Jakarta - 17 April 2019 merupakan hari yang bersejarah di Indonesia. Pasalnya, pada tanggal ini, negara kepulauan terbesar di dunia ini menggelar acara Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) secara serentak, kontras dengan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut pemberitaan yang dikutip dari DW Indonesia, Rabu (17/4/2019), Pileg tentu saja sebuah event politik untuk memilih calon-calon wakil rakyat (sering disebut "anggota dewan”, meski agak rancu. "Dewan” apa?) yang akan duduk di gedung parlemen, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten. Sementara Pilpres adalah ajang pemilihan umum langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Jika ada kandidat, baik untuk kursi legislatif maupun eksekutif, yang dipandang memiliki rekam jejak positif, tidak korup, jujur, bekerja keras untuk bangsa, atau minimal kecil keburukannya, maka sebaiknya atau seharusnya harus kita pilih agar kelak diharapkan bisa bekerja dengan baik untuk kemajuan, kemakmuran, dan kejayaan negara dan bangsa Indonesia. Jangan disia-siakan momentum ini dengan menjadi Golput ("Golongan Putih”) misalnya. Tetapi jika tidak ada kandidat yang dianggap baik, layak, cakap, mumpuni, dan tidak korup, ya terserah Anda.
Advertisement
Saya sendiri memandang Pemilu (baik Pileg, Pilpres dan lainnya) yang dilakukan secara terbuka (melibatkan seluruh rakyat) dan "jurdil” (jujur dan adil) sebagai sistem dan mekanisme politik terbaik untuk memilih anggota legislatif maupun eksekutif, dibanding cara-cara politik lain (misalnya penunjukan, pemilihan terbatas, dlsb).
Sejarah Pileg di Indonesia
Untuk Pileg, Indonesia sudah menyelenggarakan sebanyak 11 kali, yaitu satu kali di era Orde Lama (tahun 1955), enam kali di zaman Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997), dan empat kali di era Reformasi (1999, 2004, 2009, dan 2014). Jadi Pileg pada tahun 2019 ini merupakan yang ke-12 dalam sejarah sosial-politik Indonesia dan yang ke-5 setelah rezim Orde Baru almarhum.
Pileg pada 1955 dikenal sebagai Pileg yang sangat terbuka dan demokratis. Ada banyak sekali parpol yang ikut Pemilu waktu itu. Tetapi empat parpol yang paling populer dan mendapatkan suara banyak: PNI, Masyumi, PNU, dan PKI.
Sementara itu, serial Pileg di zaman Orde Baru adalah "Pemilu pura-pura” atau "Pileg munafik”. Sangking pura-pura dan munafiknya, dulu ada guyonan kalau Pemilu belum dilakukan tetapi hasilnya sudah diketahui: Golkar menang 99 persen. Pileg pada waktu itu memang berlangsung dengan penuh kepura-puraan, rekayasa, intrik, paksaan, kekerasan, dan tekanan dari rezim penguasa untuk memenangkan "golongan” yang berperan sebagai "parpol” milik sang rezim penguasa Orde Baru, yaitu Golkar (Golongan Karya).
Kedua parpol lain yang ikut kontes Pemilu, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembanguan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia), hanya berperan sebagai "bunga-bunga” alias "pelengkap penderita” saja. Rezim Orde Baru "membonsai” peran kedua parpol ini. Mereka dibiarkan hidup (supaya Golkar ada rival politik sehingga Indonesia terkesan sebagai "negara demokrasi”) tetapi tidak diperbolehkan berkembang biak supaya tidak mengganggu dan membahayakan stabilitas politik Orde Baru.
Rezim penguasa terus mengisolasi PPP dan PDI. Cara mengisolasi kedua parpol ini bermacam-macam, antara lain menggunakan tangan-tangan tentara dan aparat (khususnya aparat desa) untuk mengintimidasi warga yang memilih kedua parpol ini. Saya masih ingat di desaku dulu di Jawa Tengah, kalau ada warga yang memilih kedua parpol ini, mereka digelandang dan disidang di rumah kepala desa atau balai desa. Setelah itu mereka dipukuli ramai-ramai oleh perangkat desa, termasuk kepala desa. Bahkan mereka dipukul pakai kursi. Tragis sekali. Perangkat desa tahu siapa saja warga yang memilih atau mencoblos selain Golkar. Ini menunjukkan bahwa proses Pemilu kala itu adalah betul-betul "lawakan politik”.
Bukan hanya mengintimidasi dan menyiksa warga saja, rezim Orde Baru dan antek-anteknya juga mengancam (dan membuktikan) tidak akan membangun daerah, kawasan, atau desa-desa yang banyak pendukung PPP dan PDI. Karena itu jangan heran kalau dulu daerah-daerah basis pendukung kedua parpol ini tak tersentuh oleh "pembangunan nasional” (misalnya, jalan tidak diaspal, tidak diberi instalasi listrik, tidak diberi dana bantuan desa, dan seterusnya) sehingga tetap terbelakang.
Setelah Orde Baru "wafat”, proses Pileg tentu saja jauh lebih baik (dibandingkan dengan Pileg di masa Orde Baru), meskipun hasilnya belum maksimal. Hal itu karena sebagian masyarakat atau warga negara Indonesia lalai, teledor, acuh, dan tidak memaksimalkan momentum Pileg itu dengan sebaik-baiknya. Akibatnya, sering kita lihat kandidat yang korup, memiliki rekam jejak buruk, rasis, etnosentris, intoleran, dan anti-keragaman dan kebangsaan bisa lolos menjadi anggota dewan legislatif. Para anggota dewan legislatif yang buruk rupa rata-rata terpilih karena menggunakan "uang politik” untuk menyogok pemilih yang "mata duitan”.
Advertisement
Sejarah Pilpres
Bagaimana dengan Pilpres? Pilpres di Indonesia secara umum dilakukan dengan mekanisme pemilihan oleh "wakil rakyat” (anggota parlemen) maupun rakyat secara langsung. Pemilihan presiden (dan wakil presiden) secara langsung oleh rakyat mulai digelar tahun 2004. Sebelumnya, Pilpres dipilih oleh parlemen. Di zaman Orde Baru, lagi-lagi, sesungguhnya Pilpres itu tidak ada karena semua orang sudah tahu kalau yang akan terpilih (atau "dipilih” oleh parlemen) adalah Pak Harto.
Rakyat Indonesia kala itu bukan ingin tahu siapa presiden yang akan terpilih, melainkan dag dig dugingin mengetahui siapa wakil presiden yang akan mendampingi Pak Harto. Hal itu lantaran yang terjadi sesungguhnya di zaman Orde Baru adalah bukan anggota parlemen yang memilih presiden tetapi presiden lah yang memilih anggota parlemen!
Sejak 2004, sudah tiga kali Indonesia menggelar Pilpres secara langsung (2004, 2009, dan 2014) tidak lagi melalui perantara parlemen. Jadi 2019 ini adalah Pilpres langsung yang keempat dalam sejarah Indonesia. Dalam tiga kali Pilpres langsung itu, Indonesia berhasil memilih dua presiden, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (yang terpilih di Pilpres 2004 dan 2009) dan Joko Widodo (yang terpilih di Pilpres 2014). Tahun 2019 ini, Joko Widodo kembali maju sebagai kandidat Presiden RI. Penantangnya adalah Prabowo Subianto yang sudah beberapa kali maju berlaga di ajang Pilpres tetapi selalu gagal.
Meskipun terpilih dua kali sebagai Presiden RI, prestasi SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) untuk bangsa dan negara bisa dikatakan nihil. Oleh banyak pihak, SBY dianggap tidak becus memimpin Indonesia. Ia dikritik lantaran dianggap banyak menjual aset negara ke asing, menumpuk utang, banyak pembangunan mangkrak, banyak korupsi, serta membiarkan kelompok radikal Islamis intoleran dan anti-kebhinekaan merajalela dan menggurita di Indonesia dan di tubuh pemerintahan itu sendiri. SBY juga dituding sebagai presiden yang lembek, nglokro, klemar-klemer, tidak tegas, terlalu kompromistik serta penakut atau pengecut.
Jokowi (Joko Widodo) yang terpilih dalam Pilpres 2014 pelan tapi pasti sedikit demi sedikit memulihkan kondisi Indonesia yang sakit-sakitan karena ditelantarkan oleh rezim SBY dan rezim-rezim sebelumnya. Dengan kerja kerasnya dalam membangun bangsa yang tanpa kenal lelah, sikapnya yang tegas dengan para koruptor dan pengemplang duit negara, rekam jejaknya yang bersih dan tidak korup, pengalamannya yang kaya dalam memimpin dan mengelola pemerintahan, serta visinya yang jauh ke depan dalam memajukan bangsa dan negara, Jokowi juga berhasil memulihkan citra Indonesia yang bopeng di mancanegara sehingga diapresiasi oleh berbagai tokoh di dunia.
Karena kesuksesan Jokowi dalam memimpin Indonesia selama ini, di Pilpres 2019 ini, saya akan menggunakan hak pilihku sebagai warga negara Indonesia untuk kembali memilih Jokowi sebagai "nahkoda kapal Indonesia”. Saya tidak akan menyia-nyiakan momentum baik ini. Tahun 2014, saya memilih Jokowi, capres pertama yang saya pilih sejak Pilpres langsung digelar di Indonesia (sebelumnya saya golput), dan tahun 2019 ini, saya tegaskan lagi, saya akan kembali memilih "wongSolo” ini, bukan lantaran saya dan Jokowi itu seetnis (sesama Jawa), sedaerah (sesama orang Jawa Tengah), atau seagama (sama-sama beragama Islam) sama sekali bukan, tetapi lantaran prestasi gemilangnya dalam menahkodai bangsa dan negara Indonesia.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord.
Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis."