Sukses

Tolak Kritik Pyongyang, Menlu AS Tetap Terlibat Perundingan dengan Korea Utara

Menlu AS Mike Pompeo menolak keras desakan Korea Utara untuk menghilangkan dirinya dari proses pembahasan denuklirisasi.

Liputan6.com, Washington DC - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mengatakan upaya diplomatik Washngton akan terus dilanjutkan untuk membahas denuklirisasi Korea Utara.

Hal itu ditegaskan oleh Pompeo pada Jumat 19 April, sehari setelah seorang pejabat Korea Utara mengatakan pihaknya tidak lagi ingin berurusan dengannya dalam perundingan denuklirisasi.

"Tidak ada yang berubah. Kami akan terus melakukan negosiasi. Saya masih bertanggung jawab atas kerja tim (dalam perundingan). Jelas Presiden Trump bertanggung jawab atas upaya keseluruhan, tetapi ini akan menjadi tim saya," kata Pompeo, sebagaimana dikutip dari CNBC pada Sabtu (20/4/2019).

Dia menambahkan bahwa diplomat AS yang dipimpin oleh Perwakilan Khusus untuk Korea Utara Stephen Biegun akan melanjutkan upaya mencapai denuklirisasi Korea Utara, yang menurutnya telah disepakati oleh Kim Jong-un pada Juni lalu, saat bertemu dengan Donald Trump di Singapura.

"Saya yakin kami akan memiliki peluang nyata untuk mencapai hasil itu," kata Pompeo pada konferensi pers bersama di Washington DC, setelah pembicaraan dengan para menteri luar negeri dan pertahanan Jepang.

Pompeo juga mengatakan dia percaya bahwa ada kemungkinan untuk mempertahankan keterlibatan diplomatik dengan Korea Utara, bahkan tanpa memberikan keringanan sanksi yang telah diminta.

"Kami akan terus menekan Korea Utara untuk meninggalkan semua senjata pemusnah massal, program dan fasilitas terkait rudal balistiknya," kata Pompeo.

"Kami akan terus menegakkan semua sanksi terhadap Korea Utara dan mendorong setiap negara untuk melakukannya," lanjutnya menegaskan.

 

 

2 dari 3 halaman

Berniat Memisahkan Trump dari Pejabat AS

Sementara itu, pada hari Kamis, pejabat kementerian luar negeri Korea Utara yang bertanggung jawab atas urusan AS, mengatakan Pyongyang tidak lagi ingin berurusan dengan Pompeo. Menlu Negeri Paman Sam itu harus diganti dalam pembicaraan oleh seseorang yang lebih matang.

Pernyataan itu muncul beberapa jam setelah Korea Utara mengumumkan uji senjata pertama sejak gagalnya pertemuan puncak kedua antara Kim Jong-un dan Donald Trump di Hanoi, Vietnam, pada Februari lalu.

Para ahli mengatakan pernyataan Korea Utara itu tampaknya bertujuan untuk memisahkan Trump dari para pejabat senior dengan harapan menuntut konsesi, khususnya pembebasan dari hukuman sanksi.

Di lain pihak, pejabat AS meragukan klaim Korea Utara atas uji coba "senjata taktis", yang diklaim oleh Pyongyang sebagai sistem jarak pendek, bukan rudal balistik.

Kim Jong-un memperingatkan pekan lalu bahwa buntunya hasil KTT berisiko menghidupkan kembali ketegangan antara Korut dan AS.

Ditambahkan oleh Kim, dia hanya tertarik untuk bertemu Trump lagi jika AS menunjukkan lebih banyak fleksibilitas. Dia memberikan batas waktu akhir tahun untuk perubahan sikap tersebut.

Sementara itu, Donald Trump mengatakan dia terbuka untuk KTT lain dengan Kim Jong-un.

Tetapi, penasihat keamanan nasionalnya, John Bolton, mengatakan kepada Bloomberg News pada hari Rabu, bahwa pertama-tama perlu ada "indikasi nyata dari Korea Utara bahwa mereka telah membuat keputusan strategis untuk melepaskan senjata nuklir".

3 dari 3 halaman

Kasus Penyerangan Kedubes Korut di Madrid

Dalam perkembangan terpisah, pada hari Kamis, pihak berwenang AS menangkap seorang mantan Marinir AS yang merupakan anggota kelompok yang diduga menggerebek kedutaan Korea Utara di Madrid pada Februari, dua sumber yang mengetahui penangkapan itu mengatakan.

Agen-agen federal AS yang bersenjata juga menggerebek apartemen Adrian Hong, pemimpin Pertahanan Sipil Cheolima --sebuah kelompok yang mendesak penggulingan rezim Kim Jong-un-- atas tuduhan dalang serangan 22 Februari, kata seseorang yang dekat dengan kelompok itu.

Awal bulan ini, kementerian luar negeri Korea Utara mengecam insiden itu sebagai "serangan teroris berat", dan mengutip desas-desus bahwa FBI berada di belakang serangan itu.

Kementerian Luar Negeri AS membantah tuduhan tersebut, dan mengatakan bahwa Washington tidak ada hubungannya dengan itu.