Liputan6.com, Jakarta - Jet tempur MiG-21 milik India ditembak jatuh militer Pakistan pada Rabu pagi 27 Februari 2019. Untung, sang pilot, Abhinandan Varthaman sempat meloloskan diri menggunakan kursi lontar.
Dengan parasut yang terkembang, pria tersebut menjejak Bumi dalam kondisi selamat. Sang penerbang bertanya pada penduduk desa yang mengerumuninya, apakah ia mendarat di wilayah India. Seorang pemuda menjawab, iya. Ternyata, itu dusta besar.
"Aku melihat bendera India di parasutnya dan langsung tahu bahwa ia adalah orang India," kata Mohammad Razzaq Chaudhry, kepala desa di wilayah Horran, Pakistan, lokasi jatuhnya pesawat, seperti dikutip dari BBC News, Jumat (1/3/2019).
Advertisement
Baca Juga
"Ia kemudian melepas parasut dan meneriakkan slogan patriotisme ala India, namun para pemuda yang ada di dekatnya merespon dengan meneriakkan, 'Hidup Pakistan!'. Sontak, pilot itu menarik pistolnya dan menembakkannya ke atas untuk menakuti mereka," tambah dia.
Penduduk desa yang terpancing jadi agresif. Mereka melempari pilot India itu dengan batu, mengejarnya, lalu memukulinya. "Aku meminta mereka tak menyakitinya, membiarkan pria itu hingga petugas militer tiba," tambah Chaudhry.
Saat India membantah ada pilotnya yang tertangkap, Kementerian Informasi Pakistan merilis video yang menunjukkan Abhinandan Varthaman dalam kondisi ditutup matanya dan berlumuran darah. Rekaman itu kemudian dihapus.
Dalam video terbaru, sang penerbang terlihat sedang menyeruput teh. Tak ada lagi darah di wajahnya. Ia juga menyebut, pihak Pakistan memperlakukannya dengan baik.
Belakangan, Abhinandan Varthaman dibebaskan. Penerbang Indian Air Force (IAF) itu dibawa dari Rawalpindi ke Lahore, diserahkan ke International Committee of Red Cross (ICRC) di bawah aturan Konvensi Jenewa sebelum akhirnya menempuh perjalanan ke pos pemeriksaan bersama Wagah-Attari. Pakistan menolak permintaan India yang ingin menerbangkan pesawat untuk menjemputnya.
"Seorang pilot India ada di tangan kami. Sebagai isyarat perdamaian kami akan membebaskannya besok," kata PM Pakistan, Imran Khan dalam sidang parlemen pada Kamis 28 Februari 2019.
Khan mengaku, upayanya untuk menghubungi PM India Narendra Modi gagal. "Saya ingin menjelaskan bahwa kami tidak menginginkan eskalasi apapun," tambah dia.
Sementara, PM Modi memuji Abhinandan dalam kampanyenya di Tamil Nadu. "Seluruh negeri bangga bahwa Komandan Sayap Abhinandan yang pemberani berasal dari Tamil Nadu," kata dia, seperti dikutip dari www.ndtv.com, Jumat 1 Maret 2019.Â
Modi membela keputusannya mengirimkan jet tempur ke wilayah Pakistan untuk apa yang ia sebut sebagai upaya pemberantasan terorisme. Ia juga menyerang pihak oposisi yang mengkritiknya.
Namun, pengembalian Abhinandan Varthaman tak lantas mengakhiri konflik dua negara berjiran itu. Kisahnya hanya satu babak dalam serial terbaru ketegangan India dan Pakistan.Â
Sehari sebelum Pakistan menembak pesawatnya dan satu jet lainnya, India mengklaim angkatan udaranya melancarkan serangan ke lokasi diduga kamp militan yang berada di wilayah teritorial Pakistan.
Dan, pada pertengahan Februari 2019, India menuding Pakistan berperan langsung dalam serangan bunuh diri yang menewaskan 40 tentara paramiliter India di wilayah Kashmir yang dikuasai India -- yang menjadi serangan paling mematikan sejak akhir 1980-an.
Islamabad membantah berperan dalam insiden itu, yang menurut New Delhi, dilakukan kelompok teroris Jaish-e-Mohammed yang berbasis di Pakistan.
Eskalasi ketegangan Pakistan dan India bikin dunia ketar-ketir. Sebab, dua-duanya punya senjata nuklir dan sudah lama berkonflik gara-gara perebutan wilayah: Kashmir. Meski kemungkinannya kecil, konflik terbuka dengan skala besar bisa saja terjadi.Â
72 Tahun Berebut Kashmir
Sejak merdeka dari Inggris, India dan Pakistan dilanda tiga kali peperangan. Dua di antaranya terjadi pada 1947 dan 1965. Gara-gara berebut Kashmir.
Sementara, tertempuran ketiga terjadi pada 1971, yang sama sekali tak ada kaitan dengan wilayah sengketa itu. Terkait kemerdekaan Bangladesh.
Konflik Kashmir dilaporkan telah menewaskan 47 ribu orang sejak 1989. Itu belum termasuk mereka yang hilang. Sejumlah organisasi HAM bahkan menduga, jumlahnya dua kali lipat dari versi resmi.
Seperti dikutip dari CNN News, Kashmir awalnya independen. Saat raja beragama Hindu di sana memilih untuk bergabung dengan India dengan imbalan perlindungan militer, Jammu dan Kashmir menjadi satu-satunya negara bagian dengan penduduk mayoritas muslim di sana.
Jammu dan Kashmir meliputi 40 persen Kashmir, di bagian selatan dan timur wilayah itu, sementara Pakistan menguasai Azad Kashmir, Gilgit dan Baltistan -- yang mencakup sekitar 35 persen dari total wilayah di utara dan barat.
Baik Pakistan dan India mengklaim kepemilikan penuh atas Kashmir. Dan tak ketinggalan China. Beijing mengendalikan sekitar 20 persen wilayah Kashmir yang disebut sebagai Aksai Chin.
Sengketa tersebut menjadi salah satu isu tertua dalam agenda PBB -- yang diajukan pasca-India dan Pakistan merdeka dari Inggris pada 1947.
Meski India dan Pakistan sepakat memberikan kebebasan pada warga Kashmir untuk menentukan masa depan mereka sendiri, hal itu tak pernah terjadi. Keduanya ogah menarik pasukan dari sana.Â
Pihak berwenang India ingin menunjukkan bahwa mereka dapat menjamin hak-hak Muslim di negara dengan mayoritas penduduknya adalah Hindu. Di sisi lain, Kashmir dianggap kunci identitas Pakistan sebagai tanah air bagi umat Islam setelah pemisahan pada 1947, demikian menurut Simona Vittorini, ahli politik Asia Selatan di SOAS University of London.
"Kashmir telah menjadi masalah simbolis bagi kedua negara," kata Vittorini kepada CNN News.
Situasi tersebut kian diperumit oleh gerakan kemerdekaan Kashmir yang semakin berkembang -- yang bertentangan dengan kepentingan kedua negara.
Baik India dan Pakistan mempertahankan gencatan senjata yang rapuh sejak 2003, demikian menurut Council on Foreign Relations. Meski faktanya, mereka kerap bertukar tembakan melintasi perbatasan masing-masing.Â
Ketegangan memuncak pada September 2016, ketika gerilyawan bersenjata menyerang pangkalan Angkatan Darat India yang terpencil di dekat perbatasan de facto antara Kashmir yang dikuasai India dan Kashmir yang dikuasai Pakistan, yang dikenal sebagai Line of Control (LoC). Kala itu, 19 tentara India tewas karenanya.Â
Kemudian, dua tentara Pakistan terbunuh setelah bentrokan dengan pasukan India di perbatasan de facto antara kedua negara.
Namun, menurut Vittorini, keputusan India yang melancarkan serangan udara ke wilayah teritorial Pakistan merupakan penyimpangan dari norma. Belum pernah sebelumnya tentara New Delhi melintasi Line of Control (LoC) sejak 1971.
"Bagi sebagian orang itu menandakan pergeseran paradigmatik dalam hubungan India-Pakistan," tambah dia.Â
Selain konflik yang sudah mengakar secara historis, isu Kashmir belakangan memiliki arti yang lebih besar seiring peristiwa politik kontemporer: pemilu India yang akan digelar pada Mei 2019.
Dr. Adnan Naseemullah, dosen senior hubungan internasional di King's College London berpendapat, situasi semakin memburuk selama masa pemerintahan PM Narendra Modi sejak 2014. "Pemerintahan Modi menjadi faktor X," kata Naseemullah.Â
Â
Saksikan video terkait konflik Pakistan dan India di bawah ini:
Malapetaka Nuklir Ancam Dunia?
Tak akan ada yang keluar sebagai pemenang jika konflik antara India dan Pakistan menjelma dalam perang besar. Apalagi sampai melibatkan senjata nuklir.Â
"Itu akan menjadi bunuh diri bersama," kata Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mehmood Qureshi saat ditanya wartawan CNN, Christiane Amanpour.
Dan ini yang dikatakan PM Pakistan Imran Khan. "Saya bertanya pada India: dengan senjata yang Anda miliki, senjata yang kami miliki, bisakah kita menanggung kesalahan perhitungan."Â
India dan Pakistan mulai melakukan uji coba nuklir pada 1998. Sejak itu, kedua negara berupaya memperbesar sistem persenjataan -- meski stok mereka masih lebih kecil dari negara-negara lain seperti Prancis dan China.Â
Pada awal 2017, India dilaporkan memiliki sekitar 130 hulu ledak nuklir, naik 110 dari tahun sebelumnya, demikian menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
India menguasai apa yang disebut sebagai full nuclear 'triad' --Â kemampuan untuk mengirimkan bom nuklir dari darat, udara, juga laut.
Seperti dikutip dari Washington Post, rudal balistik berbasis darat, Agni-III, memiliki jangkauan sekitar 2.000 mil.
Rudal jelajahnya, BrahMos yang dikembangkan bersama dengan Rusia, dapat diluncurkan dari darat, laut atau udara. Jet tempur angkatan udara India juga telah dimodifikasi untuk mengirimkan bom nuklir.
India juga memiliki rudal balistik berbasis kapal selam seberat 6.000 ton yang disebut Arihant.
Bagaimana dengan Pakistan?
Pakistan memiliki sekitar 140 hulu ledak nuklir pada tahun 2017. Tidak seperti India, jangkauan rudal balistik Islamabad hanya 1.200 mil -- meski diduga mereka sedang mengembangkan yang lebih kuat.Â
Meski tak punya kapal selam yang dilengkapi nuklir, Pakistan memiliki lebih banyak reaktor untuk produksi plutonium daripada India dengan kemampuan untuk menghasilkan hingga 20 hulu ledak nuklir per tahun.
Anggaran pertahanan negara itu lebih dari 16 persen dari total anggaran nasional pada 2017, jauh lebih tinggi dari 9 persen dari India.
Para ahli mengatakan bahwa fokus Pakistan pada pengembangan rudal berkemampuan nuklir jarak pendek adalah bagian dari misi taktis untuk dapat menandingi kekuatan superior pasukan darat India.
Jika adu senjata nuklir terjadi, kematian massal dan kehancuran total tak hanya menghampiri Pakistan dan India.
Horor Senjata Nuklir
Meskipun konflik nuklir disinyalir tidak mungkin atau kemungkinan kecil pecah, para pejabat tinggi di Pakistan mengaku sedang mempersiapkan "segala kemungkinan" terburuk. Pun dengan India.Â
"Ini mungkin menjadi flashpoint (tempat, peristiwa, atau waktu di mana permasalahan mulai timbul) nuklir pertama di dunia," kata Ben Rhodes, seorang komentator politik dari "Pod Save the World".
Para pengamat iklim bahkan telah membuat permodelan bagaimana pertempuran senjata nuklir antara kedua negara --yang secara teknis disebut perang nuklir regional terbatas (limited regional nuclear war)Â -- dapat mempengaruhi dunia.
Meskipun ledakan itu bersifat lokal, namun pada akhirnya dampak dari senjata-senjata pemusnah massal tersebut akan bersifat global.
Lapisan ozon bisa lumpuh dan iklim Bumi mungkin akan mendingin selama bertahun-tahun, yang memicu gagal panen dan menipisnya hasil tangkapan nelayan di laut. Momen inilah yang kemudian disebut oleh para ilmuwan sebagai "kelaparan global akibat nuklir" (nuclear famine).
"Bahaya nuklir kurang dipahami --sangat tidak dipahami-- oleh pembuat kebijakan publik," papar Michael Mills, seorang peneliti di US National Center for Atmospheric Research, mengatakan kepada Business Insider, yang dikutip pada Jumat (1/3/2019).
Ketika senjata nuklir meledak, efeknya amat luas melampaui gelombang ledakan bola api di langit atau awan jamur. Ledakan nuklir yang dekat dengan tanah, misalnya, dapat menyebarkan puing radioaktif hingga radius ratusan kilometer.
Tetapi risiko yang paling menakutkan adalah panas intens yang begitu menyengat sampai bermil-mil, sehingga bisa memantik kobaran api. Kebakaran itu, jika terjadi di kawasan industri atau kota berpenduduk padat, dapat menyebabkan fenomena menakutkan yang disebut badai api.
"Badai si jago merah ini melepaskan energi yang tersimpan dalam senjata nuklir tersebut, berkali-kali," ujar Mills.
Mills pun memetakan hasil perang nuklir India-Pakistan dalam sebuah studi yang dilakukan pada 2014. Dalam skenario itu, kedua negara masing-masing memuntahkan 50 senjata nuklirnya -- kurang dari setengah persenjataan yang dimilikinya.
Setiap nuklir mampu memicu ledakan seukuran Hiroshima, atau sekitar 15 kiloton TNT (trinitrotoluene).
Model itu memperkirakan, ledakan tersebut akan melepaskan sekitar 5 juta ton asap beracun ke udara, memicu musim dingin akibat nuklir selama beberapa dekade.
Selain itu, perang nuklir India-Pakistan juga mampu melenyapkan 20 hingga 50 persen lapisan ozon di daerah berpenduduk. Suhu permukaan Bumi akan menjadi lebih dingin dari yang pernah terjadi selama setidaknya 1.000 tahun.
Bom atom yang disebutkan dalam skenario para peneliti dikatakan sama kuatnya dengan senjata nuklir Little Boy yang dijatuhkan di Hiroshima pada 1945, cukup untuk menghancurkan sebuah kota meski jauh lebih lemah dari banyak senjata yang ada saat ini.
Sementara itu, perangkat terbaru yang diuji di Korea Utara diperkirakan sekitar 10 kali lebih kuat dari Little Boy. Amerika Serikat dan Rusia masing-masing memiliki senjata nuklir 1.000 kali lebih kuat dari negara mana pun.
Bagaimana badai api merusak iklim Bumi?
Sebagian besar kepulan asap yang dianggap oleh para periset berasal dari badai api, disebut akan merobohkan bangunan, merusak kendaraan, depot bahan bakar, tumbuh-tumbuhan, dan banyak lagi.
Asap ini akan naik melalui troposfer (zona atmosfer yang paling dekat dengan tanah), dan partikelnya kemudian akan disimpan di stratosfer. Dari sana, aerosol karbon hitam akan menyebar ke seluruh dunia.
"Jangka waktu asap tersebut berada di stratosfer adalah sekitar lima tahun, yang memberi dampak 250 kali lipat. Di troposfer, masa hidupnya adalah satu minggu," Alan Robock, seorang peneliti iklim di Rutgers University, yang terlibat dalam penelitian ini, mengatakan kepada Business Insider.
Jelaga akan menyebabkan stratosfer, biasanya di bawah titik beku, menjadi puluhan derajat lebih hangat dari biasanya--selama lima tahun. Dibutuhkan dua dekade agar kondisi Bumi kembali normal. Di samping itu, ini juga akan menyebabkan hilangnya ozon dalam skala yang tidak pernah terdeteksi sebelumnya, demikian menurut studi tersebut.
Kerusakan ozon akan memungkinkan jumlah radiasi ultraviolet berbahaya dari matahari mencapai Bumi, merusak tanaman dan manusia, plankton lautan, dan mempengaruhi spesies rentan di seluruh planet ini.
Tetapi perkiraan terburuk ialah ekosistem Bumi juga akan terancam oleh suhu yang lebih dingin.
Jelaga hitam halus di stratosfer akan mencegah sinar mentari mencapai Bumi. Para peneliti menghitung bahwa suhu rata-rata di seluruh dunia akan turun sekitar 1,5 derajat Celcius selama lima tahun setelah ledakan nuklir.
Di daerah berpenduduk yang ada di Amerika Utara, Eropa, Asia, dan Timur Tengah, perubahan suhu bisa terjadi lebih ekstrem. Efek ledakan nuklir akan membuat musim dingin 2,5 derajat lebih dingin dan musim panas antara 1 dan 4 derajat lebih dingin, mengurangi musim panen antara 10 hingga 40 hari.
"Hari itu akan begitu dingin, suram, gelap, dan kering, dan mempengaruhi tanaman," papar Robock. "Ini adalah sesuatu yang semua orang harus khawatirkan karena berpotensi memicu efek global."
Perubahan suhu lautan bisa menghancurkan biotanya. Suhu Bumi tidak akan kembali normal selama lebih dari 25 tahun.
Dunia menanggung akibatnya
Kepala Bagian Kerja Sama, Biro Hukum, Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama (Badan Tenaga Nuklir Nasional) Yaziz Hasan, sependapat dengan pernyataan ilmuwan internasional bahwa jikalau perang nuklir antara India-Pakistan benar-benar pecah, maka dampaknya tidak hanya mengenai kedua negara, tetapi juga dunia.
Meski demikian, ia menegaskan, perang nuklir antara India dan Pakistan sangat kecil kemungkinannya terjadi.
"Saya pikir, mereka tidak akan pernah memakai nuklir. Sangat kecil kemungkinannya, karena dua negara ini padat penduduk. Itu sama saja mereka bunuh diri," tutur Yaziz ketika dihubungi Liputan6.com lewat sambungan telepon.
Yaziz menambahkan, ratusan senjata nuklir yang diciptakan India dan Pakistan, beserta reaktor nuklirnya, hanya sebagai alat untuk menakut-nakuti saja alias menggertak. Realisasi untuk memanfaatkannya tidak pernah diwujudkan.
Sedangkan dampak yang ditimbulkan dari perang nuklir dua negara bertetangga itu, kata Yaziz, tidak berlangsung begitu saja, namun melalui tahapan.
"Dampaknya seecara pelan-pelan, tidak langsung atau secepat seperti musibah Chernobyl pada 26 April 1986 atau Fukushima pada 11 Maret 2011. Sedangkan daya ledaknya kemungkinan bisa setara dengan bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Namun ini semua hanya gambaran saja, permodelan. Saya yakin dunia akan mengupayakan untuk mencegah pertempuran itu," Yaziz menjabarkan.
Sebagai tambahan, Yaziz menyebut bahwa saat ini India mempunyai 22 reaktor nuklir, sedangkan Pakistan hanya memiliki 5.
Hal yang paling dikhawatirkan Yaziz secara pribadi adalah jatuhan radioaktif di permukaan tanah atau lazim disebut fallout yang muncul karena adanya ledakan bom atom atau reaksi uji coba senjata nuklir.
Advertisement
Siapa Salah Jadikan Kashmir Zona Merah?
Eskalasi konflik yang meningkat di wilayah Kashmir dalam beberapa hari terakhir, memicu kekhawatiran akan risiko perang antara India dan Pakistan. Pasalnya, kedua negara saling menyerang atas dalih mempertahankan martabat bangsa.
Situasi semakin memanas ketika serangan udara dilakukan oleh kedua negara, yang berujung pada jatuhnya salah satu jet tempur Pakistan oleh tembakan India, di mana kemudian diikuti oleh drama "penahanan pilot musuh" oleh Islamabad.
Menurut Siti Muti'ah, pengamat hubungan internasional dari Fisipol Universitas Gadjah Mada, ketegangan tersebut bukanlah sebuah konflik teritorial, melainkan berupa perselisihan agenda.
Menurutnya, ketegangan yang kerap terjadi antara India dan Pakistan bermula dari agenda yang gagal pasca-Inggris meninggalkan wilayah jajahannya di Asia Selatan pada pertengahan Abad ke-20.
"Pada awalnya, Kashmir tidak memihak salah satu negara, dan bahkan cenderung ingin menjadi wilayah merdeka. Namun penyerahan kemerdekaan oleh Inggris, serta kemudian pemisahan negara atas isu agama dan sosial, membuat wilayah ini terjepit," ujar Siti.
"Tidak adanya status resmi membuat Kashmir menjadi rebutan India dan Pakistan, kedua negara merasa berhak karena memiliki garis perbatasan yang bersinggungan (di Kashmir)," lanjutnya.
Sementara itu, meski belum bisa dipastikan keterkaitannya, Siti berpendapat bahwa ada kemungkinan posisi Kashmir yang terjepit memicu munculnya kelompok ekstremis, yang menghendaki skenario di luar apa yang diyakini oleh India dan Pakistan.
Jaish-e-Mohammad, kelompok pemberontak yang melakukan serangan bom bunuh diri terhadap pasukan keamanan India di Kashmir, adalah salah satu contohnya. Kelompok ini menginginkan wilayah bergejolak itu lepas dari pengaruh New Delhi dan Islamabad.
"Saya belum begitu memahami karakter kelompok itu, tapi jika dilihat dari pola yang terjadi di wilayah-wilayah terjepit lainnya, bisa jadi memang begitu adanya," ujar Siti.
"Apalagi ketika media memberitakan bahwa sumbu konflik bermula dari serangan bom bunuh diri ke pasukan keamanan India, berarti masalahnya di sini bukan hanya antara India dan Pakistan, tapi tentang pihak-pihak yang terlupakan di Kashmir, kelompok pemberontak misalnya, yang entah ada berapa pastinya di sana," lanjutnya menjelaskan.
Ditambahkan oleh Siti, bahwa setiap kali kedua negara berunding tentang perdamaian, tidak pernah sedikit pun menyentuh inti konflik.
"Mereka punya masalah, tapi tidak benar-benar tahu apa yang menyebabkan pertikaian di antara mereka. Ketika sama-sama sepakat untuk memulai perdamaian, pasti selalu terjadi salah satu pihak mencampuri pihak lainnya, itu sering terjadi," kata Siti.
Sementara itu, menurut salah seorang pengamat hubungan internasional lainnya, Nur Rachmat Yuliantoro, pertikaian antara India dan Pakistan dapat menjadikan Kashmir sebagai daerah api (outback) terbaru. Ini adalah istilah untuk menjelaskan wilayah yang mendadak berubah menjadi arena tempur berbagai pihak, seperti misalnya Hodeidah di Yaman dan Dataran Tinggi Goulan di Suriah.
"Ada kemungkinan perang proksi jika kita berbicara tentang risiko pada wilayah sekitarnya. Bukan tentang siapa dukung siapa, tapi jelas bahwa saat ini ada dua kepentingan besar dan saling berbeda yang membayangi kedua negara," ujar Rachmat.
Menurutnya, India mendapat dukungan lebih kuat dari Amerika Serikat (AS) yang melihat sebagai sekutu demokrasi terbesar di Asia Selatan. Sedangkan Pakistan, mulai beralih ke China, yang memberinya dukungan langsung untuk memperbaiki kondisi ekonomi, dibandingkan Washington yang belakangan terus menuduh Islamabad sengaja menutup mata atas terorisme yang berkembang di sekitarnya.
"Ini hanya pendapat saya, tapi bisa jadi meleset. Hanya saja saya melihat Kashmir 'memiliki pesona' yang membuat India dan Pakistan saling berebut, dan bukan tidak mungkin kepentingan asing ikut terlibat di dalamnya. Ini skenario terburuk, semoga tidak terjadi," ujarnya panjang lebar.
Ketika ditanya tentang apakah Indonesia bisa terlibat dalam proses penyelesaian konflik antara India dan Pakistan, Rachmat barujar bahwa hal itu mungkin terjadi, mengingat RI resmi menjabat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020.
"Jika kedua negara bertikai tidak juga mendapat titik temu, Indonesia bisa maju membawa kekuatan untuk mendesak terciptanya perdamaian. Tapi, sekali lagi, hal itu baru bisa dilakukan ketika kedua belah pihak menemui jalan buntu untuk meredakan ketegangan," tegas Rachmat.
Di lain pihak, muncul sudut pandang menarik tentang konflik India-Pakistan, yang dikaitkan dengan risiko penggunaan senjata nuklir.
Menurut Yunizar Adiputra, peneliti pada Kampanye Internasional Penghapusan Senjata Nuklir (ICAN), lembaga yang dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian pada 2017, isu senjata nuklir patut diperhatikan, mengingat kedua negara sama-sama memilikinya.
"Senjata nuklir bisa menjadi opsi untuk melemahkan satu sama lain. Meskipun mereka mengklaim dalam skala kecil, tetap saja hulu ledak ini merusak," ujar Yudi, sapaan akrabnya.
"Tapi, saya pikir ini (senjata nuklir) menjadi alat gertak dari masing-masing pemerintah, karena konflik baru-baru ini lebih kepada upaya saling mempertahankan akibat tudingan serangan udara, baik dari India ke Pakistan, dan juga sebaliknya," lanjutnya.
India, menurut Yudi, mungkin punya agenda lain dalam gertakannya pada Pakistan, terutama berkaitan dengan pemilu yang sebentar lagi digelar di sana.
"Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa sekarang semakin tertekan oleh meningkatnya popularitas Partai Kongres. Tapi, ketika berbicara tentang upaya bela negara saat ini, impresi positif meningkat dari rakyat, apalagi jika Narendra Modi bisa memenangkan konflik ini, setidaknya mampu membuat Pakistan mengakui tuduhan penyerangan ke Kashmir," ujar Yudi berpendapat.
Sementara Pakistan, juga mungkin memiliki misi tersendiri terkait konflik. Jika negara itu mampu mempertahankan bantahannya terkait serangan di Kahsmir, menurut Yudi, maka secara tidak langsung berpotensi membuatnya lebih disegani di dunia internasional.
"Ketika Pakistan mampu mempertahankan argumennya, dan membuktikan India salah atas tuduhannya, maka Perdana Menteri Imran Khan berpeluang mendapat 'strike', yang berimbas pada naiknya tingkat kepercayaan terhadap pemerintahannya. Ini bisa menjadi pertanda bagus bagi reformasi ekonominya," jelas Yudi.
Provokasi Vs Seruan DamaiÂ
Sejumlah aktivis, politisi, selebritas, dan masyarakat awam mendesak pemerintah India dan Pakistan untuk menghindari konfrontasi militer. Hal itu dilakukan pasca peningkatan ketegangan hubungan kedua negara setelah dua jet tempur India ditembak jatuh di wilayah udara Pakistan.
Aksi yang dilakukan oleh sejumlah tokoh tersebut menggunakan platform siber, yakni melalui media sosial khususnya Twitter dan Facebook. Mereka menggunakan tagar #SayNoToWar yang berhasil menjadi tren si seluruh dunia pada Rabu 27 Februari 2019.
Di antara mereka adalah Fatima Bhutto, seorang penulis kelahiran Kabul, Afghanistan. Ia mengatakan dalam akun Twitter pribadinya.
"ini adalah satu-satunya sikap moral yang harus diambil. Kita tidak menginginkan perang. Kita tidak ingin lagi kekerasan menyakiti, baik warga negara Pakistan atau India," kata Fatima Bhutto.
Komisi Hak Asasi Manusia untuk Pakistan juga menulis dalam akun Twitternya.
"Lebih dari yang pernah terjadi sebelumnya, sekarang penting bagi India dan Pakistan untuk menahan diri, mengindahkan semua yang menyerukan diplomasi yang matang daripada provokasi dan agresi. Hak untuk hidup dimuai di sini. #SayNoToWar."
Tindakan serupa juga dilakukan oleh aktris Pakistan Nadia Jamil yang mengatakan bahwa "Faktanya, perang bukan hanya pertandingan gulat untuk saling menjatuhkan ... India dan Pakistan perlu melihat satu sama lain dan menghormati bahwa kita pada akhirnya hanya akan membunuh para tentara, bukan justru memberdayakan masyarakat miskin."
Begitu pula dengan blogger asal India, Manish Shaarma yang meminta kedua negara bertemu di meja perundingan dan bergerak menuju perdamaian.
Sejumlah pengguna Twitter lain juga menyinggung fakta bahwa kedua negara seharusnya memerangi buta huruf dan pengangguran -- yang sejatinya adalah persoalan nyata.
Meskipun suara yang menyerukan perdamaian telah diberikan oleh sejumlah warganet, ada juga seruan kemarahan di internet, khususnya, pascapenembakan jet tempur India.
Di media sosial seperti Twitter dan Facebook, sejumlah tagar kemarahan juga viral. Di antara tagar yang dimaksud adalah #IndiaStrikesBack, #TerroristanPakistan, dan #IndiasRevenge yang seolah menginginkan India tidak tinggal diam dan menyerang balik.
Meskipun sejumlah warganet cinta damai telah membuat tagar #SayNoToWar menjadi tren, namun dengan cepat seruan itu dibalikkan menjadi #SayYesToWar oleh beberapa oknum.