Sukses

Insiden Pencoblosan di Sydney di Mata Jurnalis di Australia

Berikut ini penuturan seorang jurnalis Indonesia yang tinggal di Melbourne, Australia, soal Pilpres 2019 di kota itu, juga Sydney.

Liputan6.com, Melbourne - Pemungutan suara Pemilu 2019 bagi warga negara Indonesia (WNI) di Australia pada 13 April 2019 lalu menjadi topik hangat di media sosial.

Salah satunya, proses pemungutan suara di Kota Sydney, New South Wales. Sejumlah WNI mengeluh karena tak mendapat kesempatan masuk ke TPS meski sudah mengantre lama.

Warga yang tidak bisa mencoblos sebagian besar berasal dari pemilih yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) atau disebut dengan daftar pemilih khusus (DPK).

Komunitas Indonesia di Sydney bahkan memuat petisi online yang menuntut pemilu ulang digelar. Berbeda dengan di Sydney, pemungutan suara di Kota Melbourne berjalan cukup lancar.

Berikut ini penuturan seorang jurnalis Indonesia yang tinggal di Melbourne, Alfred Ginting, kepada Liputan6.com soal analisis Pilpres 2019 di Melbourne dan Sydney.

 

Sehari sebelum hari pemilihan PPLN lewat laman Facebook mengumumkan anjuran untuk pemilih DPK mengambil nomor antrean dari pagi hari untuk waktu pencoblosan pukul 18.00 hingga 19.00.

Kabar ini membuat antrean panjang terjadi di sekitar pintu masuk KJRI Melbourne sejak pukul 08.00 pagi, sejam sebelum pintu dibuka untuk pemungutan suara.

Selain yang berstatus DPK, banyak juga warga Indonesia yang sedang berkunjung ke Melbourne ingin ikut mencoblos di KJRI Melbourne. Namun bila tidak membawa form A5 atau surat keterangan pindah wilayah untuk memilih dari tempat asalnya, mereka ditolak untuk bisa mencoblos. 

Ratusan orang masih mengantre hingga malam hari menjelang TPS ditutup.

Ketua PPLN Melbourne Isvet Novera mengatakan pihaknya mengumumkan kepada pengantre di luar gerbang KJRI kalau TPS akan ditutup jam 19.00 malam sesuai jadwal. 

"Seperti yang sudah diduga warga yang mengantri mulai protes ketika kami umumkan TPS akan ditutup. Tentu mereka kecewa karena sudah menunggu lama tapi tidak bisa mencoblos," kata Isvet.

Isvet pun menghubungi tim Komisi Pemilihan Pusat (KPU) Pokja Luar Negeri di Jakarta.

"Saya paparkan kondisinya. Kami mendapat semacam diskresi atau kelonggaran, untuk tetap membuka TPS sampai semua pengantre bisa mencoblos. Tapi kami harus mengatur agar mereka mengantre di dalam pagar kompleks KJRI, bukan di luar pagar."

Dengan kebijakan ini, TPS masih dibuka sampai semua warga yang mengantri bisa mencoblos pada pukul 07.40 malam. 

Karena perpanjangan waktu itu, PPLN dan Bawaslu baru bisa menyimpan dan menyegel seluruh kotak suara di gudang KJRI Melbourne pada dini hari pukul 00.10.

PPLN mencatat lebih dari 8.000 WNI yang hadir menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019. 

"Persentase pengguna hak pilih adalah 61 persen dari jumlah DPT dengan kurang lebih 56 persen pemilih wanita," sebut PPLN Melbourne dalam pernyataan persnya hari ini.

 

 

 

2 dari 3 halaman

Antara Pemilu di Sydney dan Melbourne

Menurut Alfred, ada yang berbeda dalam pengelolaan pemungutan suara di Sydney dan Melbourne:

 

·      Jumlah DPT

PPLN Melbourne yang mengelola wilayah pemilihan negara bagian Victoria dan Tasmania memiliki DPT 13.429 orang. Sementara PPLN Sydney yang mengelola wilayah pemilihan New South Wales, Queensland dan Australia memiliki DPT 25.381 orang.

·      Lokasi TPS

Di Melbourne TPS dipusatkan di KJRI Melbourne dengan 22 TPS. Di Sydney juga dibagi 22 TPS yang disebar di lima lokasi, yaitu 4 TPS di KJRI Sydney, 5 TPS di Sydney Town Hall, 3 TPS di Marrickville Community Centre, 3 TPS di Yagoona Community, 3 TPS di Good Luck Plaza. Sementara itu di Brisbane 2 TPS berlokasi di Sherwood State High School dan di Adelaide 2 TPS di State Library.

Di KJRI Melbourne TPS dibuat di dua tenda besar yang ditempatkan di halaman depan dan area parkir di belakang gedung yang cukup luas.

Dengan penempatan TPS di wilayah KJRI, PPLN Melbourne tidak mengalami kendala batas waktu seperti yang menjadi alasan PPLN Sydney yang menyewa beberapa tempat lokasi TPS.

Jumlah DPT Sydney jauh lebih besar daripada Melbourne, tapi jumlah TPS sama.

Ini menjadi pertanyaan besar tentang seberapa banyak pemilih yang bisa dilayani oleh petugas setiap TPS.

Dengan rasio yang tidak seimbang antara jumlah pemilih dan TPS, PPLN Sydney berpotensi menghambat kesempatan seluruh DPK untuk masuk ke bilik suara. Padahal alokasi waktu untuk mereka sangat sempit, hanya satu jam.

Saya telah menghubungi Ketua PPLN Sydney Heranudin untuk mengonfirmasi hal ini. Namun dia tidak merespons pertanyaan saya.

Pemusatan TPS seperti yang dilakukan di Melbourne memang memang menjadi tantangan yang dikeluhkan warga terutama yang tinggal jauh dari pusat kota Melbourne. 

Sementara di Sydney, pemilih diarahkan ke TPS yang terdekat dengan domisilinya.

Namun banyak warga di Sydney yang mengeluh mereka mengalami perubahan TPS tanpa pemberitahuan. 

Mereka datang ke TPS yang telah ditentukan, namun setibanya di sana mereka diberitahu untuk memilih di TPS yang lain. 

Kendala jarak ke TPS sebenarnya bisa diatasi bila warga mendaftar untuk memilih lewat pos. 

Menurut PPLN Melbourne ada 1.321 pemilih yang mendaftar dan dikirimkan surat suaranya lewat pos.

Mereka yang mengirimkan kembali surat suaranya lewat pos akan dihitung bersamaan dengan suara pemilih dari TPS pada 17 April. 

 

 

3 dari 3 halaman

DPK Membeludak dan Kesahihan DPT

Menurut Alfred Ginting, kekacauan proses pemungutan suara di Sydney dan banyak wilayah pemilihan luar negeri lainnya adalah jumlah DPK yang membeludak.

 

Jumlah DPK yang hadir ke TPS bisa sangat melampaui data PPLN, sementara jumlah DPT yang hadir ke TPS jauh di bawah angka yang ditetapkan.

Karena pengaturan pemungutan suara lebih didasarkan pada asumsi jumlah DPT, maka alokasi waktu mencoblos bagi DPT dan DPK menjadi tidak proporsional.

Jadwal pemilihan bagi DPT diberikan selama 9 jam, yakni sejak pukul 9 pagi hingga 6 sore, sementara DPK hanya satu jam. 

Angka DPT di wilayah pemilihan luar negeri sepintas terlihat besar, namun angka itu tidak mewakili gambaran yang utuh dengan kehadiran di TPS dan suara DPT yang masuk.

Ini bisa dilihat dari data pemilihan presiden 2014 di Melbourne, yang ketika itu jumlah pemilih tercatat 15.857 orang. 

Angka itu terdiri dari pemilih dalam DPT 12.506 orang, Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) 75 orang, DPK 832 orang, dan DPKTb 2.444 orang. 

Sementara itu, pengguna hak pilih DPT 3.577 orang, DPTb 77 orang, DPK 317 orang, dan DPKTb 1.098.

Tingginya angka DPKTb atau yang memilih bermodalkan paspor datang ke TPS sempat menjadi pertanyaan dalam rapat pleno Rekapitulasi Perolehan Suara Luar Negeri Pilpres 2104.

Seorang warga Indonesia di Brisbane, Loly Tamba Brady mengungkapkan keluhannya tentang situasi DPT. 

Menurut Loly, suasana pagi hingga siang hari yang dialokasikan untuk DPT di TPS yang berlokasi di Sherwood State High School berlangsung lengang.

"Saya cek secara acak dan mendapati nama-nama WNI yang saya kenal dan mereka sudah tidak berada di Brisbane atau Queensland lagi tetapi sudah pindah interstate (ke negara bagian lain), kembali ke Indonesia, pindah ke luar negeri, dan sudah menjadi warga negara Australia," sebut Loly.

Loly mengatakan selama pagi sampai siang hari banyak WNI yang kecewa tidak dapat memilih, karena nama mereka tidak tercatat di dalam DPT.

"Padahal mereka sudah mendaftar lewat online maupun secara langsung pada kesempatan pendaftaran peserta pemilu yang diselenggarakan olah PPLN Sydney tahun lalu," kata dia. 

"Alasan lain adalah nama mereka sebelumnya sudah ada di DPT namun waktu hari Pemilu nama mereka tidak ada atau berganti menjadi memilih lewat pos tanpa pemberitahuan ataupun tanpa permintaan pemilih," tambah Loly. 

Â