Liputan6.com, Jakarta - Banyak pihak berasumsi bahwa kekerasan, termasuk tindak terorisme, dilihat sebagai hal maskulin yang didominasi oleh laki-laki. Meski demikian, perempuan bukan berarti steril dari fenomena ini.
Sejumlah kasus terbaru menunjukkan bahwa kaum hawa turut berpartisipasi dalam terorisme, tak terkecuali dalam ISIS. Peran mereka sangat bervariasi, beberapa bahkan terlibat penyerangan.
Advertisement
Baca Juga
Dalam sebuah publikasi berjudul "Female Terrorists in ISIS, al Qaeda and 21st Century Terrorism", Anne Speckhard menguak alasan mengapa kelompok militan termasuk ISIS membutuhkan sosok "pengantin".
Berikut informasinya, sebagaimana dikutip dari Trends Research: Inside the Mind of a Jihadist, pada Selasa (26/3/2019).
Â
Simak pula video pilihan berikut:
1. Mudah Mengelabui
Citra bahwa perempuan merupakan entitas yang damai, anti kekerasan, dan penyayang, diterima luas oleh publik. Bahkan tak jarang, karakteristik itu mengilhami berbagai tulisan dan kajian yang beredar di masyarakat.
Speckhard menyebut citra tersebut sebagai "mitos" yang justru dimanfaatkan oleh para teroris. Ia merujuk pada laporan Murray Straus and Richard Gelles dalam National Family Violence Survey tahun 1975, menjelaskan bahwa perempuan memiliki potensi yang sama untuk menginisiasi kekerasan. Bahkan kadang, perempuan juga bisa menjadi agresor dalam sebuah konflik.
Anggapan itu dimanfaatkan kelompok militan untuk mengelabui target. Perempuan diberikan tugas membawa bom atau bahan peledak lain di tubuh mereka, karena tidak menyita perhatian luas.
Hal itu telah dipraktikkan beberapa kali. Misalnya, pasukan Tamil Tigers pernah menyuruh pengantinnya untuk berpura-pura hamil, saat sebetulnya membawa bom. Bahkan kelompok itu, pernah menyembunyikan bahan peledak di bra anggota perempuannya.
Hal yang sama juga terjadi pada ISIS. Dian Yulia Novi, seorang pengantin ISIS juga diberikan tugas untuk membawa bom panci, pada Maret 2018 lalu.
Beberapa kejadian tersebut terjadi mengingat kaum hawa memang sering mudah dipercaya, khususnya di bagian pengecekan. Mereka juga sering kali tidak diperiksa terlalu mendetail, khususnya apabila terdapat hambatan protokoler yakni saat petugas keamanan merupakan laki-laki.
Advertisement
2. Perhatian Besar Media
Secara umum, tujuan dari teror adalah untuk menciptakan rasa takut. Semakin banyak orang yang mengetahui serangan, semakin luas rasa takut, kelompok militan akan lebih bangga. Itulah mengapa perhatian dari media sangat diharapkan oleh teroris.
Keterlibatan perempuan dalam serangan, biasanya akan diberitakan relatif lebih masif, dibandingkan dengan operasi teror yang hanya dilakukan oleh pria. Hal itu terkait dengan kontradiksi antara realita dengan citra yang sudah ada dalam masyarakat. Speckhard mengatakan bahwa "pengantin" terorisme akan menimbulkan spekulasi luas, mengapa wanita dengan suka rela dan gagah berani memilih menjadi teroris.
3. Aliansi Lebih Besar
Keberadaan pengantin ISIS digunakan untuk membangun aliansi yang lebih besar. Shamil Basayev, salah satu pemimpin gerilyawan Islam bernama Chechen Republic of Ichkeria di Rusia, mengaku bahwa menikahi perempuan berperan sangat strategis. Tindakan itu mampu mendatangkan lebih banyak pengikut dari keluarga dan klan istri. Selain itu, mereka lebih loyal, sehingga memberikan bantuan baik berupa finansial maupun bentuk lain.
Pernikahan juga berdampak positif bagi anggota teroris, karena hal itu menyebabkan mereka memiliki akses untuk mendapatkan kewarganegaraan istri. Dengan demikian, mereka lebih mudah bepergian dan menyembunyikan diri.
Speckhard juga mengatakan bahwa keikutsertaan perempuan dalam kegiatan terorisme dapat "membangunkan" para laki-laki yang "tertidur". Maksudnya, mereka dapat memicu anggota baru yang merasa terpukul atas keterlibatan wanita dalam serangan-serangan berbahaya.
Lebih lanjut, pengantin juga bermanfaat untuk melakukan kegiatan "dakwah" berkedok mengembalikan ajaran agama. Lagi-lagi, citra perempuan yang persuasif dimanfaatkan untuk merekrut sebanyak mungkin anggota.
Advertisement
4. Penyerang Cadangan?
Speckhard dalam publikasinya mengatakan bahwa dalam sebagian operasi teror, perempuan memiliki "hambatan" untuk bergabung. Misalnya, karena medan yang terjal dan berbukit-bukit mereka dianggap tidak akan sanggup untuk ikut angkat senjata.
Meski demikian, perempuan nyatanya dipilih sebagai penyerang tambahan dalam beberapa kasus. Terkait diskriminasi berbasis gender di mana mereka dianggap lemah untuk berperang di medan perang, perempuan justru dibebani tugas untuk melakukan serangan bunuh diri.
5. Regenerasi dan Kebutuhan Vital
Selain beberapa peran yang telah dijelaskan sebelumnya, para "pengantin" teroris juga dibutuhkan untuk memberikan keturunan yang akan menjadi "penerus" kaum militan.
Selain itu, wanita juga dibutuhkan untuk memenuhi berbagai hal vital seperti: Kebutuhan seksual, mempersiapkan makanan, serta merawat militan yang terluka dalam perang.
Advertisement