Sukses

Rebutan Pengaruh di Ibu Kota Libya Kian Memanas, 205 Orang Tewas

Sebanyak 205 orang tewas akibat kian memanasnya pertempuran adu pengaruh di ibu kota Libya, Tripoli.

Liputan6.com, Tripoli - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Kamis 18 April, bahwa setidaknya 205 orang tewas akibat pertempuran dalam memperebutkan pengaruh di ibu kota Libya.

Pertempuran itu kian memuncak tatkala pemerintah yang diakui PBB menyerukan tuntutan hukum terhadap pemimpim militer yang memberontak, Jenderal Khalifa Haftar, di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Pemerintah persatuan Libya mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Haftar karena diduga mendalangi serangan udara mematikan terhadap wilayah sipil, demikian sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Jumat (19/4/2019).

Enam pengawal Haftar juga disebutkan dalam surat perintah itu, yang dikeluarkan oleh jaksa penuntut umum militer, dan diterbitkan oleh kantor pers pemerintah persatuan.

Di lain pihak, WHO mengatakan dalam sebuah unggahan di Twitter, bahwa pihaknya telah mengerahkan spesialis medis untuk mendukung rumah sakit garis depan, karena pertempuran baru-baru ini menyebabkan lebih dari 900 orang terluka.

Menurut WHO, setidaknya 18 warga sipil termasuk di antara mereka yang tewas dalam pertempuran yang pecah pada 4 April, ketika Haftar melancarkan serangan untuk mengambil alih Tripoli, yang dikendalikan oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB.

Sementara itu, pada hari Kamis, kelompok-kelompok bersenjata menyerang pangkalan udara utama di Libya selatan yang dikendalikan oleh LNA.

Pangkalan Tamanhint dekat Sabha adalah pangkalan utama di Libya selatan, yang direbut LNA awal tahun ini.

"Pertempuran berlanjut di pangkalan itu," ujar Walikota Sabha Hamid Rafaa al-Khiyali dan seorang pejabat militer timur, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Identitas pelaku penyerangan belum diketahui pasti hingga berita ini ditulis.

2 dari 3 halaman

Segera Daftarkan Tuntutan ke Pengadilan Internasional

Lebih dari 25.000 orang telah terlantar akibat bentrokan di Tripoli, termasuk sekitar 4.500 korban baru dalam 24 jam terakhir pada hari Kamis, lapor Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) pada hari Rabu.

Selama kunjungan ke area terdampak tembakan roket di Tripoli pada hari Selasa, kepala GNA Fayez al-Sarraj mengatakan Dewan Keamanan PBB harus mendesak Haftar untuk bertanggung jawab atas "kebiadaban dan barbarisme" pasukannya.

"Adalah tanggung jawab hukum dan kemanusiaan Dewan Keamanan dan masyarakat internasional untuk meminta penjahat ini bertanggung jawab atas tindakannya," kata al-Sarraj dalam siaran pers yang dirilis oleh kantor pemerintahannya. 

Al-Sarraj mengatakan akan segera mendaftarkan tuntutan hukum ke Pengadilan Kriminal Internsional di Den Haag, Belanda, atas kejahatan perang yang dilakukan oleh Haftar.

Di lain pihak, Haftar dan pasukan LNA yang dipimpinnya, kini memusatkan kekuatan di dekat Tripoli, terutama menguasai pangkalan udara Jufrah dan Tamanhint, untuk mendatangkan logistik dan mengirimkannya melalui jalan darat menuju pantai Mediterania di utara.

LNA menguasai wilayah selatan Libya yang luas pada awal tahun ini, di mana di dalamnya terdapat dua ladang minyak utama negara tersebut.

3 dari 3 halaman

Solusi Masih Buntu

Utusan Libya untuk PBB, Ghassan Salame, pada hari Kamis memperingatkan tentang memanasnya konflik di negara Afrika Utara itu, dengan mengatakan perpecahan internasional telah mendorong Haftar untuk melancarkan serangannya ke Tripoli.

Kendati telah bertempur selama berhari-hari, Salame mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa solusi masih buntu untuk masalah di selatan ibu kota.

"Setelah keberhasilan pertama Tentara Nasional Libya dua pekan lalu, kami menyaksikan kebuntuan militer saat ini," katanya.

Kebangkitan konflik terbuka di Libya mengancam kelancaran operasional minyak, meningkatkan imigrasi melintasi Laut Mediterania ke Eropa, dan memungkinkan kelompok-kelompok bersenjata untuk mengeksploitasi kekacauan.

Haftar yang berbasis di Benghazi menikmati dukungan dari Mesir, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, yang memandangnya sebagai jangkar untuk memulihkan stabilitas Libya.