Liputan6.com, Washington DC - Pihak berwenang Amerika Serikat (AS) telah menangkap seorang mantan marinir setempat, yang diduga bagian dari kelompok pelaku penyerangan kedutaan besar Korea Utara di Madrid, Spanyol, Februari lalu.
Marinir AS bernama Christopher Ahn itu dijadwalkan muncul di pengadilan Los Angeles dalam waktu dekat, demikian sebagaimana dikutip dari BBC pada Sabtu (20/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Ini akan menjadi penangkapan pertama atas insiden tersebut, yang terjadi sebelum Presiden AS Donald Trump bertemu dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Hanoi, Vietnam.
Penyerangan itu sempat diklaim oleh Free Joseon, sebuah kelompok HAM sayap kanan yang mengkritik rezim pemerintahan Kim Jong-un di Korea Utara.
Sebelumnya, pihak intelijen AS mengatakan telah menggerebek apartemen Adrian Hong, salah satu pemimpin kelompok itu. Namun, menurut laporan Washington Post, yang bersangkutan tidak diketahui rimbanya hingga saat ini.
Belum ada penjelasan resmi dari Kementerian Kehakiman AS atas penangkapan Christopher Ahn, dan juga tidak ada tanggapan dari kantor berita milik pemerintah Korea Utara, KCNA.
Tuntut Jaminan Keselamatan dari Pemerintah AS
Sementara itu, dalam sebuah pernyataan, kelompok Free Joseon mengatakan pihaknya "kecewa" dengan surat perintah penangkapan terhadap Christopher Ahn.
"Warga AS terakhir yang jatuh ke tahanan rezim Kim Jong-un pulang dengan cacat dan tidak selamat," tulis juru bicara Lee Wolosky, dalam pernyataan terkait.
"Kami tidak menerima jaminan dari pemerintah AS tentang keselamatan dan keamanan warga negara AS yang kini menjadi sasarannya," lanjutnya mengkritik.
Di lain pihak, sebuah dokumen pengadilan Spanyol yang dirilis bulan lalu menyebutkan beberapa pemimpin Free Joseon diyakini tinggal di AS.
Pengadilan Spanyol berusaha mencari upaya ekstradisi mereka.
Advertisement
Kronologi Singkat Penyerangan Kedubes Korut
Pada 22 Februari, sebuah kelompok yang terdiri dari sekitar 10 orang menyerbu kedutaan besar Korea Utara di Madrid, Spanyol.
Mereka diduga mengidentifikasi diri sebagai "anggota gerakan hak asasi manusia yang berusaha membebaskan Korea Utara".
Selama insiden itu, beberapa staf kedutaan disandera, termasuk seorang atase yang mereka coba bujuk untuk membelot.
Anggota kelompok itu diduga kabur dengan beberapa komputer dan perangkat keras lainnya, di mana data yang darinya diduga diteruskan ke pihak berwenang AS.
Korea Utara menggambarkan insiden itu sebagai "serangan teroris besar".