Liputan6.com, Paris - Gerakan aksi massa 'rompi kuning (gilets jaunes)' --merujuk pada rompi visibilitas kuning yang dikenakan pada setiap aksi-- kembali berdemo di kota-kota Prancis. Kini, demonstrasi memasuki pekan ke-16 sejak perdana pada akhir tahun 2018 lalu.
Selama lebih dari tiga bulan, para demonstran Rompi Kuning telah berdemonstrasi menentang pemerintahan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Pada edisi ke-16 ini, massa terkonsentrasi di Arc de Triomphe ke Place Denfert-Rochereau di selatan kota Paris sejak Sabtu 2 Maret 2019 sore waktu lokal, demikian seperti dilansir France24, Minggu (3/3/2019).
Sementara itu, kelompok Facebook "Yellow Vests Act 16: Insurrection", telah meminta para demonstran untuk "kembali ke akar gerakan", yakni dengan menggunakan pendekatan "spontanitas" untuk menyelenggarakan protes kejutan di kota-kota lain yang "menakuti pemerintah" --sebagaimana yang lazim mereka lakukan pada November - Desember 2018 lalu.
Advertisement
Demonstrasi juga direncanakan di kota-kota di seluruh Prancis, termasuk Marseille, Nice, Bordeaux, Strasbourg, Nantes dan Toulouse. Di kota timur laut Lille, penyelenggara protes meminta Rompi Kuning di seluruh wilayah - serta di negara-negara tetangga seperti Belgia dan Jerman - untuk bertemu di kota itu.
Baca Juga
"Pertarungannya bersifat internasional", kata sebuah pernyataan di halaman acara Facebook untuk demonstrasi yang bertempat di Lille.
Menurut angka Kementerian Dalam Negeri, 39.300 pemrotes Rompi Kuning berdemonstrasi secara nasional pada hari Sabtu, termasuk 4.000 di Paris.
Jumlahnya sedikit turun dari Sabtu pekan sebelumnya, ketika 46.600 pemrotes turun ke jalan-jalan di Prancis, termasuk 5.800 di ibu kota. Angka-angka resmi umumnya menjadi bahan perdebatan dan bersifat 'tak menentu'.
Di Lyon, para pemrotes pada hari Sabtu merencanakan "pawai hitam", di mana para demonstran akan muncul dengan mengenakan pakaian hitam sebagai "simbol berkabung" untuk gerakan.
Mereka memperingatkan tentang "masa depan hipotetis di mana para aktivis ditakdirkan untuk menjadi objek 'penghinaan' karena 'tidak bertindak bersama'."
Gerakan rompi kuning edisi ke-16 muncul setelah Éric Drouet, Priscilla Ludosky dan Maxime Nicolle, aktivis gilets jaunes, menarik perhatian publik dengan memposting konten yang viral di media sosial pada November 2018, menyerukan mobilisasi massa pengunjuk rasa pada hari Sabtu berikutnya, 9 Maret 2019 dan - terutama - 16 Maret 2019, tanggal ketika 'debat besar' Macron dilaksanakan.
Untuk bagiannya, Macron mengulangi permintaannya "agar publik tetap tenang" pada Jumat 1 Maret 2019, meratapi kekerasan "tak tertahankan" yang terjadi pada hampir setiap demonstrasi.
Presiden Macron telah meluncurkan 'debat besar' pada 15 Januari 2019 - di mana setiap orang seharusnya dapat menyuarakan keluhan mereka - sebagai tanggapan terhadap pemberontakan rakyat yang muncul sebagai oposisi terhadap usulan kenaikan pajak bahan bakar pada November 2018, hingga akhirnya berubah menjadi seruan perubahan terhadap berbagai perubahan kebijakan domestik Prancis baru-baru ini.
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Undang-Undang Baru untuk Mengantisipasi Aksi Anarki Rompi Kuning
Dalam bentuk antisipasi dan upaya meredam potensi anarki, Parlemen Prancis telah menyetujui undang-undang yang melarang pemakaian topeng saat protes, dan yang lain melarang orang tertentu untuk ikut serta dalam demonstrasi. Undang-Undang itu disahkan pada akhir Januar 2019.
Mengenakan topeng saat demonstrasi akan berpotensi dijatuhi hukuman penjara satu tahun dan denda 15.000 euro (berkisar Rp 230 juta) dengan potensi banding untuk peringanan hukuman, menurut undang-undang baru, demikian seperti dilansir BBC, 31 Januari 2019.
Selain pelarangan mengenakan topeng atau penutup wajah lainnya, parlemen juga mengadopsi undang-undang untuk melarang orang yang 'memiliki catatan khusus' terlibat dalam demonstrasi. Namun, kebijakan itu menuai pro dan kontra.
Kelompok pendukung berargumen bahwa undang-undang itu spesifik menargetkan individu yang memiliki catatan kriminal kasus kekerasan, perusakan properti atau penjarahan. Sehingga, penerapannya ditujukan untuk mengantisipasi potensi ancaman serius terhadap ketertiban umum yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.
Mengabaikan larangan seperti itu dapat mengakibatkan hukuman penjara enam bulan dan denda 7.500 euro (berkisar Rp 119 juta), dengan potensi banding untuk peringanan hukuman.
Bagian lain dari pendukung undang-undang ini berharap agar para pembuat onar bertanggung jawab secara finansial atas kerusakan properti yang disebabkannya dalam demonstrasi.
Tapi, kelompok kontra, termasuk anggota parlemen Prancis menyatakan keprihatinannya bahwa undang-undang tersebut dapat berdampak pada pengekangan hak-hak pribadi seseorang, khususnya dalam 'berserikat, berkumpul dan menyuarakan pendapat'.
Advertisement