Sukses

Hari Perempuan Internasional, 3 Jurnalis Wanita Bicara Soal Kesetaraan

Ada banyak perempuan yang menembus batas. Membuktikan bahwa mereka pantas. Salah satunya lewat profesi jurnalis yang dikenal berbahaya dan banyak ancaman.

Liputan6.com, Jakarta - Meski dunia telah memasuki era modern, isu kesetaraan gender masih menjadi permasalahan yang kerap dianggap sepele oleh banyak orang. Pemikiran soal wanita yang di takdirkan hanya berada berada di rumah, dapur dan mengurus anak, masih menjadi pakem budaya masyarakat, baik Indonesia atau negara lain.

Semangat kesetaraan gender dan pengakuan wanita di sebuah lingkup masyarakat terus digaungkan tiap tahunnya dalam peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap 8 Maret.

Ada banyak wanita yang menembus batas. Membuktikan bahwa mereka pantas. Bidang pekerjaan yang identik dengan kaum Adam dan sesekali menantang maut ini, kini telah banyak diisi oleh perempuan, meski kerap dianggap tak mampu oleh kebanyakan orang.

Isu inilah yang diangkat oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia dalam acara "Successes and Challenges of Women Journalist in Indonesia". Mengangkat profesi jurnalis yang identik dengan tantangan dan juga ancaman ketika meliput di lapangan.

Tiga pembicara dihadirkan. Ada Adek Berry seorang fotografer dari AFP, Hanna Fauzie dari Koran Sindo dan Maria Rita Hasugian dari Tempo.

Ketiga perempuan ini membagikan kisahnya soal wanita dan jurnalistik. Cukup jarang wanita menjadi jurnalis foto, terlebih meliput wilayah konflik Pakistan dan Afghanistan.

"Meski jarang, bukan berarti tidak bisa dan selalu meminta perlakuan khusus selama di lapangan. Jika sudah ada di lapangan semua sama," ujar Adek Berry yang sudah berkecimpung dalam dunia jurnalistik selama 23 tahun.

Di awal kemunculan dan hasil karyanya banyak yang tidak tahu bahwa Adek Berry adalah perempuan. Sebab, yang ditampilkan dalam hasil karyanya ada objek lain bukan dirinya.

"Banyak yang tak tahu saya perempuan. Setelah bertemu mereka baru tahu jika saya itu perempuan," kata Adek Berry usai menampilkan sejumlah karyanya di Pusat Budaya Amerika Serikat @America, Selasa (12/3/2019).

Senada dengan Adek Berry, Hanna Fauzie yang sudah menjadi jurnalis olahraga selama 11 tahun juga kerap mengalami hal demikian.

"Dibilang maskulin, tidak cantik, ribet dan bukan cewe banget," kata Hanna soal pandangan orang soal pekerjaannya.

Kecintaan Hanna pada dunia olahraga ia rasakan sejak SMP saat Piala Dunia 1994. Sejak saat itu ia sudah tahu harus jadi apa, dan jawabannya adalah jurnalis.

Keyakinannya semakin kuat saat tahu bahwa olahraga adalah alat pemersatu sebuah bangsa. Meski tiap orang beda pilihan dalam pandangan politik, saat dihadapkan dengan olahraga maka akan bersatu.

"Baru-baru ini, Hendra dan Ahsan menjadi satu-satunya wakil di Final All England 2019. Seluruh masyarakat mendukungnya dan menyampingkan perbedaan pandangan politik," jelas Hanna.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Kendala, Ancaman dan Pelecehan

Maria Rita Hasugian wartawan dari Tempo mengaku faktor kemanusiaan menjadi alasannya untuk bertahan sebagai jurnalis wilayah konflik.

Selama puluhan tahun, sejumlah wilayah konflik di Indonesia maupun luar negeri ia masuki, meski terkadang harus melakukan penyamaran.

"Empati adalah hal yang membuat saya ke wilayah konflik. Kadang, profesi ini sendiri jarang dilihat oleh perempuan. Orangtua mereka juga melarang anak perempuannya menjadi wartawan wilayah konflik," kata Maria.

Kendala di lapangan yang harus dihadapi oleh wartawan wilayah konflik adalah oknum yang tidak senang dengan pemberitaan yang dibuat.

"Setelah melakukan peliputan, saya memilih untuk mencari hotel biasa yang kadang ukurannya hanya 2 x 2 meter."

"Dalam kondisi itu, kita masih dituntut untuk menulis dengan baik dan benar. Kadang, ada saja oknum di wilayah konflik yang tahu bahwa saya sedang melakukan proses penulisan. Banyak cara mereka lakukan, termasuk mengganggu saya."

"Tiap menulis, saya selalu tidur di dekat pintu. Jika ada apa-apa saya sudah siap. Benda pertama yang selalu saya selamatkan jika ada ancaman adalah bahan liputan dan rekaman saya dengan narasumber," katanya.

Kondisi semacam ini sebenarnya tidak berlaku bagi Maria dan Adek yang meliput kawasan konflik. Meski meliput event olahraga, Hanna menganggap ancaman di luar negeri juga ada.

"Di Indonesia sangat salut dengan pers-nya. Sebab bisa menerima perempuan di bidang pekerjaan ini. Dan juga saya tidak pernah merasakan pelecehan intelektual di Indonesia. Namun, itu semua tak berlaku di sejumlah negara," kata Hanna.

"Saat melakukan peliputan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan saya pernah disepelekan oleh seorang pria. Kala itu media harus mengantre tiket menonton pertandingan. Kebetulan saya sendiri wanita di dalam barisan. Tiba-tiba ada seorang pria yang badannya jauh lebih besar mengangkat tubuh saya dan membawa saya keluar dari barisan."

"Ia berkata bahwa saya tak pantas ada di dalam barisan. Ini adalah gambaran dari kasus pelecehan intelektual yang saya alami sebagai wanita di jurnalistik."

Hanna juga menjelaskan bahwa beda negara maka budaya. Saat tahu bahwa Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, ia tersadar bahwa negara itu punya catatan kriminalitas dan pelecehan seksual tinggi, terutama bagi perempuan.

Kondisi semacam ini juga harus ia hadapi dan persiapkan sebelum melakukan peliputan.

3 dari 3 halaman

Peran Perempuan Masa Kini

Acara ini diselenggarakan guna membangkitkan semangat dan menginsipirasi wanita lain yang ada di Indonesia. Menurut Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Heather Variava, tema wanita dalam jurnalistik ini sengaja diangkat untuk memeringati Hari Perempuan Internasional.

"Saya percaya bahwa ada peran penting dalam bidang jurnalisme dan saya bangga karena ada jurnalis Indonesia yang berprestasi," ujar Heather Variava yang juga pernah bekerja sebagai wartawan sebelum menjadi diplomat.

"Saya pikir kekerasan tehadap jurnalis terutama bagi wanita adalah hal yang serius saya percaya bahwa kita harus meningkatkan kesadaran di masyarakat," tambahnya.