Liputan6.com, Jakarta - Naga adalah makhluk mitologi yang berwujud reptil berukuran raksasa. Ia biasanya dimunculkan dalam berbagai perayaan kebudayaan.
Umumnya, seekor naga digambarkan sebagai wujud dari ular besar, namun ada pula yang mendeskripsikannya sebagai kadal bersayap yang memilik beberapa kepala dan dapat mengembuskan napas api.
Tetapi meskipun literatur sejarah dan modern terkait naga amat banyak, tidak ditemukan bukti fisik yang menyimpulkan bahwa makhluk legendaris ini ada.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, tidak ada makhluk hidup di Bumi yang bisa menyemburkan api dari mulutnya, seperti naga. Meski demikian, tahukah Anda bahwa ada beberapa hewan yang mampu memuntahkan asap, racun, dan kotoran berbahaya dari tubuh mereka?
Bahkan ada karnivor yang dapat menyebarkan api, sehingga mereka bisa mendapatkan mangsa incarannya dengan gampang.
"Tidak ada binatang yang tahan atau kebal api," kata Rachel Keeffe, seorang mahasiswa doktoral yang mempelajari reptil dan amfibi di University of Florida, mengatakan dalam sebuah pernyataan.
"Ada satwa yang dapat menahan suhu super tinggi seperti ventilasi hidrotermal --retakan di permukaan planet yang secara geotermal memanaskan perairan. Cacing tertentu contohnya, bisa hidup di lingkungan super panas, tetapi bukan api," imbuhnya, sebagaimana dilansir dari Live Science, Minggu (14/4/2019).
Ambil perumpaan, ular kobra penyembur --spesies kobra yang dapat menyemburkan racun dari taring mereka ketika mempertahankan diri.
Kalajengking afrotropical dalam genus Parabuthus, juga dapat menyemprotkan bisa yang sangat mematikan.
Selain itu, ada pula tokek Strophurus yang mampu 'menembakkan' goo (zat lengket atau berlendir) dengan bau tidak sedap dari ekornya untuk menakuti predator.
"Itu tidak beracun atau apa pun, hanya kotoran saja," imbuh Keeffe, yang ikut menulis dan mengilustrasikan buku The Anthropology of Dragons: A Global Perspective.
Hewan liar lain yang punya pertahanan dari bokong mereka antara lain sigung (Mephitidae) dan kumbang pengebom (Pheropsophus jessoensis), yang mengeluarkan kentut berupa bahan kimia beracun ketika terancam.
Api Versus Elang
Namun, ketika membahas tentang si jago merah, raptor Australia adalah juaranya.
Tiga spesies burung predator Down Under --elang paria (Milvus migrans), elang siul (Haliastur sphenurus) dan elang coklat (Falco berigora)-- pernah dilaporkan bersembunyi di tengah kebakaran semak yang luas dan kemudian tiba-tiba mengambil rumput atau ranting-ranting yang dilahap api dengan cakar mereka.
Unggas-unggas  itu kemudian menggunakan api yang mereka genggam untuk menyalakan api baru di tempat lain. Cara ini ternyata membuat mangsa mereka yang bersembunyi, keluar dari sana.
Temuan tersebut telah dilaporkan dalam Journal of Ethnobiology untuk dipelajari lebih lanjut.
Advertisement
Kawanan 'Burung Naga' Picu Kebakaran Lahan di Australia?
Suhu di Australia cukup ekstrem pada tahun lalu. Panasnya udara memicu kebakaran lahan di Negeri Kanguru itu. Selain mengatasi masalah kebakaran lahan, pihak berwenang juga harus berhadapan dengan segerombolan "burung naga".
Mengapa disebut demikian?
Sebuah studi baru, yang menggabungkan pengetahuan ekologis kuno Australia, menemukan perilaku aneh dari segerombolan burung pemangsa.
Mereka menyebutnya sebagai firehawk raptor. Burung-burung ini diduga menjadi penyebab utama meluasnya kebakaran lahan di sejumlah pedalaman Australia.
Peneliti menyebut, mereka sengaja menyebarkan api dengan menggenggam tongkat yang terbakar di cakar dan paruhnya.
Setidaknya, ada tiga spesies yang diketahui menjadi "pasukan"Â firehawk raptor: Black Kite atau elang paria (Milvus migrans), Whistling Kite atau elang siul (Haliastur sphenurus), dan Brown Falcon atau alap-alap cokelat (Falco berigora).
"Suku Aborigin dan orang-orang yang menghadapi kebakaran lahan telah mempertimbangkan risiko yang ditimbulkan oleh raptor tersebut. Skeptisisme tentang burung yang menjadi penyebab meluasnya kebakaran, menghambat perencanaan pemulihan lahan," kata tim peneliti, dilansir Science Alert, Kamis 11 Januari 2018.
Akan tetapi, para periset menekankan bahwa fenomena destruktif ini sebenarnya pernah terjadi pada ribuan tahun silam.
"Kami tidak menemukan apa pun. Sebagian besar data yang kami kerjakan adalah kolaborasi dengan suku Aborigin ... Mereka telah mengetahui hal ini selama, mungkin, 40.000 tahun atau lebih," ungkap ahli geografi Mark Bonta dari Penn State Altoona.