Liputan6.com, L'Aquila - Gempa mengguncang kota L'Aquila tengah pada 6 April 2009 pukul 03.32 waktu setempat. Lindu dengan magnitudonya 6,3 itu adalah salah satu yang terburuk yang pernah melanda Italia.
Datangnya gempa disertai suara gemuruh. Tanah berguncang hebat. Di tengah kegelapan, dengan napas tercekik debu, para korban susah payah melepaskan diri dari jebakan puing-puing dan lindu susulan.
Advertisement
Baca Juga
Graziella Fantasia sedang terlelap kala itu. Guncangan keras membangunkannya dari tidur.
"Sungguh mengerikan, kami tak tahu apa yang harus dilakukan. (Guncangan) terjadi sekitar 20 detik," kata dia seperti dikutip dari The Guardian, Jumat 5 April 2019.
Flat milik guru bahasa Inggris itu berada di lantai tiga. Tak mudah untuk menuruni tangga, suasana gelap gulita kala itu.
"Semua berantakan, namun setidaknya kami masih selamat," tambah dia.
Sementara itu, Lucia di Cocco baru saja melahirkan pada pukul 19.30 malam sebelumnya. Ia melarikan diri dari rumah sakit, dalam kondisi jahitan masih baru, tanpa alas kaki, dan membawa tabung infus yang masih terhubung ke pembuluh darahnya.
Sang ibu menggendong bayinya yang masih merah. "Semua orang menghambur dari rumah sakit, termasuk para dokter," tambah dia.
Dalam beberapa hari kemudian dipastikan, 307 orang tewas, 1.500 luka-luka, dan 80 ribu manusia yang selamat mendadak jadi tunawisma.
Tak lama setelah gempa, sejumlah outlet berita termasuk Majalah Time, Reuters, dan The New York Times melaporkan bahwa pihak berwenang Italia menghapus peringatan ancaman gempa besar di internet. Konon, alasannya karena bisa membikin panik.
Prediksi itu dikeluarkan teknisi Gran Sasso National Laboratory, Giampaolo Giuliani.
Seperti dikutip dari www.scientificamerican.com, Giampaolo Giuliani memprediksi gempa besar akan terjadi berdasarkan pengukuran emisi radon.
Selama beberapa hari sebelum gempa, Giuliani cemas menyaksikan empat stasiun radometer miliknya yang menunjukkan tingkat emisi gas radon yang sangat tinggi dan naik dari permukaan tanah.
Pada hari Minggu 5 April, ia yakin bahwa dalam waktu 24 jam akan ada gempa yang terjadi. Namun, seperti dikutip dari The Guardian, ia tak punya daya untuk memperingatkan orang-orang.
Belakangan, tujuh ilmuwan dan pakar diperkarakan di pengadilan. Para anggota dewan nasional yang bertugas mengkaji risiko bencana itu, dianggap mengecilkan risiko bencana dan tak memberikan peringatan memadai sebelum lindu dahsyat menghantam Kota L'aquila.
"(Para terdakwa) memberikan informasi tidak lengkap, tidak tepat dan saling bertentangan kepada warga," demikian menurut jaksa seperti dikutip dari VOA.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama pada 2002, hakim memutus mereka bersalah dan menjatuhkan vonis masing-masing enam tahun bui. Pada 2016 mahkamah agung Italia akhirnya membebaskan mereka dari tuduhan 'pembunuhan'.
Pemidanaan para ilmuwan dan pakar tersebut memicu geger di kalangan masyarakat ilmiah di seluruh dunia.
Apalagi, hingga saat ini, belum ada bukti sahih bahwa gempa bisa diramalkan datangnya. Termasuk soal klaim emisi radon. Belum terbukti secara ilmiah.
"Saya skeptis dengan klaim tersebut," kata Shawn Larsen, ahli geofisika Lawrence Livermore National Laboratory di California. "Radon diklaim sebagai prekursor gempa bumi selama beberapa waktu, sejak akhir 1970-an. Namun, belum ada bukti konkret bahwa itu memang merupakan prediktor gempa."
Tingkah Aneh Kodok
Tak hanya prediksi Giampaolo Giuliani, konon ada tingkah aneh para kodok jadi pertanda gempa.
Populasi katak dikabarkan meninggalkan koloni pembiakan mereka tiga hari sebelum gempa melanda L'Aquila. Padahal, menurut sejumlah ahli biologi dalam Journal of Zoology, penangkaran tersebut berada 74 km dari pusat gempa.
Bagaimana kodok merasakan gempa belum jelas. Namun, sebagian besar pasangan dan pejantan melarikan diri.
Sebelumnya, sejumlah penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana peliharaan merespons aktivitas seismik. Namun, mengukur respons hewan liar lebih sulit.
Bahkan, hewan-hewan yang dianggap bisa merasakan peningkatan aktivitas seismik, seperti ikan, tikus dan ular, cenderung melakukannya sesaat sebelum gempa terjadi, bukan beberapa hari sebelum kejadian.
Ahli biologi, Dr Rachel Grant dari Open University, di Milton Keynes, Inggris secara rutin mempelajari perilaku berbagai koloni kodok di Italia, berdekatan dengan momentum gempa besar melanda.
Kala itu, Grant sedang mempelajari kodok di Danau San Ruffino di Italia tengah, ketika ia mencatat berperilaku aneh hewan-hewan amfibi itu.
Lima hari sebelum gempa, jumlah kodok jantan di koloni pembiakan merosot 96 persen. Menurut dia, seperti dikutip dari BBC News, itu hal yang tak biasa.
Biasanya, mereka tetap aktif di tempat berkembang biak sampai pemijahan selesai.
Dan, pemijahan baru saja dimulai di situs Danau San Ruffino sebelum gempa melanda. Juga, tidak ada peristiwa cuaca yang bisa dikaitkan dengan menghilangnya koloni katak.
Tiga hari sebelum gempa, jumlah pasangan yang sedang berkembang biak juga tiba-tiba turun ke angka nol.
"Studi kami adalah salah satu yang kali pertama mendokumentasikan perilaku hewan sebelum, selama dan setelah gempa bumi," kata Dr Grant.
Namun, ia mengaku tak tahu bagaimana tepatnya para katak merasakan aktivitas seismik yang akan datang.
"Temuan kami menunjukkan bahwa katak mampu mendeteksi isyarat pra-seismik seperti pelepasan gas dan partikel bermuatan, lalu menggunakannya sebagai bentuk sistem peringatan dini gempa," kata dia.
Advertisement