Liputan6.com, Paris - Seorang wanita transgender menjadi bulan-bulanan saat demonstrasi di Paris melawan presiden Aljazair yang sakit. Hal itu diketahui setelah dirinya berbicara dalam sebuah video yang dengan cepat beredar luas.
Julia menggambarkan menjadi sasaran tiga pria di Place de la République.
"Kamu laki-laki, kamu tidak ke mana-mana, kamu tidak bisa lewat," katanya ketika dia didorong dan ditinju saat mencoba melewati kerumunan seperti dalam laporan yang dikutip dari BBC, Kamis (4/4/2019).
Advertisement
Wanita transgender berusia 31 tahun tengah berjalan menaiki tangga di stasiun metro di Place de la République pada hari Minggu. Saat sebuah demonstrasi besar sedang berlangsung di lapangan melawan Abdelaziz Bouteflika, Presiden Aljazair berusia 82 tahun yang telah mengumumkan pengunduran dirinya.
Mengenakan blus bergaris hitam-putih, Julia diblokir oleh pengunjuk rasa yang mengejeknya dalam bahasa Arab.
Seorang lelaki mengacak-acak rambutnya, sementara seorang gadis yang terbungkus bendera Aljazair datang untuk menolong Julia. Setelah gadis itu pergi, seorang pria berulang kali meninjunya sementara yang lain terlihat menendangnya.
Polisi transportasi kemudian turun tangan dan membawa korban ke tempat yang aman. Namun, kelompok Prancis Stop Homophobie mengatakan kepada petugas dan memanggil Julia "Monsieur" seraya berseru "untuk tidak berpakaian seperti itu".
Kini jaksa telah membuka penyelidikan atas serangan itu.
Muncul di TV dan radio Prancis, Julia mengatakan dia belum pernah mengalami hal seperti itu.
"Kekerasan terhadap komunitas (transgender) ini terjadi setiap hari. Tetapi beberapa orang tidak akan memiliki kekuatan seperti saya dan mereka akan dihancurkan oleh serangan-serangan ini," katanya.
Agression transphobe.Nous sommes bien en plein @Paris, à République. 🌈Une honte pour notre pays. 🇫🇷Une honte pour le drapeau auquel vous pensiez faire honneur. 🇩🇿 #Transphobies @stop_homophobie @FVauglin@ACORDEBARD@Prefet75_IDF pic.twitter.com/GbD6bBG5dt
— Lyes Alouane🇫🇷🇪🇺 (@Lyes_Alouane) April 2, 2019
Video serangan itu telah menyebar di Prancis. Julia kemudian memutuskan untuk memberikan keterangan tentang apa yang telah terjadi.
"Saya ingin turun dan naik metro. Tiga orang menghalangi jalan saya, dan seorang berkata: 'Oh, tetapi sebenarnya Anda seorang pria - kami tidak akan membiarkan Anda lewat,'" katanya kepada radio France Inter.
Julia berkata bahwa sejumlah orang juga melemparkan bir padanya.
"Saya tidak mengharapkan orang-orang ini dihukum, tetapi ingin ada perubahan termasuk cara berpikir seseorang agar berkembang," katanya kepada BFMTV.
Julia kemudian menjelaskan bahwa serangan itu tidak ada hubungannya dengan komunitas Aljazair, tetapi dilakukan oleh orang-orang yang tidak peduli, terlepas dari asal atau agama mereka.
Jaksa Paris telah membuka kasus kekerasan karena orientasi seksual dan identitas gender. Para pemimpin politik, termasuk Wali Kota Paris Anne Hidalgo dan Menteri Kesetaraan Marlene Schiappa, mengecam serangan terhadap kaum transgender itu.
Saksikan juga video berikut ini:
LGBT di Tanzania Diburu Pasukan Khusus
Berbicara soal transgender, kabar cukup mengerikan terhadap kaum tersebut terjadi di Tanzanina. Komunitas LGBT di negeri tersebut konon bersembunyi dan takut akan keselamatan mereka, setelah seorang pejabat senior menyerukan kepada publik untuk melaporkan orang-orang yang dicurigai sebagai bagian dari kelompok itu, sehingga, aparat dapat mulai melakukan penangkapan pada awal pekan depan.
Paul Makonda, komisaris regional (gubernur) Ibu Kota Dar es Salaam, mengumumkan tindakan keras itu pada Senin 29 Oktober 2018, dengan mengatakan bahwa "sebuah tim akan dibentuk untuk mengidentifikasi dan menangkap banyak homoseksual," demikian seperti dikutip dari media Irlandia RTE.ie, Sabtu 3 November 2018.
Paul Makonda mengatakan pada konferensi pers pada hari Selasa 30 Oktober bahwa dia telah menerima lebih dari 5.700 laporan dari publik yang menyebut lebih dari 100 nama yang diduga gay.
Makonda juga membentuk 'Komite 17', tim yang akan ditugaskan untuk mengidentifikasi orang gay di situs media sosial --seperti Facebook dan Twitter-- untuk kemudian menangkap mereka.
Di Tanzania, homoseksual bisa menghadapi ancaman maksimal 30 tahun penjara.
Pengumuman Makonda telah memicu kepanikan dan ketakutan di antara ribuan orang LGBT di negara Afrika timur itu. Beberapa mengatakan bahwa mereka terlalu takut untuk pergi keluar pada siang hari, sementara yang lain memilih nomaden karena khawatir akan ditangkap.
"Sejak hari Senin, saya telah meninggalkan rumah saya dan berpindah ke sana kemari. Saya selalu melihat ke belakang jika sedang berjalan," kata Nathan (24) kepada media melalui telepon dari Dar es Salaam.
"Ada begitu banyak ketegangan dalam komunitas gay saat ini. Tidak hanya di Dar, tetapi di seluruh negeri. Kami benar-benar takut. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan dan ke mana harus pergi."
Meskipun tindakan keras itu akan dimulai pada hari Senin 5 November 2018, Nathan mengklaim bahwa rumah-rumah sudah digerebek di kota pelabuhan dan orang-orang gay ditangkap.
Kelompok kampanye Equality Now mengatakan bahwa mereka terkejut dan khawatir dengan tindakan keras itu --yang juga menargetkan pekerja seks. Ia meminta pemerintah federal untuk mengutuk pernyataan Makonda dan memberlakukan hukum dan kebijakan untuk melindungi hak semua orang.
"Orang-orang LGBT dan prostitusi sudah sering dikucilkan dan menghadapi berbagai kekerasan dan ketidaksetaraan," kata Tsitsi Matekaire dari Equality Now.
"Penangkapan terhadap mereka melanggengkan ketidaksetaraan itu, mengakibatkan marjinalisasi lebih lanjut dan kerusakan pada kesejahteraan mereka."
Advertisement