Liputan6.com, Tripoli - Pertempuran antara pasukan Haftar dengan tentara pemerintah Libya untuk merebut ibu kota Tripoli terus berkecamuk hingga Rabu, 10 April 2019.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB masih bersiap membahas krisis itu, melansir VOA Indonesia pada Kamis (11/4/2019).
Baca Juga
Pasukan pimpinan Jenderal Khalifa Haftar bentrok dengan pasukan PBB dan pasukan pemerintah di pinggiran kota Tripoli, sehingga ribuan orang terpaksa mengungsi.
Advertisement
Pasukan Nasional Libya pimpinan Jenderal Haftar merebut kawasan yang kaya minyak tapi sedikit penduduknya di selatan kota itu permulaan tahun ini, dan memulai serangan untuk merebut Tripoli sepekan lalu.
Libya terpecah sejak penggulingan Moammar Khadafi tahun 2011 oleh kelompok pemberontak yang didukung dunia barat. Negara itu kemudian terpecah menjadi Libya bagian timur dan Libya barat.
Inggris dan Jerman, dua anggota DK menyerukan diadakannya sidang hari Rabu untuk membahas krisis itu, satu hari setelah PBB mengatakan konferensi nasional untuk mempertemukan kedua pihak yang berseteru hari Minggu ditunda karena keadaan tidak memungkinkan.
Sekjen PBB Desak Pertempuran di Libya Dihentikan
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada hari Senin mengutuk keras peningkatan militer di dekat Tripoli dan menyerukan penghentian segera pertempuran di Libya.
Seruan tersebut menyusul serangan udara oleh pasukan Jenderal Khalifa Haftar di bandara Mitiga di timur ibukota.
Guterres "mendesak penghentian segera semua operasi militer untuk mengurangi situasi dan mencegah konflik habis-habisan," kata sebuah pernyataan PBB, dikutip dari Eyewitness News, Selasa 9 April 2019.
Dia "sangat mengutuk eskalasi militer dan pertempuran yang sedang berlangsung di dalam dan sekitar Tripoli, termasuk serangan udara hari ini oleh pesawat Angkatan Darat Nasional Libya (LNA) terhadap bandara Mitiga."
erangan udara menutup satu-satunya bandara Tripoli yang berfungsi saat pertempuran berkobar di sekitar ibukota dan ribuan orang melarikan diri.
LNA yang dipimpin Haftar mengklaim serangan udara Senin terhadap bandara, dengan seorang juru bicara mengatakan serangan itu menargetkan pesawat militer MiG-23 dan sebuah helikopter.
Haftar melancarkan serangan ke Tripoli minggu lalu tepat ketika Guterres berada di Libya untuk mendorong kesepakatan politik dalam menyelenggarakan pemilihan umum.
Pemerintah persatuan yang didukung PBB mengendalikan ibukota, tetapi otoritasnya tidak diakui oleh pemerintahan paralel di timur negara itu.
Ketika pertempuran meningkat selama akhir pekan, PBB menyerukan jeda kemanusiaan untuk memungkinkan warga sipil yang terjebak dalam kekerasan untuk melarikan diri, tetapi permohonan itu tidak didengar.
Libya telah diguncang oleh perebutan kekuasaan dengan kekerasan antara sejumlah kelompok bersenjata sejak penggulingan diktator Muammar Gaddafi pada tahun 2011.
Advertisement
Siapakah Haftar?
Jenderal Haftar adalah seorang mantan perwira militer. Ia membantu Kolonel Khadafi merebut kekuasaan pada tahun 1969 sebelum jatuh bersamanya dan pergi ke pengasingan di AS.
Dia kembali pada tahun 2011 setelah pemberontakan melawan Khadafi dimulai menjadi komandan pemberontak.
Pada 2014, Haftar sempat meluncurkan "Operation Dignity" untuk membersihan negara dari "teroris" milisi.
Tiga tahun kemudian Haftar mengatakan pasukannya telah merebut Benghazi setelah pertempuran yang sengit.
Pada Januari 2018, ia meluncurkan serangan ke Fezzan yang kaya minyak di barat daya Libya. LNA membuat kesepakatan dengan suku-suku lokal dan menyerbu wilayah itu tanpa perlawanan besar.
"Tujuan utama Haftar ketika ia pergi ke Fezzan adalah untuk mengambil Tripoli", kata Jalel Harchaoui, seorang peneliti di Clingendael Institute yang berbasis di Belanda.
"Anda tidak dapat memerintah Libya kecuali Anda mengendalikan Tripoli. Karena semua uang, misi diplomatik, dan sebagian besar penduduk ada di sana - semuanya terkonsentrasi di sana."
Kebangkitan mantan perwira militer berusia 75 tahun itu, termasuk kemajuan ladang minyak strategis dan kota-kota pelabuhan, telah didukung oleh negara-negara seperti Mesir dan Uni Emirat Arab . Dia telah menggambarkan dirinya sebagai satu-satunya solusi untuk ketidakstabilan Libya, tetapi banyak pihak di negara itu khawatir dia bisa mencoba untuk mengembalikan kekuasaan otoriter.
Selengkapnya tentang Khalifa Haftar, dapat dibaca di sini.