Liputan6.com, Tripoli - Sebuah informasi dari Gedung Putih yang diterbitkan Jumat, 19 April 2019 melaporkan bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump memuji peran penting Jenderal Libya Khalifa Haftar dalam memerangi terorisme dan mengamankan sumber daya minyak Libya.
Keduanya juga diketahui telah membahas visi bersama untuk transisi politik Libya ke sistem politik yang "stabil dan demokratis" mengutip CNN pada Minggu (21/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Dialog antara Trump dengan Haftar berlangsung pada Senin, 15 April 2019.
Dalam pernyataan itu tidak disebutkan serangan ofensif Haftar di Tripoli, Ibu Kota Libya. Adapun pujian dari sang presiden nyentrik menandakan perubahan sikap Negeri Paman Sam yang sebelumnya mengutuk operasi militer Haftar.
Berbanding Terbalik dengan Sikap Pemerintah AS?
Sebagaimana diketahui, awal bulan ini sebetulnya Menteri Luar Negeri Mike Pompeo sempat mengutuk tindakan jenderal Libya itu.
"Kami telah menjelaskan bahwa kami menentang serangan militer oleh pasukan Khalifa Haftar dan mendesak penghentian segera operasi militer terhadap ibu kota Libya," kata Pompeo kala itu.
Menlu AS saat itu berpendapat bahwa kampanye militer melawan Tripoli membahayakan warga sipil dan merusak masa depan Libya.
Sementara itu, meskipun Trump seolah menjadi dekat dengan Haftar, Penjabat Menteri Pertahanan AS, Pat Shanahan mengatakan pada Jumat bahwa Kementerian Pertahanan (Pentagon) dan "badan eksekutif tetap selaras dengan pemerintah Libya". Shanahan juga menuturkan bahwa "solusi militer sama sekali tidak dibutuhkan Libya".
"Jadi apa yang kami katakan sebelumnya dan apa yang saya dukung adalah dukungan Field Marshal Haftar (hanya) dalam upaya kontraterorisme. Kita membutuhkan dukungan Field Marshal Haftar dalam membangun stabilitas demokrasi di wilayah itu," kata Shanahan.
Saat ini, AS masih berstatus mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional yang diakui PBB yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez al-Sarraj.
AS Sempat Menarik Pasukan
Sebagai akibat dari serangan Haftar, pada April lalu AS telah menarik sejumlah kecil pasukan dari Libya yang melakukan misi diplomatik dan kontraterorisme terhadap ISIS. Saat itu, Negeri Paman Sam beralasan adanya peningkatan "kerusuhan di Libya".
Sementara itu, Kepala Komando Afrika AS, Jenderal Thomas Waldhauser, mengatakan kepada Kongres bulan lalu bahwa Rusia mendukung Haftar sebagian untuk mengamankan pengaruh di wilayah strategis di sisi selatan NATO. Sebuah momentum yang langka, saat AS dan Rusia berada pada pihak yang sama.
"Di balik layar tidak ada keraguan tentang fakta bahwa mereka mendukung (tentara Haftar) degan semua jenis peralatan, pelatihan, dan sejenisnya," kata Waldhauser kepada House Armed Service Committee.
Waldhauser mengatakan alasan Rusia mendukung Haftar berkaitan dnegan kepentingan strategis Moskow, khususnya dalam penjualan senjata, ladang minyak, dan sejenisnya,
"Hal itu (juga) memberi mereka pengaruh di lokasi kunci di selatan (Mediterania) di bagian selatan NATO," kata Waldhauser.
Advertisement
Ratusan Orang Tewas di Libya
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Kamis 18 April, setidaknya 205 orang tewas akibat pertempuran dalam memperebutkan pengaruh di ibu kota Libya antara tentara pemerintah melawan pasukan Haftar.
Pertempuran itu kian memuncak tatkala pemerintah yang diakui PBB menyerukan tuntutan hukum terhadap pemimpim militer yang memberontak, Jenderal Khalifa Haftar, di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Pemerintah persatuan Libya mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Haftar karena diduga mendalangi serangan udara mematikan terhadap wilayah sipil, demikian sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.
Enam pengawal Haftar juga disebutkan dalam surat perintah itu, yang dikeluarkan oleh jaksa penuntut umum militer, dan diterbitkan oleh kantor pers pemerintah persatuan.
Di lain pihak, WHO mengatakan dalam sebuah unggahan di Twitter, bahwa pihaknya telah mengerahkan spesialis medis untuk mendukung rumah sakit garis depan, karena pertempuran baru-baru ini menyebabkan lebih dari 900 orang terluka.
Menurut WHO, setidaknya 18 warga sipil termasuk di antara mereka yang tewas dalam pertempuran yang pecah pada 4 April, ketika Haftar melancarkan serangan untuk mengambil alih Tripoli, yang dikendalikan oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB.