Liputan6.com, Algiers - Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika yang menjadi target protes besar-besaran warga sipil sejak Januari lalu, akhirnya mengakomodasi tuntutan rakyat. Bouteflika mengumumkan pada Senin, 11 Maret 2019 bahwa ia tidak akan mencalonkan diri kembali pada pemilihan mendatang.
Pengumuman yang dimaksud diberikan melalui surat yang dirilis oleh media pemerintah, sehari setelah kepulangan sang presiden dari Swis terkait pengobatan.
Di dalam surat itu, tertulis bahwa Bouteflika menyadari kondisi kesehatannya dan berjanji akan menyerahkan "republik yang baru kepada generasi baru Aljazair," sebagaiman dikutip dari laman majalah The Economist pada Rabu (13//3/2019).
Advertisement
Â
Baca Juga
Perlu diketahui, Bouteflika telah menderita stroke sejak 2013 yang mengharuskannya beraktivitas menggunakan kursi roda. Ia juga sangat jarang terlihat di depan publik.
Sebelumnya, puluhan ribu warga negara termasuk 1.000 hakim telah melancarkan protes atas 20 tahun berkuasanya Bouteflika. Mereka menolak pencalonan diri pria 82 tahun itu, dalam pemilu yang berpotensi besar mengantarkannya untuk periode jabatan yang kelima.
Bouteflika disinyalir akan menjadi satu-satunya calon presiden yang "nyata" pada pemilu yang akan berlangsung 18 April 2019, jika kembali maju. Sebagai implikasi atas pengumuman itu, pemilu-pun ditunda.
Kemenangan Rakyat Aljazair
Pengumuman Bouteflika pada Senin dilihat oleh sebagian pihak sebagai kemenangan besar rakyat yang telah melakukan demonstrasi sejak Januari.
Kemenangan itu mengukir sejarah baru demokrasi di Afrika Utara. Hal itu mengingat, Bouteflika adalah satu-satunya pemimpin di kawasan itu yang pernah berhasil lolos dari fenomena Arab Spring, dimulai di Tunisia pada 2010.
Pria itu berhasil menjaga kekuasaannya, meskipun pemimpin kuat Mesir Hosni Mubarak dan Libya, Moammar Khadafi, tumbang akibat revolusi demokrasi pada waktu itu.
Salah satu faktor keberhasilan protes rakyat adalah karena institusi militer telah menunjukkan dukungan atau solidaritasnya terhadap rakyat Aljazair. Menurut Yahia Zoubir, direktur pusat studi geopolitik di Kedge Business School di Marseilles, Prancis, mengatakan bahwa hal itu menunjukkan kepedulian rakyat terhadap momentum strategis.
"Setiap orang di Aljazair peduli bahwa hal ini adalah lompatan besar untuk negeri (mereka). Sangat luar biasa hal ini bisa terjadi dengan sangat damai," kata Zoubir, sebagaimana dikutip dari situs The Globe and Mail.
Kabar terkait pengumuman Bouteflika telah dirayakan oleh rakyat Aljazair, baik di ibu kota maupun daerah lainnya.
Â
Simak pula video pilihan berikut:
Akan Dibentuk Pemerintahan Transisi
Pengumuman dari Bouteflika tidak serta merta pertanda baik bagi demokrasi di Aljazair. Sejumlah jenderal dan pebisnis, yang disebut sebagai "le pouvoir" berpotensi akan mendominasi sistem politik negara itu. Terlebih surat pernyataan mengisyaratkan adanya "periode transisi," hingga konvensi nasional terjadi, yang akan membuat konstitusi baru.
Langkah itu dibaca sebagai "pemerintahan teknokratik" yang secara tidak langsung juga dipimpin oleh Bouteflika hingga presiden baru terpilih.
Dalam rangka mengusahakan konstitusi baru, seorang mantan diplomat bernama Lakhdar Brahimi disinyalir akan memegang peran penting. Ia telah bertemu dengan Bouteflika pascaberedarnya pengumuman.
Menyusul pengumuman itu, Perdana Menteri Aljazair Ahmed Ouyahia juga turun dari kekuasaannya. Ouyahia digantikan oleh Noureddine Bedoui yang sebelumnya menjadi Menteri Dalam Negeri. Sedangkan jabatan wakil PM dipegang oleh Ramtane Lamamra, penasihat diplomatik Bouteflika.
Adapun perombakan pemerintahan akan terjadi secepat mungkin, sebagaimana dikatakan oleh kantor kepresidenan. Sedangkan konferensi nasional yang akan menentukan agenda politik akan diadakan akhir tahun.
Hingga saat ini belum diketahui kapan pemilihan umum akan diadakan.
Advertisement