Liputan6.com, Tripoli - Pertempuran antara pasukan Khalifa Haftar dan tentara Libya berlanjut di Ibu Kota, Tripoli. Sehubungan dengan kekerasan yang terus meningkat, sebanyak 325 warga telah dievakuasi, menurut laporan Badan Pengungsi PBB (UNHCR) baru-baru ini.
UNHCR mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Rabu, mereka yang dievakuasi dipindah dari tempat pengungsian Qasr bin Ghashir ke tempat lain yang berada di Az-Zawiyah, Libya barat laut, mengutip Al Jazeera pada Kamis (25/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Langkah pemindahan itu dipicu oleh laporan pada Selasa, 23 April 2019, tentang adanya kekerasan terhadap para pengungsi yang memprotes kondisi mereka di Qasr bin Ghashir. Penyerangan itu menggunakan senjata, dengan 12 pengungsi harus dilarikan ke rumah sakit pasca-kejadian.
"Bahaya bagi pengungsi dan imigran di Tripoli tidak pernah sebesar ini sebelumnya," kata Matthew Brook, wakil kepala misi UNHCR di Libya.
We have evacuated 325 refugees from the Qaser Ben Gasheer detention centre in Tripoli. It was triggered by reports of armed violence against detainees who were protesting the conditions at the centre. Gunshots were reported to have been fired in the air. https://t.co/WdZR2xL7aY pic.twitter.com/ucN4cHulQo
— UNHCR, the UN Refugee Agency (@Refugees) April 24, 2019.
Sementara itu, hingga saat ini terdapat 3.000 pengungsi yang masih terjebak di pusat detensi di Tripoli, Libya. Keselamatan mereka terancam karena situasi yang semakin memburuk di ibu kota. Padahal, mereka adalah orang-orang yang melarikan diri dari negaranya akibat perang dan kekerasan.
Untuk diketahui, bagian selatan Ibu Kota Libya, Tripoli dilanda pertempuran sejak Pasukan Nasional Libya (LNA) yang dipimpin oleh Khalifa Haftar melancarkan serangan pada 4 April. Mereka bertujuan merebut kendali ibukota dari pemerintah kesepakatan nasional dengan tentaranya yang disebut GNA. Adapun LNA menuding GNA didukung oleh sejumlah milisi lokal.
Pertikaian itu semakin mengancam keamanan dalam negeri Libya. Mengingat baik LNA maupun GNA telah berulang kali melakukan serangan udara terhadap satu sama lain. Mereka juga saling menuduh bahwa pasukan lawan menargetkan warga sipil.
Sejak LNA mulai ofensif pada awal bulan ini, sebanyak 272 orang telah terbunuh dan lebih dari 1.200 lainnya luka-luka, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Donald Trump Puji Oposisi
Sementara itu, sebuah informasi dari Gedung Putih yang diterbitkan Jumat, 19 April 2019 lalu melaporkan bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump memuji poposisi yang dipimpin Haftar, dalam memerangi terorisme dan mengamankan minyak Libya.
Keduanya juga diketahui telah membahas visi bersama untuk transisi politik Libya ke sistem politik yang "stabil dan demokratis" mengutip CNN.
Dialog antara Trump dengan Haftar berlangsung pada Senin, 15 April 2019.
Dalam pernyataan itu tidak disebutkan serangan ofensif Haftar di Tripoli, Ibu Kota Libya. Adapun pujian dari sang presiden nyentrik menandakan perubahan sikap Negeri Paman Sam yang sebelumnya mengutuk operasi militer Haftar.
Berbanding Terbalik dengan Sikap Pemerintah AS?
Sebagaimana diketahui, awal April Menteri Luar Negeri Mike Pompeo sebenarnya sempat mengutuk tindakan jenderal Libya itu.
"Kami telah menjelaskan bahwa kami menentang serangan militer oleh pasukan Khalifa Haftar dan mendesak penghentian segera operasi militer terhadap ibu kota Libya," kata Pompeo kala itu.
Menlu AS saat itu berpendapat bahwa kampanye militer melawan Tripoli membahayakan warga sipil dan merusak masa depan Libya.
Sementara itu, meskipun Trump seolah menjadi dekat dengan Haftar, Penjabat Menteri Pertahanan AS, Pat Shanahan mengatakan pada Jumat bahwa Kementerian Pertahanan (Pentagon) dan "badan eksekutif tetap selaras dengan pemerintah Libya". Shanahan juga menuturkan bahwa "solusi militer sama sekali tidak dibutuhkan Libya".
"Jadi apa yang kami katakan sebelumnya dan apa yang saya dukung adalah dukungan Field Marshal Haftar (hanya) dalam upaya kontraterorisme. Kita membutuhkan dukungan Field Marshal Haftar dalam membangun stabilitas demokrasi di wilayah itu," kata Shanahan.
Saat ini, AS masih berstatus mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional yang diakui PBB yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez al-Sarraj.
Advertisement
AS Sempat Menarik Pasukan
Sebagai akibat dari serangan Haftar, beberapa waktu lalu AS telah menarik sejumlah kecil pasukan dari Libya yang melakukan misi diplomatik dan kontraterorisme terhadap ISIS. Saat itu, Negeri Paman Sam beralasan adanya peningkatan "kerusuhan di Libya".
Sementara itu, Kepala Komando Afrika AS, Jenderal Thomas Waldhauser, mengatakan kepada Kongres bulan lalu bahwa Rusia mendukung Haftar sebagian untuk mengamankan pengaruh di wilayah strategis di sisi selatan NATO. Sebuah momentum yang langka, saat AS dan Rusia berada pada pihak yang sama.
"Di balik layar tidak ada keraguan tentang fakta bahwa mereka mendukung (tentara Haftar) degan semua jenis peralatan, pelatihan, dan sejenisnya," kata Waldhauser kepada House Armed Service Committee.
Waldhauser mengatakan alasan Rusia mendukung Haftar berkaitan dnegan kepentingan strategis Moskow, khususnya dalam penjualan senjata, ladang minyak, dan sejenisnya,
"Hal itu (juga) memberi mereka pengaruh di lokasi kunci di selatan (Mediterania) di bagian selatan NATO," kata Waldhaus