Liputan6.com, Istanbul - Saling klaim kemenangan atas pemilu lokal di Turki pada 31 Maret 2019 lalu masih terus terjadi bahkan ketika pemungutan suara telah selesai -menandai sebuah gejolak baru antara partai berkuasa yang dipimpin Presiden Recep Erdogan dengan kubu penantang.
Kisruh saling klaim kemenangan pemilu terasa paling santer dan menjadi sorotan di Istanbul, kota terbesar Turki.
Ekrem Imamoglu dari partai oposisi CHP mengatakan dia adalah walikota baru kota tersebut. Klaimnya mendasar pada hasil awal dewan pemilihan yang menunjukkan kemenangannya dalam pemilihan lokal dengan sekitar 25.000 suara.
Advertisement
Baca Juga
Namun di sudut lain kota Istanbul, Partai AK yang berkuasa telah memasang poster kemenangan, dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan dan kandidat Binali Yildirim berpidato menyampaikan terima kasih kepada Istanbul atas kemenangannya.
Pemerintah telah menantang hasil pemilu di Istanbul, dan memerintahkan penghitungan ulang.
Meskipun memenangkan suara terbanyak secara nasional, Partai AK disebut kehilangan suara di Istanbul, Ankara, dan Izmir.
Di masa lalu, partai-partai oposisi Turki gagal memunculkan tantangan yang berarti untuk hasil pemilu. Sedangkan dalam pemilu tahun ini, secara nasional, aliansi yang dipimpin AKP memenangkan 51,6 persen suara.
Tetapi, kekalahan AKP di Istanbul --dan kota besar lain-- menuai torehan bersejarah tersendiri. Apalagi mengingat Istanbul telah berada di tangan partai-partai yang terkait dengan Erdogan sejak 1994, ketika ia terpilih sebagai wali kota di sana.
Erdogan Tampak Tidak Siap Kalah di Istanbul
Presiden Erdogan, tampaknya, tidak siap untuk mengakui kekalahan partainya di Istanbul.
Merespons sikap sang presiden, Ekrem Imamoglu mengatakan, "Itu bukan perilaku sopan," katanya kepada BBC, dilansir Kamis (4/4/2019).
"Kami mendapat hasil dari dewan pemilihan dan kami tahu siapa yang memimpin," lanjutnya.
Partai AK mengklaim, suara yang tidak valid di seluruh TPS telah merusak kemenangannya, menyebutnya "noda terbesar dalam sejarah demokrasi Turki".
Imamoglu tidak sependapat.
"Hingga kemarin, pemerintah dan partai yang berkuasa mengklaim bahwa Turki memiliki sistem pemungutan suara paling kredibel dan mereka memberinya pujian tertinggi. Satu juta orang bertugas di tempat pemungutan suara malam itu."
"Jika ada kegiatan mencurigakan, mereka akan merekamnya dan membuat laporan tertulis - itulah prosedur resmi di sini."
"Sekarang satu-satunya penjelasan yang saya miliki adalah bahwa mereka membuat alasan atas kegagalan mereka."
Tantangan oleh pemerintah telah menyebabkan tuduhan hipokrit. Mereka membantah oposisi hak untuk menantang hasil pemilihan lokal yang disengketakan di Ankara pada tahun 2014.
Dan dalam referendum 2017 tentang perubahan sistem politik Turki untuk mendukung Presiden Erdogan, dewan pemilu yang dikelola pemerintah memutuskan selama penghitungan bahwa surat suara tak terbendung akan diterima. Partai-partai oposisi lagi-lagi berteriak curang - tetapi dengan cepat dibungkam oleh pemerintah.
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Erdogan Goyah, Imamoglu Naik Daun?
Hilangnya dukungan suara dari Ankara, Istanbul, dan beberapa kota lain akan menjadi pukulan serius bagi Erdogan dan bisa menjadi titik balik setelah 16 tahun kekuasaannya --yang ditandai dengan reses ekonomi, devaluasi mata uang dan inflasi 20 persen.
"Semuanya berakhir," nilai Ekrem Imamoglu.
"Para pihak, pemerintah, kehidupan itu sendiri. Erdogan telah menyelesaikan belasan tahun kekuasaannya. Ada masalah dan hal-hal yang tidak kita sukai - tetapi ini adalah keberhasilan politik. Tentu saja suatu hari nanti akan berakhir."
Keberhasilan nyata CHP di Istanbul dan Ankara telah meremajakan oposisi yang sejak lama layu. Dan itu turut berkontribusi pada rusaknya citra Erdogan sebagai politisi yang tak terkalahkan.
Ditanya oleh BBC apakah Imamoglu akan menjadi pengganti Erdogan nantinya, ia hanya menjawab, "Hanya Tuhan yang tahu," sambil terkekeh.
Advertisement