Sukses

Ditemukan Sumber Bahan Kimia Terekstrem di Semesta, Ini Kata Fisikawan

Fisikawan mengklaim mereka telah menemukan sumber bahan kimia paling ekstrem di alam semesta.

Liputan6.com, Jakarta - Alam semesta kita penuh dengan bahan kimia yang seharusnya tidak ada. Demikian menurut fisikawan yang dikutip dari Live Science, Minggu (24/3/2019).

Unsur yang lebih ringan --seperti karbon, oksigen dan helium-- tercipta karena adanya energi fusi yang menghancurkan proton di dalam bintang.

Tetapi elemen-elemen seperti kobalt, nikel, tembaga, yang muncul di jagat raya melalui yodium dan xenon, termasuk uranium dan plutonium, terlalu berat untuk diproduksi oleh fusi bintang. 

Namun, bahan-bahan kimia itu berlimpah di alam semesta. Ada 'sesuatu' yang menciptakan mereka.

Teori klasiknya adalah bahwa supernova --ledakan dari suatu bintang di galaksi yang menandai berakhirnya riwayat suatu bintang-- adalah penyebabnya. Ledakan-ledakan itu secara singkat mencapai energi yang cukup kuat untuk menciptakan elemen yang lebih berat.

Teori dominan tentang terbentuknya unsur-unsur tadi adalah turbulensi. Ketika supernova melempar material ke alam semesta, gelombang kecil turbulensi menembus embusan anginnya.

'Riak' ini mengompresi material bintang yang keluar dengan kekuatan yang cukup besar untuk membanting atom besi yang tahan fusi ke dalam atom lain. Kemudian terbentuklah elemen yang lebih berat.

"Untuk memulai proses ini, kita perlu memiliki semacam kelebihan energi," kata pemimpin studi, Snezhana Abarzhi, seorang ilmuwan material angkasa di University of Western Australia, Perth.

"Orang-orang banyak yang percaya selama bertahun-tahun bahwa kelebihan energi semacam ini dapat diciptakan oleh proses yang cepat dan ganas, yang pada dasarnya mungkin merupakan proses yang bergejolak," lanjutnya kepada Live Science.

Tetapi Abarzhi dan rekan penulisnya mengembangkan model cairan dalam supernova yang menyimpulkan sesuatu yang lain, yang lebih kecil, yang mungkin sedang terjadi.

Mereka mempresentasikan temuan mereka pada awal bulan ini di Boston, dalam pertemuan American Physical Society March, dan juga menerbitkan temuan mereka pada 26 November 2018 dalam jurnal Proceedings of National Academy of Sciences.

Di sebuah supernova, ledakan bintang terpental jauh dari intinya dengan kecepatan tinggi. Tetapi semua materi itu mengalir keluar dengan kecepatan yang sama.

Molekul-molekul dalam aliran material bintang ini tidak bergerak terlalu cepat. Meskipun mungkin sesekali ada 'riak' yang ikut tercipta, namun tidak ada cukup turbulensi untuk membuat molekul melewati zat besi pada tabel periodik.

Sebaliknya, Abarzhi dan timnya menemukan bahwa fusi kemungkinan terjadi di hotspot yang terisolasi di dalam supernova.

Ketika sebuah bintang meledak, letusan ini tidak simetris sempurna. Bintang itu sendiri memiliki penyimpangan kerapatan pada saat sebelum ledakan, dan gaya peledakannya juga agak tidak teratur.

Ketidakteraturan itu menghasilkan ultradense: daerah ultrahot di dalam ledakan bintang yang sudah panas. Alih-alih ada riak yang mengguncang seluruh massa, tekanan dan energi supernova menjadi lebih terkonsentrasi di bagian-bagian kecil dari massa yang meledak.

Wilayah-wilayah ini menjadi 'pabrik' bahan kimia yang lebih kuat daripada apa pun yang ada di bintang tersebut. Di sinilah, semua elemen berat di alam semesta berasal.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

2 dari 2 halaman

Gelembung Energi Negatif Bisa Hancurkan Alam Semesta

Sementara itu, di kasus lain, penelitian terbaru tentang ruang angkasa, mengungkap bahwa sebuah partikel fundamental -- pemberi massa pada semua materi di alam semesta -- suatu hari bisa menyebabkan kehancuran.

Para ahli mengatakan bahwa alam semesta bisa berakhir secara tiba-tiba, ketika ditabrak oleh gelembung energi negatif, yang tercipta karena fenomena Boson Higgs, atau umum disebut sebagai 'partikel Tuhan'.

Kehancuran yang lambat pada alam, terus dipantau melalui Model Standar fisika partikel, yang digunakan oleh para ilmuwan untuk menjelaskan blok bangunan dasar materi.

Di bawahnya, sebuah gaya yang disebut energi gelap, sedang mendorong percepatan perluasan alam semesta, yang akan terus berlanjut sampai semuanya memudar ke jurang yang dingin, dan tanpa sifat sama sekali.

Tetapi, sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa berakhirnya alam semesta disebabkan oleh sebuah ledakan, bukan rentetan kerusakan, yang diperkirakan terjadi sekitar 10 x 139 tahun.

Kabar buruknya, laporan tersebut menyebut proses di balik hancurnya alam semesta mungkin sudah dimulai, yakni melalui isu teori lubang hitam (black holes).

Para peneliti di Universitas Harvard membuat temuan mengejutkan, dengan mempelajari apa yang sudah diketahui tentang massa partikel, dan bagaimana mereka berinteraksi.

Massa dari Boson Higgs, yang telah diteorikan sejak 1970-an dan ditemukan di Hadron Collider, diyakini menjadi 125 gigaelectronvolts, yakni ukuran energi yang digunakan dalam fisika akselerator partikel.

Namun, berkat pengolahan fisika kuantum -- hukum alam semesta yang menjelaskan interaksi partikel sub-atom -- massa ini mungkin tidak selalu konstan.

Para ahli berteori bahwa massa Boson Higgs saat ini, mungkin akan berubah suatu saat nanti.

Jika ini terjadi pada partikel kuantum, yang memberikan semua materi lain massanya, itu bisa menghancurkan semua proses yang membuat kehidupan di alam semesta kita menjadi mungkin.

Ini bisa menciptakan gelembung energi negatif yang meluas di mana hukum-hukum fisika seperti yang kita tahu, sepenuhnya dilenyapkan.

Gelembung ini akan terus berkembang hingga menyelimuti keseluruhan alam semesta.