Sukses

Pasca-Penembakan Selandia Baru, FBI Didesak Menindak Kekerasan Supremasi Kulit Putih

Sejumlah pemimpin agama dan aktivis hak sipil melayangkan surat kepada Direktur FBI, memohon keseriusan pemerintah federal dalam menindak kasus kekerasan supremasi putih.

Liputan6.com, Washington DC - Sebuah kelompok yang terdiri atas aktivis hak sipil dan pemuka agama di Amerika Serikat (AS) mendesak FBI untuk bertindak serius dalam menangani kasus kekerasan yang berkaitan dengan supremasi kulit putih.

Kelompok yang dimaksud terdiri atas pimpinan Advokat Muslim, Bantuan Hukum dan Pendidikan NACCP, Konferensi Pemimpin dalam Hak Sipil dan Hak Asasi Manusia, the Union for Reform Judaism, dan Koalisi Sikh.

Melalui sebuah surat yang dikirimkan kepada Direktur FBI Christopher Wray, salah satu sorotan mereka adalah pada penembakan di Selandia Baru yang dilakukan oleh seorang ekstremis sayap kanan, menewaskan 50 korban jiwa.

Mereka menganggap insiden itu berhubungan dengan sejumlah kasus penyerangan tempat ibadah lain di AS yang disebabkan oleh supremasi kulit putih. Oleh karenanya, kelompok tersebut meminta bertemu dengan Direktur FBI Christopher Wray, mengutip media NPR pada Jumat (22/3/2019).

"Kami yang bertanda tangan di bawah ini pemimpin nasional hak sipil dan agama, menulis surat ini untuk menyampaikan konsen terdalam terkait kejadian terbaru yang merusak rumah ibadah," kata mereka mengawali surat.

"Kami memohon sebuah pertemuan mendesak dengan Anda, untuk mendiskusikan peran FBI dalam menangani ancaman publik dan komunitas, berupa kekerasan yang dilakukan oleh nasionalis putih," kata mereka menyatakan tujuan.

Dalam surat itu mereka menyebutkan bahwa serangan terhadap tempat ibadah sangat sering terjadi, tak kecuali di AS; yang sebagian dilakukan oleh kaum simpatisan supremasi putih.

Beberapa kasus yang dimaksud misalnya pada 2012, ketika Wade Michael Page, seorang supremasi putih, menyerang tempat ibadah umat Sikh di Kota Oak Creek, Wisconsin, dengan enam korban jiwa. 

Warga Selandia Baru bersolidaritas terhadap korban penembakan (AFP Photo)

Tiga tahun setelahnya, pada 2015, seorang yang memiliki kebencian berbasis rasial dan simpatisan ide-ide supremasi putih menyerang Gereja Emanuel AME, Karolina Selatan. Dylann Roff, pelaku teror, membunuh sembilan orang jemaat gereja. Masih dalam kasus serupa, pada 2018 Robert D. Bowers yang anti-Semitis membunuh 11 orang di Sinagog Tree of Life di Pittsburgh, Pennsylvania.

Kelompok itu menekankan pada bagian selanjutnya bahwa kasus serupa terjadi pada Jumat lalu, di Masjid Al Noor dan Linwood, Selandia Baru. Mereka melihat penembakan di Negeri Kiwi memiliki keterkaitan dengan kasus-kasus yang telah disebutkan sebelumnya, mengingat Brenton Harrison Tarrant, pelaku, menyebut telah terinspirasi oleh Dylan Roof dalam manifestonya.

Meragukan FBI

Tersirat dari surat tersebut, para pemimpin agama dan komunitas meragukan keseriusan FBI dalam penyelesaian kasus kekerasan yang berkaitan dengan supremasi putih, khususnya di AS.

"Sayangnya apa yang kami telah lihat selama beberapa tahun terakhir, penegak hukum pemerintah federal cenderung melakukan penolakan terhadap ancaman ini (yang datang dari supremasi putih)," kata Farhana Khera, direktur eksekutif Advokat Muslim, yang juga turut menandatangani surat.

"Setelah kejadian mengerikan di Selandia Baru pekan lalu, kami memutuskan bahwa, sebagai pemimpin hak hak sipil dan agama tidak bisa tinggal diam," lanjutnya.

"Kami harus memulai untuk meminta tindakan tegas dari pejabat penegak hukum federal, dimulai dengan (menyurati) Direktur FBI. Ini saatnya untuk memprioritaskan ancaman dari nasionalisme putih," Khera melanjutkan.

"Merupakan harapan saya yang kuat bahwa Direktur Wray akan menyetujui permintaan kami," katanya.

"Dia adalah kepala penegak hukum di negara kita dan ... kami mewakili beragam komunitas agama, etnis atau ras yang menjadi sasaran langsung dan terpengaruh oleh kekerasan ini," pungkasnya.

 

Simak pula video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Trump Menyangkal

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menyangkal adanya hubungan antara insiden penembakan di Selandia Baru dengan fenomena supremasi putih.

"Menurut saya tidak," kata Trump, beberapa waktu lalu.

"Saya pikir itu adalah sekelompok kecil orang yang memiliki masalah yang sangat, sangat serius," lanjutnya menyangkal korelasi dua hal yang telah disebutkan sebelumnya.

Pemimpin Negeri Paman Sam itu juga terkesan diam atas serangan, yang mendatangkan tanggapan negatif dari kubu Demokrat. Aksi protes beberapa pihak oposisi dipimpin oleh anggota parlemen Arab-Amerika pada Minggu, 17 Maret 2019.

Dalam sebuah kesempatan, Angggota DPR AS (House of Representatives) Rashida Tlaib (Demokrat - Detroit) yang juga merupakan perempuan muslim, mengatakan bahwa Trump gagal untuk berbicara dengan lantang melawan supremasi kulit putih. Fenomena itu pula yang dilihat telah membuat negaranya kurang aman akhir-akhir ini.

"Trump adalah orang paling berkuasa di dunia saat ini," kata Rashida dalam sebuah wawancara dengan CNN.

"Dia, dari Oval Office, dari posisi kuasa itu, dapat mengirim sinyal dengan sangat lantang dan jelas," katanya, menyesalkan sikap Trump yang dianggap tidak serius, mengutip The Straits Times.

"Kami telah melakukan ini di masa lalu melawan terorisme asing. Kita perlu melakukannya pada terorisme domestik, melawan supremasi kulit putih yang tumbuh setiap hari dimana kita tetap diam," pungkasnya.

Perlu diketahui, insiden penembakan dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, telah berakhir menjadi perdebatan di AS terkait agama dan ras.

Dalam kontroversi terkait sikap Trump yang dianggap tidak efektif itu, staf Gedung Putih Mick Mulvaney menyangkal adanya keterkaitan antara retorika anti-imigrasi yang biasa disampaikan oleh presiden nyentrik dengan pandangan pelaku pembantaian massal.

"Presiden (Trump) bukan bagian dari supremasi kulit putih," kata Mulvaney.

Â