Liputan6.com, Washington DC - Laporan oleh sekumpulan ilmuwan pada Global Forest Watch menyebut bahwa sepanjang 2018 lalu, manusia telah menghancurkan hamparan hutan tropis seukuran hampir luas wilayah Inggris.
Hal itu menjadikannya sebagai penyusutan lahan hutan terbesar ketiga sejak data rilis data satelit global pada 2001 silam, demikian sebagaimana dikutip dari Channel News Asia pada Kamis (25/4/2019).
Menurut para peneliti, laju kehilangan hutan tropis sangat mengejutkan dalam periode yang sama, yakni setara dengan 30 lapangan sepak bola setiap menitnya, atau 12 juta hektar dalam setahun.
Advertisement
Baca Juga
Hampir sepertiga dari wilayah itu, sekitar 36.000 kilometer persegi, adalah hutan hujan primer yang masih asli, lapor kelompok penelitian yang berbasis di University of Maryland.
"Untuk pertama kalinya, kami dapat membedakan hilangnya kanopi hijau di dalam hutan hujan alami yang tidak terganggu, yang mengandung pohon yang bisa berusia ratusan, bahkan ribuan tahun," kata Mikaela Weisse, manajer kelompok terkait, kepada kantor berita AFP.
Hutan tropis adalah habitat satwa liar terkaya di Bumi, dan merupakan kekuatan alami terpenting untuk menyerap karbon dioksida (CO2) yang memanaskan planet ini.
Peneliti juga menyebut bahwa kehilangan hutan global memuncak pada 2016, yang sebagian didorong oleh kondisi cuaca El Nino, serta kebakaran yang tidak terkendali di Brasil dan Indonesia.
Penggerak utama deforestasi adalah industri ternak dan pertanian komoditas skala besar, seperti minyak kelapa sawit di Asia dan Afrika, kacang kedelai dan tanaman biofuel di Amerika Selatan.
"Pertanian komersial skala kecil, seperti kakao misalnya, juga dapat mengarah pada pembukaan hutan," ungkap salah seorang peneliti.
Keselamatan Bumi Dipertaruhkan
Sebanyak seperempat dari total kehilangan tutupan hutan tropis pada 2018 terjadi di Brasil, yakni sebanyak 13.500 kilometer persegi.
Sementara dua urutan terbesar di belakangnya dialami oleh Republik Demokratik Kongo dan Indonesia, yang masing-masing mengalami penyusutan lahan hijau antara 3.400 hingga 4.800 kilometer persegi.
Malaysia dan Madagaskar juga mengalami tingkat deforestasi yang tinggi tahun lalu, tambah laporan terkait.
"Hutan dunia sekarang berada dalam kondisi gawat darurat," kata Frances Seymour, salah seorang pemikir utama pada World Resources Institute, sebuah lembahga think tank tentang kebijakan lingkungan yang berbasis di Washington DC.
"Keselamatan planet ini dipertaruhkan, dan respons bantuan internasional saja tidak cukup," tambahnya.
"Dengan setiap hektar yang hilang, kita jauh lebih dekat dengan skenario menakutkan dari perubahan iklim yang tak terkendali."
Advertisement
Pemerintah Brasil Tidak Pro-Lingkungan
Secara global, hutan menyerap sekitar 30 persen emisi gas rumah kaca buatan manusia, atau lebih dari 11 miliar ton karbon dioksida per tahun.
Membakar atau menebangi hutan tropis yang luas tidak hanya melepaskan karbon ke atmosfer, tetapi juga mengurangi ukuran "spons alam" yang dapat menyerap CO2.
Satu titik terang dalam laporan ini adalah Indonesia, yang kehilangan 3.400 kilometer persegu hutan primer pada 2018, mengalami penurunan 63 persen dibandingkan dengan 2016.
Ini merupakan perbaikan signifikan dari kondisi tahun 2015, di mana menurut laporan terkait yang digabungkan dengan hasil penelitian oleh Serikat Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), kebakaran hutan besar-besaran di Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau Indonesia lainnya mencapai luas 20.000 kilometer persegi, dan menghasilkan polusi yang merusak kesehatan di sebagian besar Asia Tenggara.
Namun, perubahan positif itu tidak berlaku di Brasil, di mana menurut sumber yang sama, kondisinya justru semakin parah dari tahun ke tahun.
"Data kami menunjukkan lonjakan besar dalam hilangnya hutan di Brasil pada tahun 2016 dan 2017 terkait dengan kebakaran buatan manusia," tulis laporan itu.
Hal tersebut kian diperparah oleh kebijakan presiden baru Brasil, Jair Bolsonaro, ketika pertama kali menjabat pada Januari lalu, di mana dia berjanji untuk mengurangi peraturan lingkungan yang memungkinkan pertanian dan penambangan komersial di lebih dari 10 persen wilayahnya.