Liputan6.com, Washington DC - Presiden Donald Trump mengeluh media berita nasional AS bekerja lembur untuk menyalahkannya atas penembakan di masjid Selandia Baru pada Senin 18 Maret 2019.
Ia mencuit di Twitter, "Mereka harus bekerja sangat keras untuk membuktikannya. Sangat konyol!"
The Fake News Media is working overtime to blame me for the horrible attack in New Zealand. They will have to work very hard to prove that one. So Ridiculous!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) March 18, 2019
Trump tampaknya sangat marah karena kantor-kantor berita utama AS menganggapnya sebagai "simbol identitas kulit putih yang baru dengan tujuan yang sama" , seperti digambarkan Brent Harris Tarrant -- seorang supremasi kulit putih Australia yang merupakan dalang penembakan di masjid Selandia Baru. Ia menyebutnya dalam sebuah manifesto yang dirilis Jumat, sesaat sebelum serangan, meskipun ia tidak mendukung kebijakan Trump.
Advertisement
Penasihat Gedung Putih Kellyanne Conway pada Senin pagi bersikeras Presiden Donald Trump mengecam kata-kata laki-laki bersenjata dalam serangan masjid Selandia Baru dengan mengklaim presiden "berkali-kali mengecam fanatisme."
Sebelumnya, saat ditanya pada hari Jumat setelah serangan apakah ia melihat peningkatan nasionalisme kulit putih, Trump mengatakan, "Menurut saya tidak. Saya kira itu sekelompok kecil orang yang punya masalah sangat serius."
Trump mengatakan ia belum melihat manifesto itu.
Presiden Trump mengutuk penembakan di Selandia Baru itu dan menyampaikan dukungan bagi Negeri Kiwi. Namun ia belum mengomentari motif Tarrant yang didakwa melakukan serangan itu, pandangan rasis dan kebenciannya pada para imigran dan Muslim.
Gedung Putih juga menyangkal upaya apapun yang menghubungkan Trump dengan Tarrant.
Trump mendapat kecaman dari sejumlah media dan Kongres selama akhir pekan karena meremehkan ancaman nasionalisme kulit putih.
Setelah penembakan di Selandia Baru itu, Trump menyampaikan simpati kepada para korban, tetapi tidak membesar-besarkan ancaman nasionalisme kulit putih, dengan mengatakan ia tidak menganggapnya meningkat.
Tetapi data menunjukkan ancaman nasionalisme kulit putih meningkat baik di AS maupun di luar negeri.
Â
Saksikan juga video berikut ini:
Supremasi Kulit Putih di Manifesto Serangan
Pelaku serangan dua masjid di Selandia Baru pada Jumat, 15 maret 2019 telah memosting manifesto atau pernyataan sikap yang menguak alasannya melancarkan serangan.Â
Dalam rilis sikap setebal 73 halaman yang diposting online, pria itu mendeskripsikan diri sebagai, "pria kulit putih biasa."
Pria berusia 28 tahun itu juga mengaku lahir di keluarga kelas pekerja, dengan penghasilan rendah. "...yang memutuskan ambil sikap demi kepastian masa depan orang-orangku," demikian dikutip dari situs News.com.au.
Pria yang dilaporkan berasal dari Grafton itu mengaku punya tujuan melakukan serangan. "...untuk mengurangi tingkat imigrasi ke tanah-tanah Eropa secara langsung."
Aparat antiterorisme di New South Wales, Australia segera melakukan investigasi setelah menerima laporan bahwa pelaku berasal dari wilayahnya.
Petunjuk lain soal pelaku diketahui dari foto header di akun Twitter milik Brenton Tarrant yang menunjukkan seorang korban serangan teror Bastille Day di Nice, Prancis pada 2016 lalu.
Foto yang diambil fotografer Reuters Eric Gaillard melambangkan serangan teror yang menewaskan 84 orang, kala sebuah truk menabrak kerumunan orang.
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison mengonfirmasi bahwa salah satu pelaku yang ditahan aparat Selandia Baru adalah warga negaranya.
"Ia adalah seorang ekstremis, pendukung sayap kanan, seorang teoris kejam," kata PM Australia.
Supremasi Kulit Putih
Dalam manifestonya, pelaku penembakan mengaku, serangan tersebut bertujuan, "untuk menunjukkan ke para penyusup bahwa tanah kita tidak akan pernah menjadi tanah mereka, tanah air kita adalah milik kita sendiri dan -- selama orang kulit putih masih hidup -- mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kita..."
Ia membahasakan para imigran sebagai penyusup (intruders).
Tarrant mengaku merencanakan serangan selama lebih dari dua tahun. Namun, baru tiga bulan lalu ia memutuskan Christchurch sebagai target.
Selandia Baru, kata dia, bukan tujuan awal serangannya. "Serangan di Selandia Baru akan memusatkan perhatian pada fakta terjadinya 'penyusupan' terhadap peradaban kita, bahwa tidak ada tempat di dunia ini yang aman, bahwa para penyusup berada di semua tanah kita, bahkan di daerah-daerah terpencil di dunia dan bahwa tidak ada tempat lagi yang aman dan bebas dari imigrasi massal."
Mengklaim sebagai perwakilan dari "jutaan orang Eropa dan warga etno-nasionalis lainnya", Tarrant mengatakan, "kita harus memastikan eksistensi orang-orang kita, masa depan anak-anak kulit putih."
Pria kejam itu mendeskripsikan bahwa serangan yang ia lakukan adalah tindakan balas dendam pada 'penyusup', "... atas ratusan ribu kematian yang disebabkan oleh penyusup asing di tanah Eropa sepanjang sejarah ... untuk perbudakan atas jutaan orang Eropa yang tanah mereka diambil oleh budak Islam ...untuk ribuan nyawa orang Eropa yang hilang karena serangan teror di seluruh tanah Eropa. "
Advertisement