Sukses

Dinilai Diam soal Penembakan di Selandia Baru, Donald Trump Dikecam

Trump mendapat kecaman dari kubu Demokrat akibat terkesan diam dengan penembakan masjid di Selandia Baru.

Liputan6.com, Washington DC - Anggota legislatif Amerika Serikat (AS) dari kubu Demokrat menyerang sikap "diam" Presiden Donald Trump dalam kasus penyerangan masjid di Selandia Baru yang disinyalir berhubungan dengan fenomena supremasi kulit putih (white supremacy). Aksi protes itu dipimpin oleh anggota parlemen Arab-Amerika pada Minggu, 17 Maret 2019.

Dalam sebuah kesempatan, Angggota DPR AS (House of Representatives) Rashida Tlaib (Demokrat - Detroit) yang juga merupakan perempuan muslim, mengatakan bahwa Trump gagal untuk berbicara dengan lantang melawan supremasi kulit putih. Fenomena itu pula yang dilihat telah membuat negaranya kurang aman akhir-akhir ini.

"Trump adalah orang paling berkuasa di dunia saat ini," kata Rashida dalam sebuah wawancara dengan CNN.

"Dia, dari Oval Office, dari posisi kuasa itu, dapat mengirim sinyal dengan sangat lantang dan jelas," katanya, menyesalkan sikap Trump yang dianggap tidak serius, mengutip The Straits Times pada Senin (18/3/2019).

"Kami telah melakukan ini di masa lalu melawan terorisme asing. Kita perlu melakukannya pada terorisme domestik, melawan supremasi kulit putih yang tumbuh setiap hari dimana kita tetap diam," pungkasnya.

Perlu diketahui, insiden penembakan dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, telah berakhir menjadi perdebatan di AS terkait agama dan ras.

Dalam kontroversi terkait sikap Trump yang dianggap tidak efektif itu, staf Gedung Putih Mick Mulvaney menyangkal adanya keterkaitan antara retorika anti-imigrasi yang biasa disampaikan oleh presiden nyentrik dengan pandangan pelaku pembantaian massal.

"Presiden (Trump) bukan bagian dari supremasi kulit putih," kata Mulvaney.

Sebelumnya, Trump sempat menyatakan simpati dan solidaritas kepada korban pembantaian massal di Selandia Baru. Meskipun demikian, ia menepis keterkaitan serangan itu dengan nasionalisme kulit putih yang dianggap oleh sebagian pihak membahayakan dunia.

"Saya tidak begitu. Saya pikir itu adalah sekelompok kecil orang yang memiliki masalah yang sangat, sangat serius, saya kira," kata Trump.

 

Simak pula video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Supremasi Kulit Putih Jadi Salah Satu Manifesto Serangan

Pelaku serangan dua masjid di Selandia Baru pada Jumat, 15 maret 2019 telah memosting manifesto atau pernyataan sikap yang menguak alasannya melancarkan serangan. 

Dalam rilis sikap setebal 73 halaman yang diposting online, pria itu mendeskripsikan diri sebagai, "pria kulit putih biasa."

Pria berusia 28 tahun itu juga mengaku lahir di keluarga kelas pekerja, dengan penghasilan rendah. "...yang memutuskan ambil sikap demi kepastian masa depan orang-orangku," demikian dikutip dari situs News.com.au.

Pria yang dilaporkan berasal dari Grafton itu mengaku punya tujuan melakukan serangan. "...untuk mengurangi tingkat imigrasi ke tanah-tanah Eropa secara langsung."

Aparat antiterorisme di New South Wales, Australia segera melakukan investigasi setelah menerima laporan bahwa pelaku berasal dari wilayahnya.

Petunjuk lain soal pelaku diketahui dari foto header di akun Twitter milik Brenton Tarrant yang menunjukkan seorang korban serangan teror Bastille Day di Nice, Prancis pada 2016 lalu.

Foto yang diambil fotografer Reuters Eric Gaillard melambangkan serangan teror yang menewaskan 84 orang, kala sebuah truk menabrak kerumunan orang.

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison mengonfirmasi bahwa salah satu pelaku yang ditahan aparat Selandia Baru adalah warga negaranya.

"Ia adalah seorang ekstremis, pendukung sayap kanan, seorang teoris kejam," kata PM Australia.

Supremasi Kulit Putih

Dalam manifestonya, pelaku penembakan mengaku, serangan tersebut bertujuan, "untuk menunjukkan ke para penyusup bahwa tanah kita tidak akan pernah menjadi tanah mereka, tanah air kita adalah milik kita sendiri dan -- selama orang kulit putih masih hidup -- mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kita..."

Ia membahasakan para imigran sebagai penyusup (intruders).

Tarrant mengaku merencanakan serangan selama lebih dari dua tahun. Namun, baru tiga bulan lalu ia memutuskan Christchurch sebagai target.

Selandia Baru, kata dia, bukan tujuan awal serangannya. "Serangan di Selandia Baru akan memusatkan perhatian pada fakta terjadinya 'penyusupan' terhadap peradaban kita, bahwa tidak ada tempat di dunia ini yang aman, bahwa para penyusup berada di semua tanah kita, bahkan di daerah-daerah terpencil di dunia dan bahwa tidak ada tempat lagi yang aman dan bebas dari imigrasi massal."

Mengklaim sebagai perwakilan dari "jutaan orang Eropa dan warga etno-nasionalis lainnya", Tarrant mengatakan, "kita harus memastikan eksistensi orang-orang kita, masa depan anak-anak kulit putih."

Pria kejam itu mendeskripsikan bahwa serangan yang ia lakukan adalah tindakan balas dendam pada 'penyusup', "... atas ratusan ribu kematian yang disebabkan oleh penyusup asing di tanah Eropa sepanjang sejarah ... untuk perbudakan atas jutaan orang Eropa yang tanah mereka diambil oleh budak Islam ...untuk ribuan nyawa orang Eropa yang hilang karena serangan teror di seluruh tanah Eropa. "