Sukses

Wali Kota Muda Gay Ini Digadang-gadang Jadi Presiden AS 2020?

Wali kota muda dan gay ini disebut-sebut akan menjadi Presiden Amerika Serikat 2020 nanti.

Liputan6.com, Washington DC - Pete Buttigieg, wali kota muda yang namanya belum begitu dikenal dari South Bend, Indiana, kini menjadi "bintang" baru dalam partai yang menaunginya: Demokrat.

Politikus 37 tahun ini disebut-sebut akan maju dalam Pilpres Amerika Serikat 2020 dan menjadi satu-satunya kandidat termuda, juga gay pertama dalam sejarah Negeri Paman Sam.

Sebulan yang lalu, Buttigieg tampil di sebuah acara televisi dan mendapat sambutan baik dari para pemirsa di AS, menurut pengamat politik dan publik. Bagi ahli, masyarakat saat ini ingin "mencari wajah baru".

Anggota veteran tim kampanye Obama, David Axelrod, menyebut bahwa Buttigieg adalah sosok yang cerdas, bijaksana, dan menyenangkan.

Sedangkan bagi Andrew Sullivan dari New York Magazine, Buttigieg mungkin adalah saingan terberat Donald Trump di Demokrat.

"Dalam hal gaya, generasi, perilaku, dan latar belakang, Buttigieg adalah orang yang nyaris sempurna untuk menyaingi kekuasaan, usia, temperamen, dan hak istimewa Trump," tulisnya.

Bahkan, beberapa politikus sayap kanan telah mencatat potensi menonjol dalam diri Buttigieg, kata Seth Mandel dari Washington Examiner.

Ia mengatakan, "Buttigieg orangnya tenang, waras, dan punya humor bagus saat tampil di layar kaca, dan kita harus bisa menghargai itu terlepas dari politik."

Jajak pendapat preferensi Demokrat yang dilakukan baru-baru ini, pun menunjukkan angka yang tinggi untuk Buttigieg, termasuk menempatkannya pada urutan ketiga dalam survei pemilih Demokrat di Iowa.

Memoar pribadinya, "Shortest Way Home", telah muncul dua kali dalam daftar buku terlaris non-fiksi versi New York Times. Ini dicap sebagai sebuah prestasi yang belum pernah dicapai dari buku-buku kampanye para pesaingnya untuk Pilpres Amerika Serikat 2020.

2 dari 3 halaman

Kandidat yang Tidak Kuno

Buttigieg baru-baru ini mengumumkan ia telah mengumpulkan lebih dari US$ 7 juta dalam tiga bulan pertama tahun 2019 untuk kampanye.

Pendukung Buttigieg juga membeludak karena penampilannya pada Jumat malam, 5 April 2019, di Manchester, New Hampshire. Oleh karena itu, lokasi orasi harus dipindahkan dari brewpub lokal ke museum seni kota untuk mengakomodasi jumlah pemilih yang datang.

Bahkan, tempat tersebut telah mencapai kapasitas dalam waktu setengah jam sebelum Buttigieg dijadwalkan berbicara di podium, berdasarkan artikel yang dimuat di BBC, Rabu (10/4/2019).

Pria yang memiliki pasangan sesama jenis itu kini menjadi kandidat "panas" Demokrat. Pada hari Minggu pekan ini, di South Bend, ia akan secara resmi mengumumkan peluncuran kampanye kepresidenannya di hadapan orang banyak yang antusias dan memujanya.

Buttigieg pertama kali terpilih memegang jabatan top di South Bend pada November 2011. South Bend adalah sebuah kota pascaindustri di Indiana yang terkenal sebagai rumah bagi Notre Dame University.

Dia memenangkan pemilihan ulang pada 2015 dan mengetuai Democratic National Committee pada 2017.

Dengan pengalaman politik yang relatif minim, "Wali Kota Pete" --sebagaimana para pendukungnya memanggilnya-- sangat bergantung pada latar belakang yang dimilikinya agar bisa mencalonkan diri sebagai presiden.

Ia sendiri dibesarkan di South Bend, putra dari seorang profesor di Notre Dame University. Ayahnya, yang meninggal pada Januari lalu, beremigrasi dari Malta pada 1970-an.

Buttigieg punya riwayat pendidikan di sekolah-sekolah elite, lulusan Harvard dan Oxford dengan gelar Rhodes Scholar, di mana ia mendapatkan predikat cumlaude.

Setelah habis masa studi, ia bekerja di perusahaan konsultan manajemen internasional McKinsey and Co di Chicago dengan gaji enam digit, sebelum akhirnya kembali ke kota asalnya untuk menggeluti dunia politik.

Pada 2009 ia menerima komisi sebagai perwira intelijen di US Naval Reserve dan lima tahun kemudian--dua tahun setelah terpilih sebagai Wali Kota South Bend--Buttigieg dikerahkan ke Afghanistan selama tujuh bulan.

Uniknya, ia juga menguasai bahasa ala orang-orang Midwestern. Biodata diri tentang Buttigieg sudah cukup untuk membuat kolumnis New York Times, Frank Bruni, sempat berpendapat pada Juni 2016 bahwa wali kota muda ini tampaknya sengaja disimpan terlebih dahulu oleh Demokrat untuk nantinya "dikeluarkan" pada momen yang tepat.

"Dia selalu bisa mengatakan hal yang benar, dengan nada yang tepat," tulis Bruni.

3 dari 3 halaman

Pencalonan Bersejarah

Lalu, ada satu faktor yang membedakan Buttigieg dari politikus Demokrat lainnya--dan dari kandidat presiden dalam sejarah AS. Pada 2015, tak lama di tengah kampanye pemilihan ulang wali kota, Buttigieg mengumumkan di sebuah kolom surat kabar lokal bahwa ia gay.

"Menempatkan sesuatu yang pribadi seperti ini, di halaman koran, tidaklah mudah," tulisnya di South Bend Tribune. "Tapi jelas bagiku bahwa sekarang, bersikap lebih terbuka bisa bermanfaat."

"Menjadi gay tidak mempengaruhi kinerja saya dalam berbisnis, di militer, atau dalam peran saya sebagai wali kota," lanjutnya.

Dalam kampanyenya, Buttigieg tidak berkoar-koar tentang seksualitasnya dan jarang berbicara soal sifat dasar pencalonannya, meski pendukungnya kemungkinan sudah tahu jati diri "idola" mereka.

"Saya tetap mengaguminya meski dia gay dan mengakuinya secara terbuka," kata Celia Botto dari Manchester, yang datang ke acara Buttigieg bersama suaminya, Brandon. "Yang aku yakini adalah butuh waktu lama bagi seorang pria gay terbuka untuk mencalonkan diri sebagai presiden."

Kebijakan Aneh

Buttigieg mempunyai reputasi sebagai seorang intelektual. Ia dikabarkan mampu berbicara dalam tujuh bahasa dan menyukai Ulysses karangan James Joyce sebagai buku favoritnya. Sebagai seorang calon presiden, ia berencana untuk mencampurkan atau mereformasi pemerintah federal dengan legislatif.

Ia ingin meniadakan seleksi di perguruan tinggi, mengusulkan untuk memperbanyak jumlah hakim di Mahkamah Agung AS, dan memberikan status kenegaraan kepada Washington, D.C. dan Puerto Rico--sebuah langkah yang dipastikan akan memperkuat perwakilan Demokrat di Senat AS.

Dia menganjurkan layanan kesehatan universal, tetapi yang sejalan dengan kebijakan Demokrat yang lebih moderat alih-alih membatalkan sistem asuransi kesehatan swasta saat ini.

Di samping itu, gagasan sekolah gratis di tingkat universitas negeri akan menggunakan uang pajak dari kelas pekerja (working class) secara regresif.

Namun, pidato Buttigieg lebih menitikberatkan pada visi ketimbang rincian kebijakan yang bakal ia canangkan.

"Kami, sebagai Demokrat, adalah orang-orang penentu kebijakan. Terkadang lupa membahas nilai-nilai yang memotivasi kebijakan kami," kata Buttigieg di Manchester.

Dia menambahkan, kaum konservatif berbicara tentang nilai kebebasan dalam konteks negatif, antara lain kebebasan dari peraturan pemerintah, perpajakan dan kontrol.

Demokrat, ucapnya, harus mengadvokasi "berbagai macam kebebasan", seperti kebebasan untuk memiliki asuransi kesehatan yang berkualitas, atau perwakilan serikat pekerja, atau pilihan reproduksi (hak aborsi), yang semuanya dijamin oleh pemerintah.

Ini mengingatkan rakyat AS akan empat kebebasan Franklin Roosevelt: kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan dari keinginan dan kebebasan dari ketakutan.