Liputan6.com, Jakarta - Sebagai bahan bakar fosil yang murah, berlimpah, dan paling berpolusi, batu bara tetap menjadi sumber energi yang paling diandalkan dalam menghasilkan listrik di seluruh dunia.
Padahal, sejak Perjanjian Paris pada 2015, banyak negara --kecuali Amerika Serikat-- sepakat untuk mengurangi ketergantungan sumber energi batu bara.
Namun faktanya, penurunan signifikan hanya terjadi kurang dari dua tahun setelahnya, di mana Jerman dan China memimpin keberatan terhadap pengetatan sumber daya alamm itu, lapor panel perubahan iklim PBB, sebagaimana dikutip dari The New York Times pada Selasa (23/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Lalu, mengapa kita sulit untuk berpaling dari batu bara sebagai sumber energi?
Alasan pertama adalah karena batu bara adalah sumber energi petahana, yang tersimpan jutaan ton di bawah tanah.
Perusahaan-perusahaan kuat, yang didukung oleh pemerintah yang juga kuat, terus menumbuhkan pasar terkait atas alasan ekonomi. Perbankan pun masih mendapat untung dari sektor ini.
Jaringan listrik nasional di banyak negara dirancang untuk mengunakan sumber tenaga batu bara. Kekayaan fosil ini juga menjadi cara yang pasti bagi politikus untuk menjanjikan listrik murah, guna meraih suara populis.
Dan bahkan ketika energi terbarukan semakin populer, mereka masih memiliki keterbatasan. Angin dan tenaga surya mengalir ketika angin bertiup dan matahari bersinar, dan itu membutuhkan jaringan listrik tradisional yang bertenaga batu bara sebagai komplementer.
"Alasan utama mengapa batu bara bertahan adalah, kita sudah memanfaatkannya sejak lama," kata Rohit Chandra, yang meraih gelar doktor dalam kebijakan energi di Harvard University.
Tetap Jadi Primadona di Negara Berkembang
Di tengah pertumbuhan ekonomi global yang intensif, batu bara tetap menjadi sumber daya utama di sebagian besar pasar negara berkembang.
Bahkan setelah beberapa pembatalan proyek di negara-negara seperti India, sekitar 100 gigawatt dalam kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara sedang dibangun.
Sebagian besar kapasitas tersebut sedang dibangun di India, Indonesia, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, Pakistan, Bangladesh, dan Afrika Selatan.
Permintaan yang meningkat terhadap batu bara tidak mungkin berkurang dalam waktu dekat.
Sebagai contoh kasus, energi alternatif dari sumber gas alam tidak bisa seketika menggantikan perannya.
Alasannya adalah karena banyak negara berkembang tidak memiliki cadangan gas utama yang murah dan mudah diakses, sehingga perlu mengimpor gas alam cair (LNG).
Tetapi biaya yang terkait dengan LNG, termasuk pencairan, transportasi, dan pembangunan infrastruktur untuk memindahkan gas ke daratan, menjadikannya tidak kompetitif dengan batu bara dalam banyak kasus.
Advertisement
Asia Sebagai Konsumen Terbesar
Sementara itu, sebagai rumah bagi setengah populasi dunia, Asia menyumbang tiga perempat dari konsumsi batu bara global saat ini.
Lebih penting lagi, konsumsi ini menyumbang lebih dari tiga perempat pabrik batubara yang sedang dalam tahap konstruksi atau dalam tahap perencanaan, kata Urgewald, kelompok advokasi Jerman yang melacak pengembangan batubara.
Adapun pemimpin utama dalam konsumsi batu bara adalah China. Negara ini mengonsumsi setengah dari produksi batu bara dunia.
Lebih dari 4,3 juta orang China dipekerjakan di tambang batu bara di negara itu. Bahkan, Beijing telah menambahkan 40 persen kapasitas energi fosil itu di tingkat dunia sejak 2002, di mana merupakan peningkatan terbesar dalam 17 tahun terakhir.
Kabar baiknya, China juga kini menjadi pemimpin dalam penerapan pembangkit listrik tenaga surya dan angin, serta pemerintah pusatnya telah mencoba memperlambat pembangunan pabrik batu bara.
Tetapi analisis oleh Coal Swarm, tim peneliti asal AS yang mengadvokasi alternatif batu bara, menyimpulkan bahwa pabrik baru terus dibangun di China, dan proyek-proyek lain yang diusulkan hanya ditunda daripada dihentikan.