Liputan6.com, California - Alam semesta adalah tempat yang menakjubkan, penuh dengan sejumlah besar planet yang siap untuk dijelajahi, terdapat misteri yang tidak terpecahkan, dan bahkan 'gelembung super' yang ditiup oleh lubang hitam (black hole).
Tapi ada satu hal yang tidak termasuk dalam ruang angkasa: kebisingan. Tanpa molekul udara --seperti di Bumi-- yang bisa membantu astronaut mendengar, manusia tidak akan bisa mendengarkan suara apa pun saat berada di antariksa, kecuali kehampaan dan kesunyian.
Untungnya, itu tidak menghentikan NASA dalam mencari cara untuk menghasilkan suara dalam ketiadaan ruang. Para ilmuwan di badan ini 'mengubah bentuk' gambar yang diambil oleh Hubble Space Telescope ke bentuk bunyi.
Advertisement
Foto yang digunakan NASA dalam proyek ini diambil oleh Advanced Camera for Surveys dan Wide-Field Camera 3 milik Hubble pada Agustus tahun lalu.
Baca Juga
Peneliti yang bekerja di balik pengoperasian teleskop Hubble menyebut gambar itu sebagai 'peti harta karun galaksi' karena banyaknya jumlah galaksi yang tercecer di potret tersebut.
"Setiap bintik galaksi yang terlihat adalah rumah bagi bintang yang tak terhitung jumlahnya," NASA menjelaskan tentang gambar itu, dikutip dari Science Alert, Rabu (13/3/2019).
"Beberapa bintang yang lebih dekat ke Bumi, bersinar terang di latar depan, sementara gugusan galaksi besar bersarang di tengah-tengah gambar; kumpulan besar, mungkin ribuan galaksi, semua disatukan oleh kekuatan gravitasi yang tiada henti," lanjut mereka.
Tetapi pandangan tentang keindahan gambar ini sirna sudah, ketika diubah menjadi komposisi musik yang sangat menakutkan.
Tim riset NASA yang menciptakan gambar sonifikasi menjelaskan bahwa berbagai lokasi dan elemen pada foto menghasilkan suara yang berbeda.
Bintang-bintang dan galaksi-galaksi kecil diwakili oleh suara-suara pendek dan jelas, sementara galaksi-galaksi spiral memancarkan nada-nada yang lebih rumit dan lebih panjang.
"Waktu bergulir dari kiri ke kanan, dan frekuensi suara berubah dari bawah ke atas, berkisar antara 30 hingga 1.000 hertz," NASA menjelaskan dalam komentar yang menyertai video itu.
"Objek di dekat bagian bawah gambar menghasilkan nada yang lebih rendah, sedangkan yang dekat di bagian atas menghasilkan suara yang lebih tinggi."
Meskipun mungkin terdengar sedikit menakutkan pada awalnya, namun 'suara' dari gambar ini membuat melodi yang agak indah, terutama di bagian tengah, ketika suara mencapai kluster galaksi yang disebut RXC J0142.9 + 4438.
"Kerapatan galaksi yang lebih tinggi, ada di dekat pusat gambar," NASA menambahkan. "Ini menghasilkan gelombang nada mid-range di tengah-tengah video."
Saksikan video pilihan berikut ini:
Ahli Astronomi Ungkap Massa Galaksi Bimasakti yang Sesungguhnya
Sementara itu, selama beberapa dekade, para astronom mengaku belum dapat menentukan dengan tepat berat sesungguhnya galaksi Bimasakti, meski mereka memperkirakan antara 700 miliar hingga 2 triliun kali massa matahari.
"Ini seperti mencoba menyensus populasi Amerika Serikat tetapi Anda tidak bisa menggunakan internet dan Anda tidak bisa meninggalkan kota tempat Anda tinggal," kata Ekta Patel dari University of Arizona di Tucson, sebagaimana dikutip dari Live Science, Jumat 8 Maret 2019.
Menurutnya, masalah utamanya adalah sebagian besar massa galaksi tidak terlihat. Materi gelap, zat misterius yang tidak memancarkan cahaya sama sekali, adalah elemen yang membentuk sekitar 85 persen Bimasakti.
Oleh karena itu, para peneliti biasanya melihat orbit beberapa benda langit, kata Patel. Metode ini didasarkan pada persamaan gravitasi yang diturunkan oleh Isaac Newton lebih dari 300 tahun yang lalu.
Salah satu metode, yang digunakan dalam studi tahun 2017 dan diterbitkan dalam The Astrophysical Journal, adalah dengan melihat galaksi satelit kecil yang berjarak ratusan ribu tahun cahaya yang mengelilingi Bimasakti, seperti halnya planet yang mengorbit bintang.
Tapi ada masalah dengan galaksi satelit ini. "Orbit mereka miliaran tahun," ungkap Patel, yang berarti bahwa setelah beberapa tahun, benda angkasa ini hampir tidak bergerak dan para peneliti tidak dapat menentukan kecepatan orbitnya.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada Juni 2018 di The Astrophysical Journal, Patel dan rekan-rekannya mencoba metode baru untuk mengukur galaksi. Mereka melihat simulasi superkomputer dari alam semesta virtual, yang dapat mereproduksi banyak aspek dari kosmos kita, dan mencoba menemukan contoh galaksi kecil yang orbitannya lebih besar.
Sekitar 90.000 galaksi satelit yang disimulasikan ini kemudian dibandingkan dengan data dari sembilan galaksi sungguhan yang mengorbit di Bimasakti. Tim periset memilih yang memiliki sifat orbital paling cocok dengan galaksi satelit nyata. Mereka juga melihat massa galaksi simulasi yang dilintasi.
Metode ini memberikan perkiraan yang cukup bagus tentang massa sejati galaksi Bimasakti, yang tercatat sekitar 960 miliar kali massa matahari. Angka tersebut kemungkinan berasal dari satelit Gaia dari Badan Antariksa Eropa (ESA), yang baru-baru ini memberikan hasil pengukuran sifat orbital dari 30 galaksi kerdil yang samar, yang mengorbit di Bimasakti.
"Dengan mengaplikasikan data tersebut, bersama dengan simulasi kosmologis untuk menyempurnakan pengukuran berat, adalah sesuatu yang harus saya lakukan," ujar Patel.
Baru-baru ini, Teleskop Angkasa Luar Hubble milik NASA dan satelit Gaia menggabungkan pengamatan yang mereka lakukan tentang gugus bintang globular, atau kepulauan bintang yang mengorbit jantung galaksi.
Kedua teknologi ini menemukan bahwa Bimasakti memiliki bobot sekitar 1,5 triliun massa matahari. Angka itu, yang mungkin salah satu yang paling akurat, akan segera diterbitkan dalam edisi mendatang di The Astrophysical Journal.
"Massa galaksi akan membantu para astronom dalam banyak hal. Kami akan dapat lebih baik menghitung orbit galaksi satelit, karena ini bergantung pada massa Bimasakti. Galaksi yang lebih berat juga memiliki lebih banyak satelit yang mengorbitnya, dan sejauh ini, Hubble telah menemukan sekitar 50 galaksi yang mengelilingi Bimasakti," jelasnya.
Lantaran mereka tidak tahu persis berat galaksi, maka para ilmuwan pun tidak yakin untuk menentukan jumlah galaksi satelit yang mereka temukan. "Saya pikir dalam 10 atau 20 tahun ke depan, kita akan memiliki jawaban yang lebih baik," pungkasnya.
Advertisement