Sukses

Jet Tempur F-35 Jepang Jatuh di Samudera Pasifik, Pilot Masih Hilang

Puing-puing dari jet tempur siluman F-35 Jepang telah ditemukan pada 10 april 2019, sehari setelah menghilang dari radar di atas Samudera Pasifik. Pilot masih hilang.

Liputan6.com, Tokyo - Puing-puing dari jet tempur siluman F-35 Jepang telah ditemukan pada 10 april 2019, sehari setelah menghilang dari radar di atas Samudera Pasifik.

Namun pilot pesawat itu masih hilang, kata pejabat militer Jepang, seperti dikutip dari BBC, Rabu (10/4/2019).

Beberapa bagian dari pesawat telah ditemukan selama operasi pencarian di laut.

Tidak diketahui mengapa pesawat itu, yang berusia kurang dari satu tahun, kehilangan kontak dan jatuh.

Jet tempur hilang pada pukul 19.27 waktu setempat (10:27 GMT) pada Selasa 9 April 2019, ketika pesawat itu terbang 135 km (84 mil) timur Misawa, sebuah kota di timur laut Jepang.

Jet hilang kontak sekitar 30 menit setelah lepas landas dari Pangkalan Udara Misawa.

Tidak ada masalah dengan pesawat sebelumnya, menurut badan penyiar publik Jepang NHK.

Tim penyelamat melanjutkan pencarian mereka untuk pilot pria yang berusia 40-an, menurut situs berita Kyodo.

Jepang telah mengerahkan F-35, yang harganya setidaknya US$ 90 juta, untuk menggantikan jet tempur F-4 yang sudah tua.

Negara itu sekarang telah mendaratkan 12 jet tempur F-35 yang tersisa di pangkalan Misawa untuk sementara waktu, kata Menteri Pertahanan Jepang, Takeshi Iwaya.

Ini adalah kedua kalinya F-35 jatuh sejak jet mulai terbang, menurut Reuters.

2 dari 3 halaman

Kecelakaan F-35 Sebelumnya

Australia sempat mengandangkan seluruh armada jet tempur siluman F-35 mereka menyusul insiden jatuh dan hancurnya salah satu pesawat tempur andalan Amerika Serikat tersebut pada 28 September lalu.

Pilot penerbang di pesawat itu selamat setelah berhasil melontarkan diri, tetapi pesawatnya hancur berkeping-keping di tanah rawa dekat Beaufort.

Sejak peristiwa ini, Israel dan Inggris juga telah menghentikan operasi penerbangan F-35 mereka.

Dalam sebuah pernyataan, Angkatan Pertahanan Australia menegaskan bahwa seluruh armada F-35 telah diinstruksikan untuk "menjalani inspeksi keselamatan di semua mesin yang dikirimkan".

"Pesawat F-35 Australia yang saat ini berbasis di AS akan kembali beroperasi untuk diterbangkan begitu inspeksi keselamatan selesai," kata ADF, seperti dikutip dari ABC Indonesia, Senin 15 Oktober 2018.

Secara terpisah, sejumlah sumber senior di Departemen Pertahanan mengatakan kepada ABC bahwa mereka memperkirakan larangan terbang ini hanya bertahan satu atau dua hari dan seluruh armada F-35 milik Australia yang berjumlah sembilan pesawat akan segera kembali mengudara.

Angkatan Udara Australia (RAAF) telah menerima pengiriman sembilan pesawat tempur F-35 dari produsen Lockheed Martin di Amerika Serikat, dan seluruh armada jet tempur itu diparkir di pangkalan pelatihan F-35 di Arizona, Amerika.

Australia adalah mitra global terbaru dalam program Joint Strike Fighter yang memerintahkan armada pesawat mereka tidak diterbangkan untuk sementara waktu sebagai tindakan pencegahan.

Korps Marinir AS memimpin tindakan serupa dengan lebih dahulu melarang terbang semua armada F-35 mereka setelah salah satu pesawatnya mengalami kegagalan mesin dan jatuh di South Carolina pada 28 September lalu.

3 dari 3 halaman

Kerap Kecelakaan, F-35 Produk Gagal?

Ada cukup banyak alasan untuk tak mencantumkan Lockheed Martin F-35 Joint Strike Fighter dalam daftar pesawat gagal. Namun, fakta bahwa pesawat itu terlambat 'lahir' bertahun-tahun, biaya yang melebihi anggaran awal, dan tidak memenuhi ekspektasi asli para perancangnya, membuat F-35 masuk dalam pembahsan pesawat buruk produksi AS.

F-35 adalah kasus ambisi besar untuk mengembangkan satu tipe pesawat multifungsi yang dapat diadaptasi untuk menggantikan setengah lusin jet khusus. Hasilnya adalah alutsista 'palu gada' yang mahal, tetapi tidak dapat menguasai apa pun.

Selain itu, konsep pembuatan F-35 ditetapkan pada saat ancaman geo-politik di masa depan belum tergambar secara jelas.

Menurut rancangan awal, pesawat itu ditetapkan untuk mampu bertarung dalam lingkungan yang kurang intens dari apa yang mungkin diharapkan jika Uni Soviet tidak runtuh. Tetapi, spesifikasi F-35 saat ini dipandang 'berlebihan' dari yang diperlukan untuk konflik seperti di Suriah atau Irak.

Mereka yang menetapkan rancangan juga tidak mengantisipasi kemunculan kembali Tiongkok atau ancaman alutsista sistem pertahanan dan pencegat aviasi yang sekarang mulai dihadapi secara luas oleh berbagi negara.