Liputan6.com, Jakarta - Selesai sudah debat capres babak keempat untuk Pemilu 2019 yang berlangsung di Hotel Shangri-La Jakarta malam kemarin, Sabtu 30 Maret 2019.
Masyarakat Indonesia telah melihat bagaimana calon nomor urut 1, petahana, Presiden Joko Widodo dan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto beradu retorika soal isu ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional.
Tak hanya menjadi perhatian bangsa, debat capres semalam juga menuai sorotan dari sejumlah media internasional, dengan masing-masing menulis ulasannya tentang bagaimana para calon bersilat lidah.
Advertisement
"Debat ketiga antara Presiden Joko Widodo dan saingannya Prabowo Subianto menjelang pemilihan bulan depan tidak mengecewakan," nilai outlet surat kabar Singapura, the Strait Times dalam ulasannya berjudul 'Reform the trigger word in robust debate between Indonesian President Joko and challenger Prabowo', Minggu (31/3/2019).
Baca Juga
"Kedua orang mengambil sikap yang lebih agresif ketika mereka berdebat mengenai ideologi, diplomasi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan," lanjut the Strait Times.
"Debat itu, bagaimanapun, mengambil nada yang lebih berapi-api selama segmen pertahanan nasional."
Sementara itu, outlet media ekonomi raksasa Amerika Serikat, Bloomberg, mengangkat judul 'Jokowi, Prabowo Spar Over Defense Policy as Indonesia Vote Nears' --mereferensi segmen debat capres pada isu pertahanan yang dinilai cukup panas.
"Prabowo Subianto, yang menantang ulang Joko Widodo usai pemilihan 2014, mengatakan dia akan secara signifikan meningkatkan pengeluaran pertahanan untuk lebih mempersiapkan angkatan bersenjata negara terhadap ancaman eksternal. Widodo, yang dikenal sebagai Jokowi, berusaha mendukung kemampuan teknis pasukan, dengan mengatakan perang di masa depan akan diperjuangkan dengan kekuatan teknologi," ulas Bloomberg.
Â
Simak video pilihan berikut:
Ulasan Tajam dari Surat Kabar Australia
Sedangkan jurnalis surat kabar the Sydney Morning Herald Australia, James Massola, menulis ulasan yang lebih tajam dalam artikelnya yang berjudul 'Jokowi's optimism outshines Prabowo's darker impulses'.
"Pasangan itu memulai malam dengan nada persatuan, keduanya berdebat tentang pentingnya membela ideologi negara Indonesia, Pancasila - yang mengabadikan toleransi, pluralisme dan persatuan nasional - dan perlunya pemberian layanan pemerintah yang lebih baik dan transparan," tulis Massola.
"Tetapi ketika perdebatan bergeser dari ideologi politik dan pemerintahan ke pertahanan, keamanan dan hubungan internasional, perbedaan antara kedua orang itu terjadi ... Presiden Indonesia muncul sebagai lebih multilateralis dan internasionalis sementara penantangnya menawarkan visi yang lebih terisolasi untuk bangsa."
Kendati demikian, Massola menilai bahwa Prabowo "adalah pembicara yang lebih mengesankan dan lebih kuat ketimbang Jokowi yang bersahaja."
"Tetapi sama sekali tidak jelas bahwa kecenderungan populisnya (Prabowo, red) --berulang kali ia mengutarakan semboyan seperti kebutuhan akan proteksionisme ekonomi yang lebih besar dan kemandirian pangan, terutama swasembada beras-- adalah jalan untuk meningkatkan dukungan politiknya di antara para pemilih."
"Joko, pada bagiannya, merangkul semboyan ini sampai titik tertentu --tetapi ia juga lebih bersedia mengambil risiko."
Massola menulis bahwa di bawah serangan Prabowo, Presiden Jokowi menyoroti manfaat dari kesepakatan perdagangan bebas baru-baru ini yang telah ditandatangani oleh RI --termasuk kesepakatan perdagangan bebas IA-CEPA Indonesia dengan Australia.
"Ia (Jokowi, red) juga membela fakta bahwa perusahaan asing telah diizinkan untuk mengoperasikan bandara baru dan pelabuhan laut di negara tersebut."
"Ketika Joko diserang oleh mantan jenderal itu atas ukuran anggaran keamanan Indonesia - yang berkisar di angka Rp 107 triliun per tahun, atau 5 lima persen dari anggaran nasional dibandingkan dengan negara tetangga Singapura yang menghabiskan 30 persen dari anggarannya untuk pertahanan - Joko tidak berkedip," tulis Massola.
"Presiden mengatakan, 'Kita semua sepakat bahwa kita perlu meningkatkan anggaran pertahanan kita. Tetapi kita harus memiliki prioritas. Untuk sekarang ini adalah infrastruktur. Selanjutnya mungkin tenaga kerja. Mungkin ketiga adalah anggaran pertahanan'."
Advertisement