Liputan6.com, Bamako - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengirim para pakar HAM ke pedalaman Mali untuk menyelidiki pembantaian massal pada akhir pekan lalu, yang menewaskan 157 penduduk setempat.
Dikutip dari NBC News pada Kamis (28/3/2019), tragedi tersebut dipandang oleh banyak pihak sebagai salah satu pertumpahan darah terburuk di Mali, yang dalam satu dekade terakhir mengalami kekerasan berlatar etnis.
Banyak di antara korban pembantaian adalah wanita dan anak-anak, yang terbakar di dalam rumah mereka oleh serangan pasukan bersenjata.
Advertisement
Baca Juga
Hal tersebut memicu meluasnya konflik yang kembali tersulut sejak 2018 lalu, ketika ratusan warga Mali tewas dalam beberapa kali bentrok.
Sejak itu, kekerasan akibat konflik terkait menyebar ke seluruh Sahel, yakni sebuah wilayah gersang yang terletak di antara gurun Sahara dan Sabana Afrika.
"Sebuah tim yang terdiri dari 10 orang pakar spesialis HAM, petugas perlindungan anak, dan dua penyelidik MINUSMA (badan pemantau stabilisasi Mali) telah dikerahkan ke wilayah Mopti, untuk melakukan penyelidikan khusus terhadap serangkaian peristiwa mengerikan pada hari Sabtu," kata Olivier Salgado, juru bicara perwakilan AS.
Sementara itu, ketua jaksa penuntut Pengadilan Kriminal Internasional(ICC), Fatou Bensouda, mengatakan pada pekan ini bahwa kejahatan kemanusiasn di Mali dapat berada di bawah yurisdiksi lembaganya.
Sebelumnya, sebuah misi Dewan Keamanan AS telah mengunjungi negara Afrika Barat itu, untuk mencari solusi terhadap kekerasan etnis ketika pembantaian terjadi.
Seorang pejabat lokal mengatakan bahwa tragedi pembantaian Sabtu lalu dilakukan oleh orang-orang bersenjata, yang berpakaian sebagai pemburu Dogon. Mereka menyerang desa-desa yang dihuni oleh para penggembala Fulani, dengan alasan bahwa target sasaran telah menyembunyikan beberapa anggotanya.
Fulani membantah tuduhan tersebut, namun Dogon tidak bergeming, dan tetap melancarkan serangan membabi buta.
Â
SImak video pilihan berikut:Â
Â
219 Orang Telah Terbunuh di Mali
Tragedi itu terjadi kurang dari sepekan setelah serangan kelompok ekstremis terhadap sebuah pos militer, yang menewaskan sedikitnya 23 tentara, juga di wilayah tengah Mali. Serangan itu diklaim oleh kelompok afiliasi Al Qaeda.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa, MINUSMA mengatakan sebuah desa Dogon juga diserang pada malam pembantaian Fulani, yang menewaskan sedikitnya empat orang.
Sementara itu, pada akhir Desember lalu, negara tetangga Burkina Faso menyaksikan serangan milisi etnis Mossi yang menewaskan puluhan orang dari etnis Fulani, sebagai aksi balas dendam terhadap pembunuhan seorang kepala desa setempat.
"Secara keseluruhan sejak awal tahun ini, sebanyak 219 orang telah terbunuh di Mali, akibat aksi main hakim sendiri yang berlatar kebencian etnis," jelas juru bicara HAM AS, Ravina Shamdasani, mengatakan pada hari Selasa.
Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita menanggapi serangan terhadap Fulani dengan membubarkan kelompok main hakim sendiri bernama Dan Na Amassagou, yang para anggota Dogon-nya diduga berada di belakang pembantaian itu.
Pihak Dogon membantah anggotanya terlibat dalam penyerangan brutal tersebut, dan menolak seruan pemerintah Mali untuk membubarkan diri.
Advertisement