Sukses

Ini 4 Hal yang Patut Diwaspadai Pascakekalahan ISIS

AS mengklaim kemenangannya atas kelompok (ISIS) di Suriah. Meski demikian, ada sejumlah hal yang harus diwaspadai pascakekalahan grup militan tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini, sejumlah pihak mengklaim bahwa ISIS telah dikalahkan. Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan pada pekan lalu bahwa pihaknya akan segera menghapus kelompok teroris itu dari peta. Ia mengakui, masih terdapat wilayah kecil yang dikuasai militan, tapi "akan musnah...," demikian kata presiden nyentrik itu saat berpidato di Ohio pada Rabu, 20 Maret 2019.

Benar saja, tiga hari kemudian Pasukan Demokratik Suriah (SDF) sekutu AS mengumumkan kemenangan besarnya atas kelompok teror tersebut.

Mustafa Bali, bagian dari SDF, mengatakan bahwa kekhalifahan telah dihapus secara total, setelah sebelumnya sempat menguasai 88.000 kilometer persegi lahan yang membentang di Suriah dan Irak.

"Pasukan Demokrat Suriah mengumumkan penghapusan total apa yang disebut kekhalifahan dan 100 % kekalahan teritorial ISIS #SDFDefeatedISIS," tulis Mustafa dalam akun Twitter pribadinya yang telah dirujuk sebagai pemberitaan berbagai media.

Skeptisme terkait ISIS yang telah dikalahkan berkembang, sebagian tidak percaya bahwa AS dan sekutu menyukseskan misi penumpasan total. Sebagian yang lain beranggapan bahwa mungkin militan itu telah kalah di daratan Irak dan Suriah, tapi memenangkan peperangan jenis lain, terutama di ruang pertempuran digital.

Terlepas dari pro-kontra tersebut, tetap perlu untuk mengetahui apa konsekuensi dari hilangnya kekhalifahan ISIS di Irak dan Suriah.

Berikut adalah empat hal utama yang akan terjadi jika benar ISIS telah dibabat habis, sebagaimana dikutip dari Contemporary Voices: The St. Journal of International Relations, pada Rabu (27/3/2019).

 

Simak pula video pilihan berikut:

2 dari 5 halaman

1. Serangan Gerilya

Jika benar ISIS telah kalah, dengan kepemilikan 0 kilometer teritori wilayah, hal itu berarti militan ISIS harus angkat kaki dari tanah yang dianggap "kekhalifahan" selama ini. Sebagian dari mereka akan kembali ke negaranya, jika diterima.

Sebagian dari militan berpotensi untuk mempertahankan status sebagai pembelot aktual "militan sejati ISIS", sedangkan yang lain hanya akan kecewa, tapi masih merindukan membangun kekhalifahan Islam.

Mereka yang kecewa tapi ingin tetap menyerang, akan terus merekrut simpatisan dengan standar operasi baru: serangan gerilya.

Anne Speckhard, Ardian Shajkovci, dan Ahmet S. Yayla mengatakan dalam artikelnya yang berjudul "Following a Military Defeat of ISIS and Iraq: What Happens Next after the Military Victory and Return of Foreign Fighters?", bahwa banyak pembelot ISIS berencana "mencukur jenggot mereka" dan berbaur dengan masyarakat awam di Suriah dan di tempat lain, untuk tetap melancarkan serangan.

Sebagian dari mereka cenderung merindukan pengalaman medan pertempuran. Sehingga, aksi teror masih dapat dilakukan, baik dengan maupun tanpa imbalan--yakni sekadar mengeluarkan jurus pamungkas iming-iming "kesyahidan".

Hal itu bukan belum pernah terjadi. Mantan militan yang kemudian hidup di Turki --yang pernah melawan Rusia di Afghanistan--, awalnya hidup dengan damai. Namun, sepuluh tahun kemudian, mereka mulai melakukan kembali serangan terorisme, sebagaimana disampaikan mantan kepala Kontraterorisme untuk Kepolisian Nasional Turki.

3 dari 5 halaman

2. Psikologis Militan Lebih Berbahaya

Anda bisa membayangkan bagaimana jika mantan militan ISIS kembali ke negaranya dengan tangan kosong bukti kekalahan?

Mereka datang dengan masalah baru, dengan cap mantan teroris. Terlebih, permasalahan lama yang membuat mereka "berhijrah" ke khalifahan, masih sama, tidak ada perbedaan. Misalnya, mereka masih menghadapi pengangguran yang tinggi, diskriminasi, marjinalisasi, kesulitan menjalani gaya hidup yang sangat berbeda, hubungan keluarga yang berantakan, dan sebagainya. Hal itu membuat mereka frustrasi dan mengalami trauma.

Mereka yang telah lama tinggal di zona konflik telah menyaksikan kebrutalan, sehingga menderita gangguan stress pascatrauma (PTSD). Mereka merindukan gairah emosional yang dihasilkan dari pengalaman di medan perang, yang jauh berbeda dengan kehidupan damai dan tenang yang diinterpretasikan sebagai: kebosanan tanpa kejelasan tujuan.

Kondisi ini justru menjadikan mantan militan ISIS berpotensi semakin berbahaya, jika tidak diradikalisasi dengan baik.

4 dari 5 halaman

3. Propaganda Daring Berlanjut

Klaim AS dan sekutu atas kemenangan melawan ISIS hanya merujuk pada peperangan fisik. Padahal, mantan militan akan terus menggunakan media sosial untuk melancarkan propaganda.

Tentu banyak pihak telah mengetahui keistimewaan ISIS dibanding kelompok teror lain, yakni menarik dan merekrut pengikut secara terang-terangan di media. Hal itu jelas berbeda dengan organisasi teroris lainnya, yang beroperasi daring (online) dalam bayang-bayang.

Menurut Walker, propaganda online ISIS telah menyebar hampir di setiap ruang digital kita. Sebuah studi yang dilakukan oleh Brookings Institution mengungkapkan total 46.000 akun Twitter dibuat untuk mendukung ISIS, meskipun tidak semua aktif sekaligus, antara September dan Desember 2014.

Ketika kelompok itu kehilangan wilayahnya, sangat mungkin bahwa kelompok itu untuk terus memperkuat propaganda daringnya dalam rangka mengendalikan dan terus menjaga anggotanya, dengan gagasan "kekhalifahan" utopianya.

5 dari 5 halaman

4. Kontra-Narasi sebagai Kunci

Jika anggapan bahwa perang dengan ISIS telah berakhir sejak kelompok itu angkat kaki dari Irak dan Suriah, maka hal itu tidak sepenuhnya benar. Selama ISIS melancarkan propaganda dan merekrut simpatisan, selama itu pula ancaman terus muncul. Tindakan paling efektif untuk "mengalahkan" mereka adalah dengan kebijakan kontra-narasi.

Meski demikian, satu hal yang perlu diketahui, pemerintah selama ini hanya berkutat pada penghapusan propaganda online dan memasang kampanye pesan balik yang terbatas pada argumen rasional dan logis. Padahal, ISIS telah mengeksploitasi alam bawah sadar dengan menggunakan argumen visual dan emosional yang membangkitkan semangat "perlawanan".

Speckhard dkk, mengatakan bahwa jalan paling efektif dalam kontra-narasi adalah dengan menyuarakan kesaksian "orang dalam". Maksudnya, mantan pembelot yang telah berhasil diradikalisasi haruslah menjadi garda terdepan untuk menghentikan propaganda keliru, yakni dengan menceritakan kisah mereka saat di Irak dan Suriah; serta bagaimana akhirnya mendapatkan pencerahan.