Liputan6.com, Washington DC - Korea Utara dilaporkan menagih US$ 2 juta (setara Rp 28,4 miliar) untuk perawatan medis mahasiswa Amerika Serikat (AS), mendiang Otto Warmbier.
Warmbier dipenjara di Korea Utara pada Desember 2015 selama pelaksanaan sebuah tur, dan meninggal saat kembali ke AS dalam keadaan koma setelah 17 bulan ditahan.
Korea Utara menuntut agar tagihan rumah sakit dibayarkan sebelum Warmbier diizinkan pulang, BBC melaporkan, seperti dikutip pada Jumat (26/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Gedung Putih menolak mengomentari laporan itu.
"Kami tidak mengomentari negosiasi penyanderaan, itulah sebabnya negosiasi begitu sukses selama pemerintahan ini," sekretaris pers Gedung Putih Sarah Sanders mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada CBS pada hari Kamis.
Perwakilan utama AS yang dikirim untuk mengambil Warmbier menandatangani sebuah janji untuk membayar tagihan medis atas perintah Presiden AS Donald Trump, menurut laporan Washington Post, mengutip dua orang yang mengetahui situasi tersebut.
Tagihan untuk perawatan Otto Warmbier kemudian dilaporkan dikirim ke Kementerian Keuangan AS.
Seorang mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS mengatakan kepada CBS News bahwa AS tidak pernah membayar atau bermaksud membayar US$ 2 juta, meskipun Joseph Yun, diplomat AS untuk urusan Korea Utara pada saat itu, memang menerima tagihan tersebut.
Mantan pejabat itu mencatat bahwa penerimaan tagihan itu terjadi pada masa jabatan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, yang tertarik untuk membuka dialog dengan Korea Utara. Tillerson kini sudah tak lagi menjabat sebagai menlu.
Sumber yang tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa pemahaman Tillerson tentang kondisi kritis Otto Warmbier, atau kurangnya pengalaman politiknya mungkin berkontribusi pada keputusan tersebut.
Penyebab Koma yang Misterius
Otto Warmbier dituduh mencuri papan reklame pemerintah dari hotel tempat ia dan teman-temannya tinggal di Pyongyang, dan dijatuhi hukuman kerja paksa 15 tahun.
Pada saat ia kembali ke AS setelah 17 bulan ditahan, penduduk asli negara bagian Ohio itu koma dan menderita kerusakan otak.
Korea Utara mengatakan dia koma setelah tertular botulisme dan minum pil tidur.
Dokter AS tidak menemukan bukti botulisme dan mengatakan bahwa Otto Warmbier telah menderita "cedera neurologis yang parah", mungkin disebabkan oleh masalah jantung-paru (cardiopulmonary).
Meskipun Korea Utara membantah telah menyiksa siswa yang berusia 22 tahun itu, orang tuanya bersikeras bahwa kematiannya pada bulan Juli 2017 adalah konsekuensi dari penyiksaan.
Dikutip dari BBC, Otto sama sekali tak berkata apa-apa sekembalinya ia pulang ke kampung halaman di Ohio.
"Kondisi neurologisnya bisa digambarkan sebagai 'keadaan terjaga yang tidak responsif'," kata Dr Daniel Kanter.
Menurut pemindaian yang diambil setelah ia tiba di Cincinnati Medical Center, pun tak memperlihatkan ada tanda-tanda ada kekerasan fisik selama ia ditahan.
Tim dokter percaya Otto mengalami gagal pernafasan, sehingga kondisinya seperti itu. Biasanya terjadi akibat kurangnya oksigen dan darah ke otak.
Pada hari Kamis, 15 Juni 2017, ayah dari Otto, Fred Warmbier, mengungkapkan keraguan keterangan Korut tentang penyebab koma anaknya.
"Bahkan jika Anda yakin bahwa botulisme dan pil tidur yang menyebabkan koma--kami tidak--tidak ada alasan bagi sebuah negara beradab untuk merahasiakan kondisinya dan telah menolaknya untuk perawatan medis terbaik," kata Fred.
Advertisement
Sekilas Kasus Otto Warmbier di Korut
Otto Warmbier adalah mahasiswa ekonomi dari University of Virginia. Ia berasal dari Cincinnati, Ohio.
Warmbier berada di Korea Utara sebagai turis bersama Young Pioneer Tours ketika ditahan pada 2 Januari 2016.
Pemuda itu terlihat sangat emosional saat menggelar konferensi pers sebulan kemudian. Di situ ia menangis tersedu-sedu saat mengaku telah mencoba mengambil pamflet sebagai bakal oleh-oleh untuk gereja di AS.
"Tujuan saya ini jelas menyakiti motivasi dan etos kerja bagi warga Korea Utara." kata Warmbier saat itu.
Tahanan Korea Utara , terutama orang asing, diwajibkan membuat pengakuan bersalah secara terbuka. Kelak ketika dibebaskan dan kembali ke negaranya, mereka melakukan itu dalam kondisi tertekan.
Setelah pengadilan yang singkat pada 16 Maret, Warmbier dijatuhkan hukuman 15 tahun penjara karena kejahatan melawan negara.