Liputan6.com, Tokyo - Lebih dari 80 penumpang kapal feri dilaporkan terluka setelah moda transportasi ini menabrak paus di Laut Jepang. Kapal hidrofoil berkecepatan tinggi itu berada dalam perjalanan ke Pulau Sado dari pelabuhan Niigata pada hari Sabtu, 9 Maret 2019.
Coast Guard mengabarkan, 13 korban luka-luka berada dalam kondisi serius, meskipun mereka sadar. Mereka juga telah dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Sementara itu, keseluruhan penumpang ada 121 orang, ditambah 4 awak yang ada di kapal pada saat insiden itu terjadi.
Advertisement
"Tenggorokan saya mengenai kursi di depan saya," kata seorang penumpang kepada media setempat, yang dikutip dari BBC, Minggu (10/3/2019). "Orang-orang di sekitar saya mengerang (kesakitan)."
Operator kapal mengatakan, feri menabrak suatu benda saat berlayar. Alhasil, celah sepanjang 15 cm terjadi di buritan (bagian belakang kapal).
Media Jepang, NHK, mengutip seorang pakar kelautan yang menjelaskan bahwa skala dampak kerusakan menunjukkan kapal itu menabrak paus.
Dalam sebuah pernyataan, operator feri meminta maaf kepada seluruh pelanggannya dan menyebut kapal itu bertabrakan dengan "kehidupan laut". Sedangkan perusahaan Kapal Uap Sado, yang mengoperasikan feri bernama Ginga itu, mengklaim pihaknya berhasil mencapai tempat kejadian perkara (TKP) sekitar satu jam.
Kapal ini ditenagai oleh jet air laut dan dapat melakukan perjalanan hingga 80 km/jam (49 mph). Salah satu sayap hidrofoil di kapal juga rusak.
Di satu sisi, paus minke (Balaenoptera acutorostrata) dan paus bungkuk (Megaptera novaeangliae) dilaporkan bermigrasi melalui Laut Jepang pada saat ini.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Mulai 2019, Jepang Akan Kembali Berburu Paus untuk Kepentingan Komersial
Sementara itu, pemerintah Jepang mengatakan akan memulai kembali perburuan ikan paus komersial di laut teritorial dan zona ekonomi mereka pada Juli 2019 mendatang. Tokyo juga mengatakan akan keluar dari Komisi Penangkapan Paus Internasional (IWC).
Tetapi negara itu akan menghentikan apa yang disebut olehnya sebagai 'perburuan ilmiah' di Samudera Antartika dan Belahan Bumi Selatan.
Jepang menyatakan hanya akan berburu paus di laut dekat wilayahnya dan zona ekonomi eksklusif negara itu, demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Rabu 26 Desember 2018.
Jepang sudah lama bosan dengan kebuntuan di IWC, dengan negara-negara yang pro dan anti perburuan paus tak bisa menyepakati jalan ke depan untuk organisasi tersebut.
Permintaan Jepang untuk dimulainya kembali perburuan paus komersial baru-baru ini ditolak pada pertemuan IWC pada bulan September.
Jepang tak akan bisa melanjutkan penelitian perburuan paus di perairan Antartika, karena negara-negara yang melakukannya diharuskan untuk bergabung dengan IWC oleh Konvensi Internasional untuk Peraturan Perburuan Paus (ICRW).
"Dari Juli 2019, setelah penarikan mulai berlaku pada 30 Juni, Jepang akan melakukan perburuan paus komersial di dalam laut teritorial Jepang dan zona ekonomi eksklusifnya, dan akan menghentikan perburuan paus di Samudra Antartika / Belahan Selatan," kata Kepala Sekretaris Kabinet, Yoshihide Suga.
"Meskipun bukti ilmiah telah mengonfirmasi bahwa beberapa spesies paus jumlahnya melimpah, negara-negara anggota yang fokus secara eksklusif pada perlindungan paus, sementara mengabaikan tujuan lain yang dinyatakan oleh ICRW, menolak untuk menyetujui untuk mengambil langkah nyata apapun untuk mencapai suatu posisi bersama yang akan memastikan pengelolaan sumber daya ikan paus berkelanjutan."
Suga mengatakan bahwa ICRW - yang merinci perkembangan tertib industri perburuan paus - tidak diperhitungkan pada pertemuan terbaru IWC.
"Sangat disayangkan, hal itu mengungkap fakta bahwa tidak mungkin terjadi di IWC bahkan untuk melihat koeksistensi negara-negara dengan pandangan yang berbeda," katanya.
"Konsekuensinya, Jepang telah dituntun untuk membuat keputusan."
Jepang mengatakan akan berpartisipasi dalam pertemuan IWC sebagai pengamat.
Pada tahun 1986, anggota IWC menyetujui moratorium perburuan untuk memungkinkan populasi paus pulih.
Negara-negara pro-perburuan paus mengharapkan moratorium bersifat sementara, sampai konsensus dapat dicapai pada kuota tangkapan berkelanjutan.
Sebaliknya, itu menjadi larangan semi permanen. Namun negara-negara yang berburu paus, seperti Jepang, Norwegia, dan Islandia, berpendapat praktik ini adalah bagian dari budaya mereka dan harus dilanjutkan secara berkelanjutan.
Saat ini, stok ikan paus dipantau dengan cermat, dan sementara banyak spesies masih terancam punah, yang lain --seperti paus minke yang terutama diburu Jepang-- tidak.
Pada bulan September, Tokyo mencoba membuat IWC mengizinkan kuota tangkapan komersial, tetapi proposal itu ditolak.
Jepang telah berburu paus selama 30 tahun terakhir tetapi di bawah program ilmiah, yang boleh dilakukan sebagai pengecualian di bawah larangan IWC.
Para kritikus mengatakan praktik itu adalah kedok untuk apa yang sebenarnya berarti perburuan paus komersial.
Ini berarti paus dapat diambil untuk studi ilmiah dan dagingnya kemudian dapat dijual untuk dikonsumsi.
Jepang telah menangkap antara sekitar 200 dan 1.200 paus setiap tahun. Mereka kerap mengatakan bahwa penangkapan itu berkaitan dengan proyek untuk menyelidiki tingkat populasi guna melihat apakah paus itu terancam atau tidak.
Advertisement