Sukses

Parlemen Inggris Kembali Tolak Kesepakatan Brexit yang Diajukan PM Theresa May

Kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Perdana Menteri Theresa May kembali ditolak oleh parlemen Inggris.

Liputan6.com, London - Bersamaan dengan mundurnya jadwal perpisahan Inggris dari Uni Eropa, legislator Negeri Ratu Elizabeth II kembali menolak kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Perdana Menteri Theresa May, untuk kedua kalinya tahun ini.

Pemungutan suara kedua yang disebut "pemungutan bemakna" pada Selasa 12 Maret, berakhir dengan kekalahan berat bagi PM May, dengan 391 anggota parlemen menentang dan 242 mendukung kesepakatan itu.

Dikutip dari Al Jazeera pada Rabu (13/3/2919), terakhir kali PM May mengajukan kesepakatan kepada parlemen Inggris pada Januari, di mana dia menderita kekalahan besar ketika kesepakatan yang disepakati dengan Uni Eropa --setelah 18 bulan negosiasi melelahkan-- ditolak dengan margin 230.

Adapun margin kekalahan kali ini adalah 149.

Pemungutan suara pada hari Selasa berselang hanya 24 jam setelah PM May mendadak pergi ke Strasbourg, Prancis, untuk bertemu dengan Jean-Claude Juncker, presiden Komisi Eropa. Dua dokumen diterbitkan sebagai hasil dari pertemuan tersebut, yang menurut PM May akan memberikan perubahan mengikat secara hukum pada kesepakatan Brexit, yang diminta oleh anggota parlemen Inggris.

Namun, segera menjadi jelas bahwa perubahan itu tidak akan cukup untuk memenangkan suara.

"Kami menyadari bahwa perdana menteri telah membuat kemajuan terbatas dalam pembicaraannya dengan Uni Eropa. Namun dalam pandangan kami, kemajuan yang cukup belum tercapai pada saat ini," kata juru bicara Partai Demokrat Unionist (DUP), sekutu May di Irlandia Utara.

PM May telah ditugaskan untuk mengamankan perubahan pada apa yang disebut sebagai protokol "backstop" dari kesepakatan Brexit, yang dikritik oleh kelompok garis keras Partai Konservatif yang berkuasa dan DUP, akan menjebak Inggris dalam aturan perdagangan Uni Eropa tanpa batas waktu.

Protokol tersebut juga dituding akan membuat Irlandia Utara diperlakukan berbeda dari negara lainnya di dalam Kerajaan Britania Raya.

Jaksa Agung Inggris, Geoffrey Cox, menerbitkan pendapat hukumnya tentang dokumen-dokumen baru, yang mengatakan bahwa mereka tidak sepenuhnya menghilangkan risiko Inggris terjebak dalam backtop.

Ketika ditanya oleh anggota parlemen tentang pernyataannya, Cox mengatakan, bagaimanapun, bahwa dokumen-dokumen tersebut memuat ketentuan untuk memastikan "pengurangan risiko yang signifikan".

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Berbagai Kemungkinan Alternatif

PM May berjanji untuk memegang dua suara lagi dalam beberapa hari mendatang. Yang pertama, pada hari Rabu, bertujuan mencari tahu apakah anggota parlemen memutuskan akan mengesampingkan Brexit yang tidak ada kesepakatan, 16 hari sebelum jadwal keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada 29 Maret.

Jika legislator memilih untuk keluar tanpa perjanjian tentang hubungan di masa depan, pemerintah Inggris akan mengadakan pemungutan suara lagi pada hari berikutnya, untuk meminta kemungkinan perpanjangan Pasal 50 --berisi klausul keluar dari konstitusi Uni Eropa-- dalam upaya untuk menambah lebih banyak waktu, karena itu berkaitan dengan usaha mencapai kesepakatan perpisahan yang berbeda.

Perpanjangan seperti itu bisa bersifat jangka pendek atau jangka panjang, menurut para pengamat. Namun untuk yang terakhir, skema tersebut akan berarti Inggris mengambil bagian dalam pemilihan Parlemen Eropa pada 23-26 Mei, sebuah skenario yang ingin dihindari oleh PM May.

Selain itu, perpanjangan yang lebih lama juga dapat menciptakan momentum untuk kampanye referendum kedua, terutama sekarang karena oposisi utama Partai Buruh mendukungnya.

"Saya sangat menyesali keputusan yang diambil parlemen pada malam ini," kata PM May dalam pidato setelah pemungutan suara pada hari Selasa.

Dia menambahkan bahwa memperpanjang tenggat waktu keluar dari Uni Eropa tidak akan menyelesaikan kebuntuan politik Inggris saat ini.

"UE ingin tahu apa yang hendak dilakukan parlemen dengan perpanjangan itu. Apakah ingin mencabut Pasal 50? Apakah ingin mengadakan referendum kedua? Atau apakah ingin keluar dengan kesepakatan, tetapi tidak dengan kesepakatan ini? Ini adalah pilihan yang tidak menyenangkan," ujar PM May.

Di lain pihak, pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn mengatakan penolakan tersebut berarti rencana PM May untuk meninggalkan Uni Eropa "mati", dan meminta pemerintah untuk mengadopsi proposal-proposal alternatif untuk keluar dari blok terkait.