Liputan6.com, London - Azad Cudi yang berdarah Kurdi mengaku masih berusia 19 tahun ketika meninggalkan tanah kelahirannya di Iran beberapa dekade lalu. Ia bermigrasi ke Inggris, menjadi warga negara Britania, dan kemudian pergi lagi. Saat pergi untuk kedua kalinya, kala itu tujuan Azad ke Suriah; misinya: melawan ISIS.
Kini, ia telah pensiun dari dunia ke-'paramiliteran', untuk kemudian menceritakan pengalamannya, menuangkannya ke dalam sebuah buku yang terbit tahun ini.
Advertisement
Baca Juga
Pengalaman Azad, Klaim Telah Membunuh 250 Militan ISIS
Saat itu sekitar tahun 2013, ketika Azad Cudi bergabung bersama paramiliter Kurdi untuk melawan ISIS di sebuah kota di Suriah. Ia Membidik melalui teropong senapan snipernya, Azad Cudi melihat seorang militan ISIS yang bersiap menembakkan granat berpeluncur roket langsung ke arahnya.
Militan ISIS itu merunduk di balik dinding, tetapi ujung roket yang dia bawa menonjol, memberi Azad kesempatan menembaknya untuk membuatnya meledak.
Kemudian, dalam suatu tindakan gila bunuh diri, seorang militan ISIS lain muncul dari balik tembok dan mulai berjalan menuju Azad dengan roket di bahunya.
"Terkejut dengan keberaniannya, saya berjuang untuk mengikutinya dalam pandangan saya," kenang Azad, kini 35 tahun, pria berdarah Kurdi dan warga negara Inggris yang kini tinggal di utara Britania Raya, demikian seperti dikutip dari Mirror.co.uk, Rabu (6/3/2019).
"Aku bisa melihat dia menatap lurus ke arahku. Saya melepas tembakan. Bahunya jatuh. Saya yakin saya mendapatkannya. Aku lantas menyiapkan sasaran untuk tembakan kedua.
"Tapi ketika aku melihat melalui teropong, aku melihat kilatan roket yang terbang ke arahku."
Azad terperangkap dalam gelombang ledakan, dan kemudian terlempar.
Ketika dia tiba di dalam pusaran debu dan puing-puing, salah satu rekannya tidak bergerak dan yang lain kehilangan dua jari.
Kemudian dia memperhatikan darah mengalir dari pahanya.
Khawatir roket lain, Azad menyeret dirinya melintasi ruangan ke jendela, meraih senapannya dan memindai cakrawala. Tiba-tiba, sebuah bom mobil yang dipasang ISIS meledak, melemparkannya ke seberang ruangan lagi.
Untungnya ada bantuan untuk membawanya ke rumah sakit darurat, di mana seorang ahli bedah membuka lukanya untuk mencari pecahan peluru. Namun Azad tidak menyadari, pecahan peluru itu telah melewati kakinya.
Menuang Pengalaman Menjadi Buku
Buku Azad, Long Shot, yang diterbitkan pekan depan, memberi gambaran tentang bagaimana rasanya berperang melawan pejuang ISIS dalam pertempuran jarak dekat.
Azad mengklaim dia membunuh 250 militan ISIS semasa sepak terjangnya sebagai penembak jitu paramiliter Kurdi, tetapi mengatakan beberapa kawannya membunuh dua kali lebih banyak, menunjukkan seberapa efektif mereka dalam membunuh ISIS satu per satu.
Ironisnya, dia datang ke Inggris pada usia 19 tahun, melarikan diri dari wajib militer tentara Iran yang para pemimpinnya menginginkan dia untuk memerangi Kurdi-Iran --saudara sebangsanya sendiri. Ia kemudian menetap dan menjadi warga negara Inggris.
Ketika perang saudara pecah di Suriah pada 2011, dan ISIS menguasai sejumlah kota di negara itu, Azad terdorong untuk 'ambil andil' melakukan perlawanan.
Azad bergabung dengan pasukan paramiliter Kurdi YPG (People's Protection Units), menjadi salah satu dari 17 penembak jitu yang berusaha mengusir ISIS dari Kobani, sebuah kota kecil di Suriah utara dekat Aleppo yang dilanda perang.
Para militan ISIS yang keji membantai ratusan orang di dalam kota dan memaksa ribuan orang melarikan diri.
Hanya dalam beberapa bulan, daerah itu menjadi tanah kosong dengan banyak liang bekas bom. Ke dalam lingkungan yang mengerikan inilah Azad tiba pada 2013, mengikuti beberapa pelatihan penembak jitu yang singkat menggunakan senapan berteropong tua.
Â
Simak video pilihan berikut:
Situasi yang Berat
Mengingat hari-hari mengerikan di Kobani, Suriah saat menjadi paramiliter Kurdi untuk melawan ISIS, Azad Cudi mengatakan dalam sebuah wawancara dengan The Express Inggris: "Kobani adalah tempat yang brutal, tidak ada yang normal."
"Pasar hancur, jalan-jalan hancur, tidak ada tanda-tanda peradaban. Melihat rumah-rumah yang hancur rasanya seperti kamu sedang dihantam di wajah."
Meskipun YPG dapat menyerukan pasukan sekutu yang dipimpin Amerika Serikat untuk serangan udara, namun di tanah, sebagian besar pertempuran adalah terjadi di jalan-ke-jalan, dari rumah-ke-rumah.
Salah satu tugas Azad adalah mengidentifikasi di mana basis pejuang ISIS dan membawanya keluar satu per satu saat yang lain bersiap-siap menyerbu rumah-rumah yang hancur.
"Banyak kawan kami harus menghadapi serbuan di rumah yang sama," kata Azad dengan jujur, seolah-olah membahas sepakbola.
"Dahulu ISIS meletakkan papan kayu di seberang jalan untuk masuk ke lantai empat salah satu gedung kami.
"Kami memiliki orang-orang di lantai dua dan tiga sehingga dalam kasus itu pertempuran itu berlangsung intens, secara langsung.
"Meskipun kematian sudah sangat dekat, kamu harus memikirkan bagaimana untuk bertahan hidup, jadi kamu harus melawan balik.
"Kamu juga harus menghadapi situasi sulit yang rumit, dengan potensi kehilangan kawanmu atau menembak kawan secara tidak sengaja.
"Semua orang mengatakan karakter hebat seseorang justru muncul di bawah tekanan dan saya pikir ada beberapa kebenaran di dalamnya.
"Anda mengembangkan mekanisme bertahan hidup untuk mengatasinya. Anda mencoba untuk tidak panik, sehingga Anda tetap tenang.
"Ketika pada suatu saat saya terkena tembakan, saya melihat warna kematian. Saya mengalami emosi yang liar. Ini luar biasa untuk dialami dan Anda menghargai hidup dan memandang hidup dengan tujuan dan makna baru.
"ISIS sempat bertekad ke titik untuk melawan balik, di mana mereka bahkan hanya membawa sendok ke pertempuran. Di pikiran mereka, mereka bisa meraih mati syahid."
"Beberapa juga membawa kunci, kunci besar, sehingga jika mereka mati mereka bisa berjalan melewati gerbang surga, sesungguhnya mereka semua hanya termakan ilusi."
Advertisement
Dihantui Bayang-Bayang Masa Lalu
Azad Cudi tidak memiliki ilusi romantis tentang pengalamannya bertempur untuk YPG, mengatakan tidak ada kemewahan atau bahkan heroik di balik semua pertumpahan darah itu.
Dia menjelaskan: "Alasan saya melakukan apa yang saya lakukan, adalah demi membela tanah saya, rakyat saya, warga sipil.
"Ada seorang anak laki-laki yang saya tembak. Saya tidak punya pilihan. Saya punya masalah setelah itu. Ada pula ketika aku menembak satu militan saat mata kami saling bertautan."
"Ketika saya sedang menulis buku itu saya menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa itu dan kadang-kadang saya tidak bisa tidur selama tiga atau empat malam."
"Saya sangat berat untuk mengingat itu lagi, karena merasakan semacam penyesalan. Tetapi saya kini tidak dihantui lagi."
"Saya sudah siap untuk mati saat itu dan saya siap untuk mati lagi untuk memperjuangkan rakyat saya, ide-ide kami dan komunitas kami. Saya memiliki kedamaian di hati dan pikiran saya."
Mengatakan tentang alasannya untuk menulis buku, Azad mengatakan, "Menulis buku telah membantu saya mencerna apa yang terjadi, tetapi itu melelahkan."
Hidup di Inggris telah membantu Azad melepaskan diri dari tekanan perang, tetapi dia menghadapi pertempuran sehari-hari dengan kehidupan normal, bertemu teman-teman untuk membicarakan apa yang terjadi.
"Ini bisa jadi sulit, tetapi periode yang paling sulit telah berlalu," katanya. "Saya suka memiliki waktu untuk diri saya sendiri, santai saja, tenang dan melanjutkan hidup saya."
Namun, Azad tahu ada pendukung ISIS yang tinggal di Inggris dan Eropa yang akan menempatkannya di urutan teratas dalam daftar serangan balas dendam mereka.
"Ada sel tidur yang bisa hadir di mana saja tetapi saya terus berhati-hati," katanya.
"Saya beruntung hidup di masyarakat yang terbuka dan demokratis, dan saya menghargai kehidupan saya di Inggris."
Sekarang Azad berharap untuk kembali ke Kobani untuk membantu komunitas Kurdi di sana membangun kembali setelah bertahun-tahun kehancuran.