Liputan6.com, New York - Amerika mengumumkan sanksi-sanksi baru terhadap 31 warga Iran dan entitas terkait Organisasi Penelitian dan Inovasi Pertahanan atau ODIR.
Organisasi tersebut, yang dalam bahasa Persia disingkat menjadi SPND, diyakini telah melakukan penelitian dan pengembangan yang dapat digunakan untuk senjata nuklir dan sistem pengiriman senjata.
SPND didirikan oleh mantan kepala pengembangan senjata nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh.
Advertisement
Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Robert Palladino dalam pernyataan Jumat 22Â Maret 2019 mengatakan sanksi-sanksi itu merupakan tanggapan atas penggerebekan Badan Arsip Nuklir rahasia Iran oleh Israel tahun lalu, yang mengungkap masih berlanjutnya aktivitas nuklir negara itu.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan sanksi-sanksi itu tidak hanya memblokir aset yang ada di Amerika, tetapi juga memblokir akses individu dan entitas yang menjadi subyek sanksi itu pada sistem keuangan Amerika. Mereka yang bukan warga Amerika dapat dikenai sanksi karena memberi dukungan materi kepada orang-orang dan kelompok yang dijatuhi sanksi.
Dalam pernyataan itu, seperti diberitakan VOA Indonesia yang dikutip Sabtu (23/3/2019), Departemen Luar Negeri mengatakan Amerika berhak menarik diri dari perjanjian internasional untuk menyudahi program senjata nuklir Iran.
Ditambahkan, "Inilah sebabnya Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menyerukan perjanjian komprehensif yang baru, yang menyudahi secara permanen semua jalur pengembangan senjata nuklir; dan menuntut Iran untuk bertanggungjawab penuh atas aktivitas senjata nuklirnya pada masa lalu, tunduk pada Badan Energi Atom Internasional IAEA, menghentikan seluruh program pengayaan dan menutup reaktor air berat."
Pompeo saat ini sedang berada di Timur Tengah. Saat berada di Lebanon hari Jumat, ia juga mengutuk kelompok militan Lebanon yang didukung Iran, Hizbullah, dengan mengatakan kelompok itu "melakukan tindakan yang memperkeruh situasi di Lebanon."
Saksikan juga video berikut ini:
Sanksi Sektor Minyak 2018
Sebelumnya Amerika Serikat, pada 5 November 2018, telah resmi menjatuhkan sanksi ekonomi keras yang menargetkan sektor perminyakan dan finansial Iran.
Sanksi itu bertautan dengan kebijakan AS untuk memberikan 'tekanan maksimum' kepada Iran, sebagai upaya agar negara di Timur Tengah tersebut berhenti mengembangkan senjata nuklir.
Hal itu dilatarbelakangi atas kritik Presiden AS Donald Trump terhadap pakta Kesepakatan Pembatasan Nuklir Iran (JCPOA) yang diteken oleh AS, Iran, dan negara-negara Eropa pada 2015.
Kesepakatan itu mewajibkan Iran untuk menghentikan aktivitas pengayaan uranium (enriched uranium) dan sebagai gantinya, AS dan Eropa mencabut sanksinya terhadap Negeri Para Mullah.
Namun, Trump menarik AS keluar dari JCPOA awal tahun ini, dengan beralasan bahwa kesepakatan itu tak lagi efektif menekan Iran untuk tak membuat nuklir. Ia juga menuduh bahwa Teheran melanggar JCPOA --yang dibantah oleh Iran.
Langkah AS pun ditentang Eropa yang menganggap bahwa JCPOA masih dianggap efektif dalam memberikan tekanan dan pengendalian nuklir terhadap Iran.
Usai keluar dari JCPOA, AS kembali memberlakukan sanksi secara sepihak terhadap Iran. Beberapa set sanksi telah diterapkan oleh AS pada 5 Agustus dan disusul oleh sanksi pada Senin 5 November ini, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin 5 November 2018.
Sanksi 5 Agustus menargetkan industri otomotif dan penerbangan Iran. Sementara, sanksi 5 November memukul sektor minyak dan gas Iran, sektor pelayaran dan bank-banknya --dengan bertujuan untuk "membuat ekspor minyak Iran menjadi nol" kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
Presiden AS Donald Trump percaya diri bahwa sanksi itu telah berhasil membuat Iran dalam kondisi yang 'tertekan'.
"Sanksi sangat kuat, mereka adalah sanksi terkuat yang pernah kami kenakan. Dan kami akan melihat apa yang terjadi dengan Iran, tapi mereka akan dalam kondisi yang sangat tidak baik."
Advertisement