Liputan6.com, Khartoum - Dewan militer transisi Sudan menangkap sejumlah anggota pemerintahan era sebelumnya. Mereka juga berjanji tidak akan membubarkan para pemrotes.
Seorang juru bicara juga mendesak oposisi untuk memilih perdana menteri berikutnya Sudan dan bersumpah untuk menerapkan pilihan mereka.
Baca Juga
Dalam konferensi pers pada Minggu 14 April 2019, juru bicara Mayor Jenderal Shams Ad-din Shanto mengatakan dewan militer "siap untuk mengimplementasikan" apa pun pemerintahan sipil yang disetujui oleh partai-partai oposisi.
Advertisement
"Kami tidak akan menunjuk seorang PM. Mereka akan memilih satu," katanya, merujuk pada kelompok oposisi dan protes seperti dikutip dari BBC, Senin (15/4/2019).
Dia juga mengatakan tentara tidak akan menghentikan aksi pengunjuk rasa dengan paksa, tetapi meminta mereka "untuk membiarkan kehidupan normal berlanjut" dan memindahkan penghalang jalan yang tidak sah.
"Penggunaan senjata tidak akan ditoleransi," tambahnya.
Dewan militer juga mengumumkan serangkaian keputusan, termasuk:
- Kepala baru tentara dan polisi
- Kepala baru Badan Intelijen dan Keamanan Nasional (NISS)
- Komite-komite untuk memerangi korupsi dan menyelidiki bekas partai berkuasa
- Pencabutan semua pembatasan dan penyensoran media
- Pembebasan polisi dan petugas keamanan yang ditahan karena mendukung demonstran
- Tinjauan misi diplomatik, dan pemberhentian duta besar Sudan untuk AS dan Swiss
Protes berbulan-bulan di Sudan menyebabkan pemecatan dan penangkapan pemimpin Sudan Omar al-Bashir pada Kamis 11 April 2019. Demonstran kemudian bersumpah untuk tetap di jalanan sampai ada langkah segera di pemerintahan sipil.
Aksi protes tersebut terus dilakukan di luar Kementerian Pertahanan di Ibu Kota Sudan, Khartoum.
Â
Â
Diawali Mundurnya Kepala Kudeta
Sebelumnya, Kepala Dewan Militer Sudan mundur dari jabatannya satu hari setelah memimpin kudeta menggulingkan pemimpin negara itu, Omar al-Bashir di tengah gelombang protes.
Menteri Pertahanan Awad Mohammed ibn Ouf mengumumkan keputusannya di televisi pemerintah. Dia menyebut penggantinya adalah Letjen Abdel Fattah Abdelrahman Burhan.
Ibn Ouf adalah kepala intelijen militer selama konflik Darfur di tahun 2000-an. AS memberlakukan sanksi kepadanya pada tahun 2007.
Dikutip dari BBC, Sabtu 13 April 2019, langkah pengunduran diri itu terjadi setelah pengunjuk rasa menolak untuk meninggalkan jalan-jalan, mengatakan para pemimpin kudeta terlalu dekat dengan Presiden Sudan yang dilengserkan.
Sementara tentara mengatakan akan tetap berkuasa selama dua tahun, hingga pemilihan umum.
Para pengunjuk rasa di Khartoum merayakan kepergiannya.
Sudan Professionals Association, yang menjadi ujung tombak protes, mengatakan keputusan Ibn Ouf untuk mundur adalah "kemenangan" bagi para demonstran. Mereka menuntut transisi ke pemerintahan sipil sebelum mengakhiri aksinya.
Advertisement
Lengsernya Presiden Sudan
Militer Sudan mengatakan mereka telah menggulingkan presiden negara ini, Omar al-Bashir, pada Kamis 11 April 2019, di tengah protes berdarah yang semakin meningkat selama 30 tahun pemerintahannya.
Dijatuhkannya al-Bashir dari kekuasaan terjadi setelah lebih dari seminggu protes di Aljazair pecah. Para pengunjuk rasa kala itu, yang diperkirakan berjumlah puluhan ribu, memaksa pengunduran diri al-Bashir yang didukung oleh militer Sudan sekaligus presiden Aljazair, Abdelaziz Bouteflika.
Mereka berkumpul di sebuah tempat di luar markas militer di pusat Khartoum, ibu kota, selama hampir satu minggu.
Namun para demonstran pro-demokrasi kian tersulut emosi dan kecewa besar ketika menteri pertahanan mengumumkan bahwa angkatan bersenjata akan memerintah Sudan untuk dua tahun ke depan.
Pengkoordinator demo di Sudan dengan cepat mengecam tentara dan bersumpah untuk melanjutkan aksi turun ke jalan sampai pemerintah transisi sipil terbentuk.
Setelah pengumuman yang ditayangkan di televisi tentang penangkapan al-Bashir oleh Menteri Pertahanan Awad Mohammed ibn Ouf --yang kini berada di bawah sanksi Amerika Serikat terkait dengan kekejaman dalam konflik di Darfur-- terlihat kerumunan massa yang berteriak kesal, "Orang pertama sudah jatuh, begitu pula nanti orang kedua."
Beberapa bahkan ada yang melontarkan, "Mereka mengambil pencuri dan membawa masuk pencuri lainnya!" demikian seperti dikutip dari TIME, Jumat 12 April 2019.
Ibn Ouf menekankan, dewan militer yang nanti dibentuk terdiri dari jajaran tentara, badan intelijen dan aparat keamanan. Ketiga ini akan memerintah hanya selama dua tahun. Setelah itu, pemilihan umum yang bebas dan adil bakal diselenggarakan.
Dia juga mengumumkan bahwa militer telah menangguhkan konstitusi, membubarkan pemerintah, menyatakan keadaan darurat selama tiga bulan, menutup perbatasan negara dan wilayah udara, serta memberlakukan jam malam selama satu bulan.
Al-Bashir, yang keberadaannya kini tidak diketahui, menjadi kepala negara Sudan pada periode 1989-1993 dan presiden Sudan sejak tahun 1993 sampai tahun ini.
Selama menjabat, ia didukung oleh militer dan garis keras Islamis. Diduga, al-Bashir secara brutal terus menindas setiap oposisi, sambil memonopoli ekonomi melalui pengusaha sekutu.
Selama tiga dasawarsa memegang kendali di Sudan, ia pun membiarkan pemisahan diri Sudan Selatan pasaperang bertahun-tahun.Â
Selain itu, nama al-Bashir kian 'harum' lantaran memerintahkan penumpasan pemberontak di wilayah Darfur yang membuatnya menjadi ejekan internasional, orang yang paling dicari dengan tuduhan genosida.
Administratif Donald Trump menargetkan pemerintah al-Bashir berulang kali dengan sanksi dan serangan udara atas dukungannya terhadap kelompok-kelompok militan Islam.
 Â