peneliti di Stanford University mengungkapkan bahwa Korea Utara juga dapat memperkaya uranium, yang dilakukan di fasilitas tersembunyi.
Setidaknya ada satu fasilitas pengayaan uranium di negara itu, kata Alexander Glaser dari Nuclear Futures di Princeton University, dan mungkin setidaknya satu lagi di lokasi yang tidak diketahui (baik uranium atau plutonium dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir).
"Bahkan mungkin ada situs ketiga yang tidak kami sadari," imbuhnya.
Sisi lain yang mudah disembunyikan dari program nuklir Korea Utara adalah pengembangan sistem peluncurannya. Korea Utara bisa memiliki nukir berdaya ledak tinggi seperti yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.
3. Kerja Sama Jarak Jauh
Mempelajari apa yang terjadi di dalam fasilitas nuklir adalah tantangan yang berat, menurut Sharon Squassoni, seorang profesor dan pakar keamanan nuklir di The George Washington University, yang pernah bekerja di Departemen Luar Negeri AS dan sekarang menjadi anggota Bulletin of the Atomic Scientists (kelompok yang bertanggung jawab atas Doomsday Clock).
Informasi dari "orang dalam" sulit didapat dan Korea Utara tidak mungkin menyerahkan daftar semua fasilitas nuklir mereka kepada komunitas internasional.
Jika pemerintah Korea Utara bersedia memberikan sedikit detilnya saja, maka dunia dapat memantau banyak kegiatan mereka dari jauh.
Pengintaian satelit dapat digunakan untuk memastikan bahwa tidak ada aktivitas di fasilitas produksi plutonium atau uranium --hal yang sama bisa berlaku untuk lokasi peluncuran rudal (yang masih dipertahankan meskipun ada moratorium peluncuran).
Pemantauan udara dan sampel tanah atau vegetasi dapat menjadi petunjuk produksi bahan radioaktif. Dengan informasi dan waktu yang cukup, para ilmuwan dapat melakukan semacam "arkeologi nuklir", dengan mencari tahu berapa banyak uranium yang telah ditambang di Korea Utara dan kemudian membandingkannya dengan jumlah hulu ledak yang diklaim negara ini.
Penghitungan itu bisa memperjelas tentang sesuatu yang disembunyikan oleh Korea Utara. Bahkan dalam skenario lain, konfirmasi denuklirisasi tidak dapat terjadi dalam semalam.
"Ini akan memakan waktu bertahun-tahun untuk mengkonfirmasi kelengkapan deklarasi, atau untuk mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari komunitas internasional," pungkasnya.
Advertisement